37

522 47 2
                                    

Content warning//slightly mature—be wise!

"Here we go." Kale menghentikan mobil Sara di pekarangan kediaman Atmaja.

Keduanya terdiam sejenak menghadap depan.

"Aku gak nyangka." Kale membuka kalimatnya dengan helaan napas. "Kalau aku bakalan jadi duda di umur 20." Ia tertawa.

"Aku juga." Sara tesenyum miris. Lalu ia teringat sesuatu. Segera ia melepaskan cincin pernikahannya. Kale pun melihat itu dan memandanginya heran. Hanya diam memandangi dan menunggu tindakan Sara selanjutnya.

"Aku mau balikin ini ke kamu." Sara memandang cincin tersebut dan meraih tangan Kale untuk membawa cincin pernikahan mereka. Cincin yang orang tuanya pilihkan, akibat wanita itu yang tidak mau ikut mengurus pernikahannya sendiri. Benda yang tidak ia harapkan di awal pernikahannya. Namun kini, melepaskan benda tersebut terasa berat baginya.

Sontak Kale menggeleng pelan. "Jangan dibalikin." Ia mengembalikan cincin tersebut. "Tolong disimpan. Sebagai kenangan kita, Sara. Jadikan satu dengan kalung yang aku kasih di Bandung."

"Yang ini?" Sara menunjukkan kalungnya yang tengah ia pakai. Membuat Kale tersenyum lirih.

"Sini, aku benerin." Kale melepaskan kalung Sara, lalu menjadikan cincin pernikahan mereka sebagai mata kalung. Kemudian ia kembali memakaikan kalung tersebut di leher istrinya. Tangannya menangkup pipi Sara. Menempelkan dahinya di dahi wanita itu.

"May I?" Izinnya.

"Sure, Kale."

Setelahnya mereka berciuman. Menyalurkan perasaan masing-masing. Dan terasa menyakitkan bagi keduanya. Mengetahui fakta bahwa ini adalah ciuman terakhir mereka sebagai sebuah pasangan.

"Kalau kamu mau kembali, aku selalu ada di sini, sayang. Sampai kamu suruh aku mundur. Maka aku akan berhenti."

"Kalau gitu—"

"Bukan sekarang." Seakan tahu apa yang akan dikatakan istrinya, Kale memotongnya cepat. "Nanti, ketika kamu sudah cukup dingin untuk memikirkan ulang semuanya. Ketika kamu sudah cukup dewasa untuk memikirkan keinginan kamu yang sebenarnya."

Lalu Kale tersenyum manis, hingga matanya menghilang. "Ayo sayang, kita turun."

Kale membukakan pintu untuk Sara dan menggenggam tangannya. Satpam rumah istrinya kemudian mendekatinya, "Mas Kale, ini barangnya Mbak Sara saya keluarin ya?"

Sejak semalam, seisi kediaman telah mengetahui kabar perceraian anak semata wayang Alex dan Grace Atmaja. Para pegawai ikut bersedih, lantaran mereka tahu, jika Kale adalah pria yang baik. Mereka menyayangkan perceraian ini.

"Iya, Pak Tono. Tolong ya." Balas Kale ramah.

"Nggeh, Mas."

Kedatangan mereka di teras kediaman Atmaja, disambut oleh kedua orang tua Sara. Di ambang pintu berdiri Alex dan Grace. Dengan Grace yang menghapus air matanya sedari tadi dan dirangkul oleh suaminya. Walaupun ia berusaha terlihat kuat menghadapi masalah anak dan menantunya. Tetapi, sebagai seorang ibu, ia tidak bisa. Ia rapuh ketika dihadapkan dengan perceraian anaknya. Sara-nya. Sedangkan Alex mendatarkan rautnya. Entah apa yang ada dipikiran oleh pria paruh baya itu.

Ketika Sara bertemu pandang dengan mata Grace, ia menangis. "Mami—" Suaranya bergetar, tetapi ia tetap memaksakan senyum. "Sara minta maaf."

"Bukan salah kamu nak, ini salah mami." Grace ikut menangis. Tangannya terbuka, mengundang Sara untuk memeluknya. "Maafin mami ya Sara. Mami minta maaf." Ulangnya berkali-kali membuat Sara semakin menangis.

Something, We Called It LoveWhere stories live. Discover now