34. Sebelum Berpisah

24.6K 1.5K 4
                                    

Hana berjalan riang menuju ujung komplek untuk membeli sate. Ya, ia sudah memutuskan untuk jajan makanan berat itu. Sekalian untuk nanti malam berjaga-jaga jika dirinya lapar di tengah malam. Semenjak empat bulan hamil. Hana merasa asupan dalam tubuhnya meningkat. Makan dalam porsi biasanya tak cukup membuatnya kenyang. Apa mungkin karena bayinya yang juga tumbuh? Ah, tentu saja.

Hana tak mempermasalahkan berat badan, sebenarnya. Tadi pada Reghan saja ia hanya bergurau. Berbicara Reghan, sedang apa ya lelaki itu di rumah sendirian? Hana terkikik geli mengingat wajah masam suaminya karena tak ia perbolehkan untuk mengantar. Lagipula tempatnya hanya di ujung komplek. Tidak akan ada apa-apa juga.

Butuh waktu lima menit untuk berjalan kaki menempuh pedagang sate kali lima. Kendati begitu, rasanya seperti sate di restoran bintang lima. Kalau ada ajang makanan terenak, pastilah sate ini bisa masuk di salah satunya. Perjuangannya belum berhenti sampai sana.

Sesampainya ia di lapak pedagang sate langganannya, Hana mengantri terlebih dahulu. Ya, antriannya kira-kira ada sepuluh orang lagi. Hana mengelus perutnya merasa ngiler mencium asap sate yang menguar saat daging berbumbu itu diletakkan di atas pembakaran.

Tanpa disangka, sebuah bungkusan tersodor kepadanya. Hana mendongak, ternyata itu adalah rekan dari penjual sate itu. Hana menatapnya bingung, perasaan dirinya masih mengantri. Kenapa bungkusan sate itu malah diberikan padanya? Apa mas-mas ini salah orang?

"Saya belum pesan, Mas. Kayaknya Mas salah orang," ucap Hana tak menerimanya.

"Tapi ini atas nama Mbak Hana. Lengkap kok, Mbak. Acar dan lontongnya dipisah, sambalnya juga. Kecapnya sedikit dan bumbu kacangnya banyakin," jelas mas penjual sate tersebut.

"Ambil aja, Mbak. Saya nggak kasih apa-apa kok di dalamnya," seru penjual yang tengah membakar sate.

Hana melirik pada pembeli lain yang masih antri di depannya. "Ya, udah. Ini, Mas."

Penjual itu menahan tangan Hana yang menyodorkan uang berwarna biru.  "Ambil aja, hitung-hitung bonus karena Mbak pelanggan setia kami," ucapnya lagi-lagi ditanggapi kerutan kening.

"Saya mau bayar aja, Mas. Nggak enak sama yang lain," balas Hana.

"Ambil aja, Mbak. Saya balik ke sana, ya, Mbak. Masih banyak pesanan. Semoga suka satenya!"

Hana keluar dari antrian dengan raut bingung. Beberapa pembeli lain menatapnya iri, aneh, dan lain sebagainya. Wanita itu berjalan pelan dengan bungkusan di tangannya yang menurutnya sangat membingungkan. Ada apa dengan penjual sate itu? Apa di sini sedang ada give away untuk wanita hamil yang membeli satenya?

Lantas, ia melirik ke antrian dua puluh lima, di sana juga ada wanita yang tengah hamil. Namun, mengapa tidak diberikan juga kalau memang sedang ada give away? Ah, tidak tahulah. Hana bersyukur saja meski hatinya masih bingung. Ia pun berjalan pulang sembari melirik ke belakang tempat penjual sate itu yang sesekali tersenyum padanya. Hana pun membalasnya.

"Aneh banget, deh." Hana mengusap perutnya seolah bercerita.

"Padahal tadi Buna belum pesen, Dek. Tapi kenapa tiba-tiba dikasih?" Hana menatap bungkusan itu, lagi.

'Lucu,' batin seseorang di belakang Hana. Siapa lagi kalau bukan sosok suaminya, Reghan? Benar, lelaki itu yang sudah lebih dulu sampai dan memesan sate untuk Hana. Ia yang mengatur semuanya agar sang istri tak perlu repot-repot mengantri. Soal caranya, biar itu menjadi rahasia dan cerita untuk anak mereka nanti.

"Adek, Buna mau cerita." Hana mengusap perutnya, lagi. Matanya menatap ke depan memerhatikan jalanan. Memastikan ia tak salah memijak, bisa bahaya untuk bayinya jika Hana terjatuh.

Istri Terakhir [END]Where stories live. Discover now