3. Baru Dimulai

35.2K 2.8K 49
                                    

Hana mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk ke retinanya. Wanita itu memekik kaget begitu menyadari dirinya tidak sedang berada di kamarnya, lagi-lagi ia terkejut melihat seorang lelaki yang tak lain adalah Reghan yang tertidur di sebelahnya.

"Reghan," gumamnya berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Matanya memanas saat nenyadari dirinya hanya ditutupi oleh selimut. Tubuhnya tak tertutup baju, sedangkan Reghan sudah memakai pakaian lengkap.

Apakah ini kenyataan, Tuhan? Hana merasa jijik pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ini semua terjadi?

Hana bangkit dari duduknya dengan mata yang mulai memerah, ia tak kuasa menahan tangis. Ia berusaha tak menghiraukan Reghan yang masih terlelap dengan nyenyak seolah tak terjadi apa-apa. Hana merapatkan selimut agar tak jatuh dari tubuhnya. Dengan sedikit rasa nyeri di bagian bawahnya, ia tetap berjalan dengan sesekali membungkuk memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai.

Matanya semakin memanas saat rasa sakit di bagian bawahnya semakin kentara, ia meringis nyeri. Tampaknya hal itu membuat tidur seorang Reghan terganggu. Lelaki dengan kaus hitam berlengan pendek itu membuka matanya saat mendengar ringisan. Ia menoleh dan terlihatlah seorang wanita yang tengah berjalan pelan menuju kamar mandi.

"Aku bantu," ucapnya membuat Hana menegang.

"Nggak usah," balasnya semakin berusaha cepat berjalan menuju sebuah ruangan yang ia yakini adalah kamar mandi.

"Bandel!" Reghan menggendong Hana. Sang empunya terkejut bukan main. Lelaki itu menurunkan Hana di bath up. Ia pun keluar.

Hana terdiam saat pintu tertutup. Ia menangis dalam guyuran air yang membasahi tubuhnya. Mengapa malam itu ia tak meng-iyakan ajakan Damar? Ia menyesal karena memilih menaiki bus dan berjalan melewati gang, lalu berakhir seperti ini.

Ia sudah tak suci lagi. Tubuhnya sudah kotor. Apa yang Hana jaga selama dua puluh tahun ini, hancurlah sudah. Harapannya menikah dengan pangeran, sudah tak mungkin lagi. Mana mungkin pangeran mau dengannya yang sudah kotor.

Beberapa kali ia menggosok tubuhnya dengan sabun. Hana berusaha menghapus bekas jejak Reghan. Ia tak mau seperti ini. Hatinya sakit. Mau ditaruh di mana kalau sampai orang tuanya tahu anaknya sudah hancur? Selintas bayangan ibu dan bapaknya menguasai pikirannya. Mereka sudah bekerja keras untuk menyekolahkan Hana, tetapi apa balasannya? Ia menutup wajahnya, jangan sampai ia berteriak dan membuat lelaki itu menemuinya.

***

Usai dengan ritual mandinya, Hana keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang semalam ia pakai. Lagi-lagi dirinya dibuat terkejut dengan kehadiran Reghan. Lelaki itu melempar paper bag ke arah sofa yang berada di sebelah Hana.

"Pakai itu aja."

Hana terdiam. Ia pun membawa paper bag tersebut dan kembali memasuki kamar mandi. Celana bahan longgar dengan atasan kaus berlengan panjang. Ya, ia yakin harganya mahal. Lihat saja merek di baju dan celana itu.

Usai mengganti baju, ia pun membawa tas miliknya di ranjang. Hatinya sakit melihat bercak merah di ranjang. Tangannya meremas gendongan tas. Buru-buru Hana berjalan menuju pintu keluar, ia ingin marah dan memaki Reghan, tetapi ia tak berani bahkan hanya dengan menatapnya saja. Reghan bisa saja melakukan hal serupa jika Hana sampai berani marah.

Reghan menahan tangan Hana saat melihat wanita itu berjalan menuju pintu. "Aku akan bertanggung jawab," ucapnya pada Hana.

Hana menoleh. Ia menunduk dan menggeleng. Reghan mengerutkan kening. "Apa maksud dari gelenganmu itu, Hana?"

Hana terdiam. Ia juga tidak tahu. Namun, ia tak mau Reghan bertanggung jawab hanya karena mengambil mahkotanya. "Aku akan menikahimu," tegas lelaki itu membuat Hana terkejut bukan main.

"Nggak perlu!" tolak Hana keras, masih dengan kepala yang menunduk.

Reghan bangkit dan menarik dagu Hana agar menatapnya. Ini satu hal yang membuat Reghan kesal, sedari SMA dulu wanita itu selalu tak berani menatap matanya. Apa karena tatapannya terlalu tajam hingga Hana pun takut?

Mata keduanya bertemu. "Aku akan bertanggung jawab."

"Kamu nggak perlu tanggung jawab. Aku nggak apa-apa," balasnya pelan dengan berusaha melepas pandangannya dari Reghan.

Tangan Reghan yang berada di dagu gadis itu mengeras. "Aku mengeluarkannya di dalam," bisiknya membuat tubuh Hana menegang.

Hana mendorong tubuh Reghan. Ia menjauh, dadanya sesak. Ia tak bodoh dengan pernyataan Reghan. Bagaimana jika dirinya hamil? Ini tanggal berapa? Sial, dirinya baru saja selesai dari datang bulan. Ini masa suburnya.

"Sudah ingat jadwal datang bulan mu, Hana?" Reghan mengusap kepala Hana.

Hana meluruh. Ia terduduk di lantai. Kepalanya menunduk. Air matanya tak dapat lagi ia tahan. Berbagai kemungkinan berkecamuk di otaknya. Ia tidak mau, ia belum siap.

"Kamu hanya perlu menerima tawaranku. Apa susahnya, Hana? Menikah denganku dan kamu akan hidup enak denganku," ucapnya dengan pongah.

"Aku tidak akan pernah mau, Reghan. Kamu sudah berbeda! Kamu bukan Reghan yang dulu!"

Reghan tertawa. "Apa maksudmu, Hana?"

"Aku bukan yang pertama untukmu ...."

"Ah, jadi kamu sudah tahu. Ya, sudahlah. Memang iya, kamu yang ke berapa, ya." Lelaki itu tampak memainkan jari-jari tangannya seolah menghitung. "Ah, ya. Kau keenam, mungkin," lanjutnya sembari diiringi tawa.

"Aku semakin tidak mau denganmu lagi, Reghan."

Hana bangkit dan memegang gagang pintu. Namun, Reghan menahannya. "Itu kartu namaku. Aku akan bersiap tanggung jawab apabila kamu hamil," ucapnya tegas. Ia menyelipkan kartu nama di tangan Hana.

"Kamu perlu uang hingga harus bekerja di kafe itu?" Hana terdiam. Mengapa Reghan seolah mengetahui semua tentangnya?

Reghan memberikan segepok uang. Hana menatap Reghan dengan berani. Bahkan, lelaki itu sempat tersenyum melihat keberanian Hana yang jarang wanita itu tunjukkan.

"Kamu tak perlu bertanggung jawab apa-apa, Reghan. Aku tak membutuhkan semua ini, terima kasih. Bolehkah kali ini aku yang meminta?" Reghan mengerutkan kening. "Tolong jangan pernah kembali lagi."

Ia melempar semua uang dan kartu nama Reghan di ranjang. Lantas ia pergi meninggalkan Reghan yang terdiam di sisi ranjang. Ia melirik uang yang Hana lempar. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.

"Kamu pikir kamu bisa menghentikan aku, Hana? Kamu harus merasakan apa yang aku rasakan selama tiga tahun ini."

Reghan tertawa jahat di dalamnya. "Ah, ternyata begitu rasanya meniduri gadis. Mengapa sangat berkesan, ya?"

Lagi, ia tertawa. Tangannya meraih sebuah ponsel. Ia menatap layar ponsel yang menunjukkan sebuah chat dari sang kekasih.

Kinan Beloved
Sayang, bisa tolong jemput aku? Aku sudah sampai bandara.

Reghan
Dengan senang hati, My Beloved.

Ia tersenyum dan bangkit dari posisi tidurannya. Ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. "Semua baru akan dimulai, Hana."

"Aku mencintaimu," gumamnya.

Tidak ada yang tahu maksud dari ucapan Reghan. Pada kenyataannya, ucapan dan tingkah laku lelaki itu sangat jauh berbeda. Entahlah ke depannya akan bagaimana. Doakan saja, semoga Hana tidak menderita, karena ... semuanya baru akan dimulai.

***
Diketik dengan : 1037 kata.

Istri Terakhir [END]Where stories live. Discover now