Bagian 26

115 3 0
                                    

Aku berdiri di sebuah aula besar, bersebelahan dengan Rey. Seluruh karyawan Rey berdiri di depan kami, Rey membawa aku ke perusahaannya. Aku tidak tau Rey bekerja di bidang apa, dia hanya mengatakan jika perusahaan ini miliknya. Rey terlihat datar, wajahnya berubah garang. Berbanding terbalik saat bersama aku di rumah, Rey memang datar tapi tidak sedatar ini.

Para pasang mata menatap aku heran, tidak ada yang aku kenali disini. Terkecuali seorang pria yang sedang memegang mikrofon, sahabat sekaligus sekretaris Rey. Sebelum aku berdiri disini, Rey terlebih dahulu memperkenalkan aku padanya. Mereka seumuran, bahkan sudah mengenal sejak kecil. Rey tidak mengatakan banyak tentang dia, tapi dari pandangan aku mereka terlihat sangat dekat.

Rey berjalan menuju mikrofon sambil menggandeng lengan ku, aku berusaha berjalan sebaik mungkin. Menutupi rasa sakit di selangkangan ku, untung saja Rey paham dan berjalan dengan pelan. Rey memegang mikrofon dan memberikan beberapa sambutan kecil, aku akui Rey memiliki attitude cukup baik. Jangan lupakan tangan Rey yang memeluk pinggang aku mesra, membuat aku merasa malu.

"Perkenalkan wanita di samping saya, Ani Adhitamana. Istri sekaligus orang yang akan membantu saya mengurus perusahaan, saya harap kalian bisa menjaga sikap kepada istri saya" jelas Rey tegas.

Para karyawan dibuat shock dengan penuturan Rey, termasuk juga aku. Aku kira Rey tidak akan mengenalkan aku sebagai istrinya di depan publik, ternyata dugaan aku salah. Rey malah melakukan sebaliknya, membuat aku semakin di buat malu. 

Rey meneruskan pidato singkatnya, kemudian menarik aku pergi keluar aula sebelum acara selesai. Aku berjalan tertatih, Rey berjalan cukup cepat membuat aku kesusahan untuk menjajarkan langkahnya. "Rey tolong berhenti" ucap aku melepaskan genggaman dari Rey. 

Rey berhenti dan menoleh, menatap aku yang sudah terlihat mengenaskan. Satu alisnya terangkat ke atas, membuat aku semakin di buat kesal. Rey bodoh! apa dia belum juga paham apa yang terjadi pada aku, melihat wajahnya membuat jiwa psikopat aku muncul.

"Bukan kah kau tau selangkangan aku sakit?" jelas aku memberitahu.

Aku melihat Rey tersenyum, entah karena apa. Aku rasa tidak ada yang lucu disini, atau mungkin Rey memang gila. Rey mengangkat tubuh mungil aku dengan gampang, lalu membawa aku ke dalam lift. "Apa yang kau lakukan, turunkan aku  bagaimana jika ada yang melihat" ujar aku memberontak.

Untung saja seluruh karyawan sedang berada di aula, hanya ada kami berdua di sini. "Perusahaan ini milik aku" jelas Rey sombong.

"Aku tidak lupa soal itu, tapi alangkah baiknya jika kau tidak  berbuat seperti ini di tempat umum" ucap aku lagi.

Rey tidak memperdulikan ucapan ku, kami berdua sudah sampai di ruangan Rey. Aku sempat tertegun melihat isi ruangan ini, bersih dan simple. Kaca transparan yang berada di sebelah meja kerja membuat ruangan ini tampak begitu cantik, gedung-gedung tinggi serta jalanan turut menghiasi. Rey mendudukan aku di sofa dengan hati-hati, lalu berjalan mendekati meja kerjanya. Aku lihat Rey mengambil sebuah map bewarna biru, kemudian menyodorkan pada aku.

"Mulai sekarang, kau akan belajar memimpin perusahaan" jelas Rey singkat.

Aku membuka map ini, di dalamnya terdapat kata yang tidak aku mengerti. "Apa ini?" tanya aku sambil membuka setiap lembar kertas yang berada di dalam map.

"Data perusahaan" 

"Untuk apa kau  menyerahkan padaku?"

"Aku tidak suka mengulang perkataan"

Aku menghembuskan nafas pelan, apa susahnya Rey menjelaskan maksud tujuannya secara rinci tanpa membuat aku kebingungan. Bagaimana aku bisa paham jika Rey saja hanya mengatakan kata singkat, aku terlalu malas untuk mengartikan setiap kata yang muncul dari mulutnya.

"Maksud ku, kenapa kau menyuruh aku untuk belajar memimpin perusahaan? memangnya kau akan pergi kemana" tanya aku sebaik mungkin.

"Belum saatnya kau tau" ucap Rey dengan nada lirih.

"Tapi Rey, pendidikan aku tidak tinggi. Bahkan membaca halaman pertama dari map ini sudah membuat aku pusing" tutur aku sejujur mungkin.

"Kau akan terbiasa nantinya, Deo akan mengajari semuanya" jelas Rey padaku.

Aku ingin protes tapi bunyi pintu terbuka mengalihkan pandangan aku dan Rey, disana berdiri seorang pria dengan setelan jas rapi seperti Rey. "Apa susahnya mengetuk pintu terlebih dahulu" geram Rey marah.

Pria itu adalah Deo, wajahnya datar seperti Rey. Mungkin sifatnya bisa saja sebelas dua belas dengan Rey, tapi aku yakin Deo lebih dingin dibandingkan dengan Rey. Terbukti dari pertama kita bertemu, Rey sampai harus memarahi Deo hanya untuk menjawab pertanyaan yang aku ajukan padanya.

"Biasanya juga begitu" jawab Deo singkat.

"Apa kau buta, aku sudah memiliki istri sekarang" ucap Rey menahan amarah.

Deo melirik aku singkat, dari pandangannya pada ku Deo seperti tidak menyukai aku. Aku juga merasakan hal sama, ini kali pertama kami bertemu. Aku tidak tau letak kesalahan aku dimana, setiap Deo melihat aku wajahnya terlihat seperti orang marah.

"Rapat akan di mulai sepuluh menit lagi, bersiap-siaplah" seru Deo mengalihkan pembicaraan.

Rey mengangguk, Rey juga terlihat tidak ingin memperpanjang masalah ini. Lagi pula ini hanya masalah kecil, tapi aku rasa ucapan Rey memang benar. "Pergilah, aku akan kesana lima menit lagi" usir Rey sambil mengibaskan tangan pertanda menyuruh pergi.

"Kau tidak akan membawa wanita ini ke rapat kan?" tanya Deo ragu-ragu.

"Memangnya kenapa"

"Tidak" ucap Deo malas.

"Ani istri ku, seperti yang aku jelaskan tadi di aula. Kau beserta seluruh karyawan disini harus menjaga sikap pada Ani, dia akan belajar memimpin perusahaan ini" bentak Rey murka.

"Maksud kau jalang itu" tunjuk Deo dengan dagunya.

Suasana terasa memanas, Rey berjalan mendekati Deo berdiri. Satu pukulan tepat mengenai pipi Deo, Rey terlalu kuat memukul Deo hingga bibirnya berdarah. Pertengkaran Rey dengan Deo terus berlanjut, Deo diam tidak bergeming. Sedikitpun Deo tidak membalas pukulan Rey, Deo hampir saja babak-belur jika saja aku tidak menahan Rey.

"Rey berhenti!" teriak aku sambil memeluk Rey erat.

Rey berhenti dari aksinya, mengambil tangan ku yang berada di perutnya. Lalu balik memeluk aku dari samping, nafas Rey tersengal. Hidungnya juga mengeluarkan darah segar, persis seperti pagi tadi.

"Rey, hidung mu berdarah" ucap aku memberitahu.

Rey mengusap hidungnya pelan, Deo memperhatikan Rey yang mimisan. Wajahnya tampak terlihat khawatir, tapi Deo tetap berada di posisinya. "Batalkan rapat" pinta Rey pada Deo.

Deo bangun dan mengangguk, tanpa berkata Deo langsung pergi meninggalkan aku dan Rey di dalam ruangan ini. Aku menuntun Rey ke sofa dengan hati-hati, membersihkan hidung Rey dengan teliti menggunakan tissue di meja depan kami duduk. Rey juga tidak mengatakan apapun, selama aku membersihkan hidungnya Rey sama sekali tidak memberontak. Membuat kami tampak seperti ibu dan anak.

Hujan Dengan DukaWhere stories live. Discover now