24. Aku yang Mengalah

32.2K 1.9K 12
                                    

Masalah datang silih berganti. Semesta mengira seolah dirinyalah manusia paling tangguh. Hana adalah wanita biasa, yang terkadang rapuh. Hatinya mudah tersentuh, juga bisa patah kapan saja. Jika dilukiskan, mungkin keadaan hatinya sudah banyak ditancapkan pecahan kaca dan ribuan jarum serta perban di mana-mana.

Wanita itu tidur meringkuk di atas ranjang yang luas. Matanya terus mengeluarkan air mata disertai isakan kepedihan yang terus terdengar. Mungkin, siapapun yang mendengarnya akan ikut merasakan pilu yang kini tengah dirasakan oleh ibu hamil yang satu itu.

Sejak tadi sore, Hana tak mau lagi keluar kamar. Ia lebih memilih mengurung diri di kamar ditemani kesendirian dan kesunyian. Hanya berteman detik jarum jam yang perlahan membawanya ke alam mimpi. Tak seperti ibu hamil lainnya, bukan kebahagiaan yang ia dapatkan, melainkan luka dan luka. Satu luka belum kering, sudah mendapat luka baru. Akhirnya, luka itu kembali basah dan menganga.

Reghan membuka pintu rumahnya, Bara langsung bangkit dan memberi satu tonjokan telak di rahang menantunya. Ia menatap Reghan dengan tajam. Seolah dalam tatapan itu, ia tengah menguliti laki-laki yang berani menyakiti hati putrinya.

Megan langsung menahan suaminya yang siap melayangkan tonjokan kedua itu. Debyra pun sigap menahan putranya agar tak lepas kendali. Bagaimana pun yang tengah dihadapinya adalah sang besan. Juga, ini adalah kesalahan yang dibuat oleh Reghan sendiri. Jadi pantas saja Bara sampai marah seperti itu. Beruntunglah Reghan karena Bara tak sampai membunuhnya hidup-hidup.

"Kenapa kamu tega, Reghan! Kamu tahu Hana anak yang baik. Dia sangat sayang sama kamu! Tapi kamu? Kamu malah mempermainkan perasannya! Di mana hati kamu!" Bara berbicara sarkas dan terus terang.

"Saya bilang saya ...."

"Jangan banyak alasan! Saya akan bawa Hana pergi dari rumah ini, tidak ada yang bisa menghalangi saya!"

"Saya bisa! Saya bisa menghalangi Anda Tuan Bara yang terhormat." Reghan menatap mertuanya tak kalah tajam. "Karena bagaimana pun, saya masih suaminya. Saya yang paling berhak atas Hana."

"Pak, sabar. Jangan emosi gini, Hana nggak akan suka kalau lihat kalian begini," timpal Megan yang langsung dituruti oleh Reghan dan Bara. Kedua pria itu akhirnya memisahkan diri.

Reghan berjalan tegas menuju kamarnya. Debyra menatap Reghan yang perlahan menjauh. Sebagai orang tua, ia sangat terpukul mendengar anaknya yang dengan berani bermain cinta di belakang istrinya sendiri.

"Kami meminta maaf, Pak Bara, Bu Megan." Debyra mengusap air matanya. "Kami gagal mendidik Reghan." Satria mengelus pundak sang istri.

***

Reghan membuka pintu kamar dan terlihatlah tubuh meringkuk di atas ranjang. Ia mendekatinya dan duduk di tepian ranjang. Tangannya tiba-tiba saja terulur mengusap perut yang mulai membuncit. Usapannya naik hingga ke wajah sang wanita. Ia mengusap mata sembab itu dan rasa sesal kembali terasa di dadanya.

Tampaknya usapan itu membuat sang empunya terganggu. Ia mengerjap dan perlahan membuka matanya. Reghan terkejut melihat Hana terbangun.

"Maaf, aku jadi bangunin kamu," sesalnya.

Hana duduk bersandar di kepala ranjang. Ia menyandarkan kepalanya. Tatapannya terus menatap Reghan yang kini juga tengah menatapnya. Reghan dan Hana saling terbius oleh mata masing-masing.

Tiba-tiba Hana beringsut mendekati Reghan dan tangannya terulur mengusap rahang suaminya. Lembut dan tegas. Itulah yang Hana rasakan. Bibirnya menyunggingkan senyum manis.

Reghan hanya diam merasakan setiap sentuhan Hana di wajahnya. Ia memejamkan mata saat tangan itu mengusap matanya. Tanpa Reghan sadari, Hana mengusap air matanya. Mata itu kembali terbuka dan langsung bersitatap dengan iris hitam teduh milik Hana.

Sampai akhirnya Hana memeluk Reghan dengan erat. Ia menumpahkan segala air matanya di dada bidang lelaki itu. Reghan menahan rasa bersalahnya. Ia tak mampu berbuat banyak. Rasanya meminta maaf pun tak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana hancurnya hati Hana. Andai kata maaf bisa mengembalikan semuanya ke masa SMA, mungkin Reghan sudah melakukannya sejak satu detik Hana memutuskannya. Namun, nyatanya tidak. Semua bergulir seiring berjalannya waktu.

Hana terisak dan Reghan dengan penuh rasa sayang mencium puncak kepala sang gadis. Berulang kali ia lakukan berharap Hana bisa tenang. Hana menjauhkan tubuhnya dari Reghan. Lelaki itu mengusap air mata di pipi gembulnya.

"Reghan," panggilnya dengan lirih.

Reghan tersenyum meski sulit. Jangan sampai Hana tahu dirinya lemah. Wanita itu hanya boleh mengetahui dua sisi yang ada dalam dirinya, yaitu kuat dan jahat. Biarlah kelemahannya, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

"Kamu harus nikahin Kinan, Ghan." Reghan menoleh cepat. Ia menggeleng yang entah apa maksudnya.

"Aku mau sama kamu terus," balasnya jujur.

"Jangan permainkan wanita, Reghan. Kamu harus bertanggung jawab. Bagaimana pun, Kinan hamil anak kamu, berarti kamu harus tanggung jawab. Jangan sampai kata-kata yang kamu omongin ke Kak Damar, juga kembali ke diri kamu sendiri."

"Maaf, ya. Aku belum bisa jadi istri yang terbaik buat kamu. Semoga nanti, Kinan bisa lebih bahagiain kamu." Hana tersenyum sembari mengusap rahang tegas itu.

Reghan termenung mendengarnya. Jika dulu ia memang berniat untuk menikahi Kinan dan menjadikannya istri terakhir untuknya, tetapi lain lagi sekarang. Ia hanya ingin Hana dan calon anaknya. Namun, mengapa semesta seolah memperumit semuanya?

"Hana tapi aku ...."

Wanita itu menempelkan jari telunjuknya di bibir sang suami. Ia menggeleng dan tersenyum. "Tanggung jawab, Reghan. Kasihan Kinan, dia lebih butuh kamu."

"Jangan sampai dia merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya." Reghan kembali berpikir. Apa yang dikatakan Hana memang benar. Namun, mengapa wanita itu bisa semudah itu menyuruhnya menikah dengan wanita lain? Apakah Hana tak mencintainya?

"Apa kamu minta aku poligami?"

Hana menggeleng dan tersenyum. "Nikahi Kinan, dan aku yang akan mengalah."

Reghan terdiam dengan rentetan kalimat Hana. Ia mencerna semua yang wanita itu katakan. Ia pun tersadar saat Hana melepas tautan tangan mereka.

"Hana, aku nggak mau kita pisah." Reghan memohon disertai gelengan kepala yang tegas menandakan dirinya yang memang benar-benar tak mau berpisah dengan Hana.

"Reghan ... kamu harus bertanggung jawab. Jaga Kinan, ya. Seperti kamu menjaga aku." Hana masih tersenyum manis menatap suaminya yang mulai berkaca-kaca.

"Nggak ...."

"Tidur, Sayang. Aku usapin kepala kamu." Hana menarik Reghan agar tidur di pangkuannya.

Tangannya memijat kening Reghan, ia pun mengusap rambut lelaki itu. Tak lupa ia mengecup kening Reghan membuat lelaki itu tak berhenti menatapnya.

"Tidur. Besok kita bicarain sama orang tua kita." Reghan bangkit dan memeluk Hana. Keduanya berpelukan di kamar yang menjadi saksi tulusnya cinta Hana untuk Reghan.

Ia rela tersakiti, demi orang yang dicintainya bahagia. Ia rela jika kebahagiaannya bukan bersama dengannya. Mengikhlaskan? Semua bisa dilakukan seiring berjalannya waktu. Reghan memeluk Hana dengan erat. Ia bimbang, pikirannya berkelana menyesali mengapa semuanya serba terlambat?

***
Diketik dengan : 1037 kata.

Istri Terakhir [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz