Bagian 31

111 5 0
                                    

Satu minggu setelah perdebatan antara aku dengan Rey di kantor membuat hubungan kami menjadi kurang baik, aku dan Rey sama-sama saling menghindar. Rey tidak lagi mengajak aku ke kantor, dia juga pergi pagi buta dan pulang menjang larut malam. Aku duduk di kursi meja rias, memperhatikan wajah ku sendiri. Pipi ku yang semula tirus terlihat lebih berisi, beberapa hari ini aku juga memperhatikan kelakuan ku.

Entah mengapa aku lebih sering melakukan kegiatan yang semulanya tidak aku sukai, memakan makanan yang aku benci. Terlebih lagi aku tidak bisa tidur sebelum Rey berada di sebelah ku, ini aneh. Tidak biasanya aku bersikap demikian, perkataan Rey hari lalu selalu menghantui aku. Apa benar aku hamil? Tanda-tanda orang hamil ada dalam diriku, perubahan yang aku rasakan juga membuat aku semakin yakin bahwa ada malaikat kecil tumbuh dalam rahim ku.

Aku menghela nafas pelan, melirik jam di ponsel. Baru pukul sembilan malam, batang hidung Rey belum juga muncul. Padahal kantor tutup pukul lima sore, waktu yang cukup lama untuk Rey sampai di rumah.

Dering ponsel mengalihkan perhatian ku, aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Nama yang tertera di layar ponsel membuat hati ku menghangat, aku kira dia tidak akan menghubungi aku lagi mengingat hubungan kami yang dibilang kurang baik.

"Iya, hallo" ucap aku mengangkat telfon.

"Ani" panggil seseorang di sebrang telfon.

"Apa kau masih marah dengan ku hingga baru menghubungi aku malam ini?" ucap aku pura-pura merajuk.

Terdengar gelak tawa dari sebrang, aku sempat berpikir persahabatan kami telah selesai saat aku menolak ajakannya untuk menikah. Sejak itu pula kami tidak saling memberi kabar, kami menjalani hidup masing-masing.

"Edi" panggil aku pelan.

"Ya Ani, aku disini" jawab Edi memberitahu.

Aku diam, bertengkar dengan isi pikiran sendiri. Aku ingin menceritakan semua dengan Edi, dari Melly, Rissa dan pernikahan konyol ini. Tapi dengan aku menceritakan semuanya bukankah aku hanya akan memberi luka kepada Edi? Jelas aku tidak ingin membuat Edi sakit hati dan marah pada ku seperti sebelumnya, dia satu-satunya orang yang aku miliki sekarang.

"Ani, kau baik-baik saja bukan?" tanya Edi khawatir.

"Jika kau masih memikirkan ajakan bodoh ku waktu lalu aku minta maaf, setelah aku berfikir ulang aku mengerti jika aku salah. Aku berfikir dengan menikah denganmu aku bisa menjaga dan mempertahankan persahabatan kita, ternyata hal itu malah membuat kita jauh" ucap Edi menjelaskan.

Aku terharu mendengar penuturan Edi, dari dulu kami memang selalu bersama. Tapi sedikitpun aku tidak pernah menaruh perasaan dengannya, menikah dengan Edi tanpa ada rasa cinta membuat aku seperti orang jahat. "Edi, maafkan aku" balas aku terisak.

"Kenapa kau yang meminta maaf? Harusnya aku Ani" jelas Edi cepat.

"A-aku sudah menikah" ucap aku terbata.

Tidak ada jawaban dari Edi, aku yakin Edi kecewa mendengar penuturan ku. Dari dulu aku tidak bisa berbohong dengannya, semua kejadian yang aku alami selalu aku ceritakan kepada Edi. Aku juga tidak berniat membuat suasana menjadi seperti sekarang, sulit bagi aku untuk tidak berkata jujur kepada Edi.

"Dengan siapa?" tanya Edi dingin.

Aku terdiam, apa aku juga harus menceritakan tentang Rey dengan Edi? Dari mana aku harus memulai, semua terjadi secara singkat dan cepat. Sampai sekarang aku masih belum paham dengan apa yang aku jalani, semua suram tapi nyata. "Tidak masalah jika kau tidak mau memberi tahu aku siapa laki-laki beruntung yang bisa memiliki mu, jujur saja Ani, aku merasa sedih karena kau tidak memberi kabar tentang pernikahan mu itu" jelas Edi setenang mungkin.

Aku paham perasaan Edi kini, seribu banding sepuluh orang yang tidak terjebak dalam friendzone. Aku rasa Edi masuk kedalamnya, kami sama-sama dewasa. Wajar saja di antara kami memiliki perasaan satu sama lain, lagi-lagi aku di buat bingung oleh takdir.

"Aku-"

Belum sempat aku berucap tiba-tiba saja ponsel ku di rebut dari belakang, aku sontak menoleh kaget. Rey berdiri menatap aku dengan wajah marah, penampilannya tampak kacau. Jas yang biasanya dia pakai entah kemana, kemejanya juga terlihat berantakan.

"SIAPA?" tanya Rey membentak aku.

Aku terperanjat kaget mendengar Rey membentak aku, kapan dia masuk ke kamar. Kenapa bisa aku tidak mendengar suara pintu terbuka, padahal jarak antara pintu dan tempat aku duduk tidak terlalu jauh. "SIAPA AKU TANYA!" bentak Rey lagi karena tak kunjung mendapat jawaban.

"K-kenapa" ucap aku balik bertanya.

"Kau tanya kenapa? Apa pantas seorang istri berbincang dengan seorang lelaki yang bukan suaminya malam-malam begini" seru Rey dengan nada tinggi.

Apa Rey tau aku berbicara dengan Edi? Tapi bagaimana bisa, Rey tidak mengenal Edi begitupula sebaliknya. Aku tidak pernah menceritakan apapun tentang Edi kepada Rey, lalu siapa yang memberitahu Rey tentang Edi. "KENAPA DIAM! KAU MERINDUKAN LELAKI KAMPUNG ITU?" ucap Rey lagi.

"TUTUP MULUTMU!" seru aku menunjuk Rey dengan jari telunjuk ku.

Tidak masalah Rey menghina aku, tapi tidak dengan orang-orang terdekat aku. Apalagi Edi banyak membantu aku, lagipula aku lebih dulu mengenal Edi daripada Rey.

Rey tersenyum licik, aku benci senyuman itu. Seolah-olah aku adalah pencundang, padahal jelas siapa pecundang disini. "Jadi kau lebih membela dia dibandingkan aku suami mu?" tanya Rey sambil memajukan wajahnya.

"AKU TIDAK PERNAH MENGANGGAP KAU SEBAGAI SUAMI KU, KAU MENIKAHI AKU SECARA PAKSA. MEMBUAT AKU TAMPAK BAHAGIA DENGAN PERNIKAHAN INI, PADAHAL AKU SANGAT TERSIKSA" ucap aku mengeluarkan semua keluh kesah ku selama ini.

"Benarkah? Lalu bagaimana dengan janin yang ada di perutmu" terang Rey membuat aku semakin murka.

Rey mengelus perut rata aku seperti di kantor waktu lalu, bibirnya tak henti tersenyum miring. Dengan cepat aku menyingkirkan tangan Rey, membuat sang empu terlihat kesal.

"Harus berapa kali aku katakan kalau aku tidak hamil!" ucap aku dengan suara kesal.

Rey mencengkram rahang ku kuat, suasana seketika berubah panas. Rey berada dalam puncak kemarahannya, aku tidak tau kenapa Rey bersikeras mengatakan aku hamil. Aku belum pernah melakukan test, Rey juga tidak menyuruh aku untuk pergi ke dokter. Dia hanya berkata menurut pendapatnya saja, padahal dia sendiri tidak tau kebenaran seperti apa.

"Iya atau tidak, kau tetap akan hamil anak ku" geram Rey melepaskan cengkeramannya. Setelah itu Rey langsung pergi meninggalkan aku sendiri, aku mengusap rahang ku yang terasa nyeri. Bekas cengkeramnya bahkan terlihat merah, Rey melakukannya dengan keras.

Hujan Dengan DukaWhere stories live. Discover now