30

58 18 5
                                    

—Fira's

"Tadi siapa, Kak? Teman lo?"

"Adik tingkat. Nggak sengaja ketemu."

"Oohhh. Pantesan wajahnya kok asing banget."

"Kalau wajah gue gimana? Asing juga nggak?"

Gue berdecak sebal sekaligus menahan tawa sambil menerima uluran helm dari Kak Satya. Sebelum mengenakan pelindung kepala berwarna putih ini, gue sempat mengendus bagian dalamnya yang super wangi. "Wangi banget, Kak?" tanya gue tanpa basa-basi.

"Abis gue cuci," jawab Kak Satya. "Kebetulan kemarin udah jadwalnya nyuci helm. Pas banget kan, lo orang pertama yang merasakan kesegaran wanginya."

"Lebaaayy," cibir gue sambil memakai helm super wangi ini dengan sempurna.

"Sesuai aplikasi kan, Bu?"

"Iya. Nggak ada acara mampir-mampir ya, Pak."

Motor yang kami tumpangi melaju ke jalanan yang terbilang belum seberapa ramai. Keheningan menyelimuti kami berdua sepanjang perjalanan. Kami sama-sama sadar kalau percakapan di atas motor kurang efektif karena kehadiran suara angin yang mampu mengalahkan segalanya.

Kami bisa sampai tujuan dalam kurun waktu kurang dari 20 menit. Kemana? Rumah gue kok, bukan kemana-mana.

Iya, pasti kalian heran. Gue juga heran kenapa dengan mudahnya mengiyakan tawaran Kak Satya semalam. Entah dia iseng atau nggak ada kerjaan, tiba-tiba menawarkan diri jadi ojek pribadi—dia sendiri loh yang ngomong begitu. Katanya mumpung jadwal kuliah kami mirip. Selesai kelasnya cuma selisih lima menit, tapi tadi molor agak lama karena gue masih harus berurusan sama salah satu Dosen perihal tugas akhir semester yang semakin dekat deadlinenya. Duh.

Balik lagi soal agenda pulang bareng kali ini. Gue mempersilahkan Kak Satya mampir, dan dia pun mengiyakan tanpa ragu. Sebelumnya gue buru-buru masuk ke rumah demi 'mengusir' dia secara halus, tapi kali ini enggak. Toh nggak ada salahnya menjamu dia sebentar sebagai ucapan terima kasih. Segelas sirup dingin dan deretan toples isi jajanan di Ruang Tamu tuh etis kan?

"Serius kan, Fir? Lo nyuruh gue mampir dulu?" tanya Kak Satya waktu gue membuka pagar rumah.

"Kalau nggak mau juga nggak masalah kok. Yang penting gue udah nawarin," balas gue.

"Gue sih mau-mau aja ya. Biar terbiasa."

"Maksudnya?"

"Biar kursi di rumah lo terbiasa juga gue dudukin. Siapa tau kedepannya jadi sering main kesini."

Nice try, Young Man!

"Kalau kursi di rumah lo nggak suka gue dudukin, yaudah gue duduk di teras aja."

"Apaan deh," gue bersikap sok jengah, padahal agak susah juga nih nahan ketawa. Kenapa ya, Kak Satya tuh adaaaa aja kosa katanya. Setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya terdengar jenaka dan menyebalkan disaat yang bersamaan.

Tapi justru itu yang gue suka dari dia. Hal itu juga yang membuat gue merasa nyaman. Kak Satya punya ciri khasnya sendiri untuk mengetuk pintu hati gue dengan cara yang paling sopan.

Sebelum kepergok salting, gue bergegas masuk ke rumah setelah Kak Satya memarkirkan kuda besi miliknya dengan sempurna di halaman. Gue mempersilahkan dia duduk di sofa Ruang Tamu.

"Sebentar ya, gue naruh barang-barang dulu," ucap gue sebelum berlari menuju kamar.

Brak!

Tanpa sengaja gue menutup pintu kamar dengan nggak sabaran. Satu helaan nafas keluar dari mulut gue, "Fyuh..."

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang