18

55 20 2
                                    

⚠️ trigger warning: toxic relationship ⚠️

—Fira's

Reksa adalah laki-laki manis dan humoris, yang mampu membuat lawan bicaranya nyaman bercengkerama dengan dia. Suaranya bagaikan candu, yang mampu membuat gue betah berlama-lama berbincang lewat telepon tiap malam sebelum tidur.

Tapi nggak ada manusia yang sempurna, kan? Bahkan gue pernah bilang kalau cerita kami berdua adalah mimpi buruk yang terlihat seperti dongeng romantis. 

"Kamu kemana aja sih? Katanya jam 3 selesai?"

"Sorry, tadi aku masih ngobrol—"

"Dua setengah jam reunian tuh belum cukup buat ngobrol? Sampai aku harus kebakar sepuluh menit di Parkiran?"

Dia memang sosok yang menyenangkan, tapi bisa berubah jadi menyeramkan dalam sekejap mata. Berjuta kata maaf yang pernah gue ucapkan cuma dianggap angin lalu, atau bahkan nggak pernah dia dengar.

"Astaga, Fira. Aku kan nitip air putih?"

"Ya ampun. Maaf aku salah denger, disini berisik—"

"Kamu salah denger atau emang nggak pernah mau dengerin aku sih, Fir?"

Bahkan gue pernah beberapa kali mendengar dia menggumamkan sumpah serapah yang ditujukan untuk gue, hanya karena kesalahan sepele. Salah satunya, waktu gue salah ngasih dia stabilo warna hijau padahal dia mau pinjam yang warna kuning.

Tapi Reksa punya senjata ampuh yang selalu berhasil membuat gue luluh lagi. Dia selalu datang dengan wajah sembabnya, meminta maaf dengan nada parau, kemudian berkeluh kesah soal orang tuanya yang kian hari semakin nggak karuan.

His life was a total mess. His dad only cared about money after his business hit the jackpot, and his mom got her second puberty then immersed herself in a wild night life.

Dia bilang, cuma gue rumah dia yang sebenarnya. Cuma gue yang peduli dan berhasil memberi dia kehangatan dan kenyamanan yang tulus. Cuma gue, cuma Fira seorang, nggak ada yang lain.

Selama satu setengah tahun gue bertahan. Lebih tepatnya, gue dibutakan oleh Reksa. Janji manisnya, tangisnya sewaktu mengemis minta dimaafkan, perhatian kecilnya yang sering dilakukan tanpa diduga. Dia selalu berhasil membuat gue luluh dan mengurungkan niat untuk berhenti. Dia berhasil membuat gue yakin kalau setiap badai yang datang menerpa hubungan kami adalah akibat dari ketidakbecusan gue sebagai pasangannya.

Gue masih ingat malam itu, ada satu panggilan masuk dari Rumah Sakit. Reksa jatuh dari motornya di perjalanan menuju rumah gue. Gue langsung panik sejadi-jadinya, terutama setelah melihat puluhan panggilan tak terjawab dari Reksa, dan notifikasi pesan yang berisi betapa kalutnya dia malam itu karena kedua orang tuanya bertengkar hebat. Dia butuh teman curhat, tapi sialnya gue malah ketiduran.

Again, it was my fault that he hurt himself.

"Aku nggak akan nekat kalau kamu angkat teleponku, Fira. Aku lagi butuh kamu."

"Maaf, Sa. Sekarang aku disini, okay? Aku bakal temenin kamu."

"Atau emang aku gak pantes punya siapa-siapa, ya?"

"Sa, jangan ngomong gitu dong—"

"Siapa yang mau berurusan sama sampah kayak aku? Yang bapaknya mata duitan, ibunya tukang clubbing..."

"—Reksa."

"Pasti ortumu juga nggak suka sama aku kan, Fir? They pretend like they do."

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang