28. Anak Kucing

3.2K 819 136
                                    

****

Pagi itu, Dimas terbangun dengan kantung mata yang menghitam, wajahnya kusut dan kepalanya pusing. Semalaman ia tidak bisa terpejam hanya karena terus memikirkan perbuatannya pada Dara.

Dimas mencium anak kucing itu, dan yang lebih membuatnya bersalah, Dara sama sekali tidak tahu kalau aksi Dimas tersebut termasuk bentuk pelecehan. Astaga, Dimas semakin takut meninggalkan Dara di Jakarta sendirian.

"Bapak masih ngantuk?" Dara yang sudah duduk di kursi penumpang bertanya dengan mata menelisik wajah Dimas.

Sebelum menuju kantornya, Dimas lebih dulu mengantarkan Dara ke tempat Beni sekaligus memastikan kalau calon ibu dari anaknya itu baik-baik saja. Tidak tersesat apa lagi terjatuh.

Tunggu. Ini bukan bentuk perhatian Dimas kepada Dara, melainkan pada anaknya yang ada di dalam perut gadis itu.

Semenjak melihat bentuk calon anaknya saat memeriksakan kandungan Dara kemarin, Dimas merasakan dadanya selalu berdesir setiap mengingat itu. Meski masih berbentuk janin, tapi Dimas ingat sekali seperti apa suara detak jantung anaknya.

Ah, mungkin seperti ini rasanya jadi Sean dan Andri saat tahu mereka akan memiliki anak.

"Gue gak ngantuk," sahut Dimas malas.

"Tapi muka Bapak kusut banget."

Iya, dan semuanya gara-gara lo, gerutu Dimas dalam hati dengan dengusan samar.

"Oh iya, Pak, nanti di tempat temen Bapak itu, Dara kerjanya jadi apa? Tukang cuci piring?"

Alis Dimas terangkat ke atas, melirik sekilas gadis itu sambil tetap memfokuskan pandangannya pada jalanan di depan sana. "Nggak tahu."

Dimas masih mencoba untuk tidak terlalu perhatian pada Dara, tidak terlalu sering berinteraksi. Karena jujur saja, Dimas takut kebablasan seperti semalam.

"Pak ...." Dara tampak ragu-ragu untuk bertanya, takut lelaki itu tersinggung.

"Kenapa?" tanya Dimas yang sadar.

"Itu ... em, apa temen Bapak udah tau kalo Dara hamil?"

Sontak merasakan rasa panas menjalar ke kepalanya, Dimas berdehem. "Temen gue udah pada tahu tentang kondisi lo."

"Terus gak apa-apa gitu, Pak?"

Dimas mendadak bingung. "Gak apa-apa gimana?"

"Mereka gak jijik sama Dara?" Semakin tidak mengerti, Dimas malah menaikan sebelah alisnya menatap gadis itu. "Dara kan hamil, Pak, tapi belum nikah. Biasanya orang-orang di kampung Dara bakalan ngegosipin, terus ngejauhin dan mandang rendah orang-orang seperti Dara."

Perasaan tidak enak seketika berkerumun di dalam dadanya. Sejak ia mengenal Dara, hingga gadis itu tinggal bersamanya, baru kali ini ia melihat Dara setidak percaya diri itu.

"Elo gak bisa menyama ratakan semua orang, Dar. Apalagi sama orang-orang di kampung lo. Mereka beda. Dan temen-temen gue gak sepicik itu dalam menilai orang. Mereka juga gak sempurna." Dimas kembali fokus pada jalanan di depan sana, namun perasaannya belum juga membaik. "Lagian ya, Dar. Hanya karena elo udah gak perawan dan hamil di luar nikah, bukan berarti elo lebih rendah dari mereka, dan seharusnya elo juga jangan merasa rendah hanya karena kehidupan lo berbeda. Selama elo gak nyusahin mereka, gak nyakitin mereka, dan gak minta makan sama mereka, elo berhak atas hidup yang lo jalani. Inget, Dar, hidup lo itu punya lo."

Dara masih mengamati Dimas dari samping. Menelaah setiap ucapan lelaki itu. "Gitu ya, Pak?"

"Ini gue ngomong panjang lebar gini elo ngerti gak?" dengusnya. Ingat, Dara itu kan telmi. "Jangan iya-iya aja tapi gak paham."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 27 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KALOPSIAWhere stories live. Discover now