Bahas Ijas

136 5 5
                                    

"Thank you for helping us, Sir. Maaf karena sudah merepotkan," ucap Anjana sambil mempertontonkan lesung pipinya yang menggemaskan.

"No worries, Mate!" Pak Soga tersenyum seraya meninju pelan lengan Anjana, "Nanti Bapak usahakan dulu untuk buka obrolan ini sama Pak Mizi ya."

Anjana berpura-pura meringis lalu mengusap lengannya yang tak sakit. Keduanya kompak tertawa. Anjana menoleh pada Amar kemudian mengangguk; sebuah tanda untuk segera mengakhiri perbincangan. Mereka lalu berpamitan pada guru Bahasa Inggris itu dan segera menuju ke kelas masing-masing.

Raut wajah Anjana tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Ia ingin cepat sampai di kelas dan mengabari dua teman racaunya tentang hasil diskusinya dengan Pak Soga.

Dalam perjalanannya menuju kelas, Anjana merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel untuk memeriksa notifikasi yang masuk karena ponselnya sengaja ia atur dalam mode senyap ketika masih berdiskusi dengan Pak Soga. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat melihat ada total delapan panggilan tak terjawab dari Kinan dan Verdy.

What the...? Kompak banget nelponin gue? batin Anjana.

Anjana mencoba untuk melakukan panggilan telepon pada keduanya, namun tidak satu pun dari mereka yang menjawab. Mendadak, perasaannya tak karuan. Kalau itu Marun atau Kayas, mungkin ia tak akan terlalu cemas. Tapi ketika itu adalah Kinan, beda urusan. Mengingat pengalaman buruk yang pernah dialami oleh teman bungsunya, Anjana tentu saja tak tinggal diam. Ia hanya takut sesuatu yang buruk kembali menimpa Kinan-atau lebih parahnya lagi, Verdy turut mengalami hal serupa.

Sama seperti Verdy, lelaki berlesung pipi itu seketika berlari menuju kelas X-3. Ia tak lagi menghiraukan orang-orang yang ia tabrak di perjalanan. Yang penting, ia bisa secepat mungkin sampai di kelas Kinan.

Derap langkahnya panik dan tanpa sadar Anjana justru melewati kelas yang ia tuju. Karena berlari terlalu kencang, ia kesulitan untuk mengerem langkah kakinya. Anjana kemudian terhuyung dan kepalanya membentur pintu.

"AW!"

Anak berkulit pucat itu sontak mengusap kepala seraya mengutuk kecerobohannya sendiri. Anjana masih sibuk mengusap kepala saat tiba-tiba suara seseorang menyapanya dari belakang.

"Kamu kenapa? Sakit kepala?"

Anjana menoleh dan seketika mematung. Tak lama, ia mendongak untuk memastikan pintu kelas mana yang tak sengaja ia tabrak. Mata kecil Anjana membelalak saat melihat ukiran papan kayu bertuliskan "Kelas X-4" di atas pintu. Dan orang yang sedang menunggu jawabannya adalah Rosa—perempuan yang ia suka.

Anjaaay... bener-bener cara yang gak keren untuk ketemu sang pujaan! batin Anjana.

"O-oh, enggak kok. Bukan," jawab Anjana terbata. Bingung, panik, dan malu rasanya bercampur aduk.

"Terus kenapa kayak kesakitan gitu? Mau saya antar ke UKS?"

"Eh, eng-enggak. Gak usah, beneran deh. Saya gak apa-apa." tutur Anjana, masih mengusap kepala sambil tersenyum kikuk. Sesekali, ia mengintip keadaan kelas X-4 di muka pintu. Rosa yang dibuat heran dengan tingkah anak lelaki berlesung pipi itu seketika tersenyum.

"Nyariin siapa?" goda perempuan manis yang saat itu tengah menggenggam satu buah map plastik berwarna biru.

"Hah?"

"Dari tadi kamu ngeliatin kelas saya terus,"

"Oh, itu..."

Lesung pipi Anjana muncul. Ia terkekeh. Alasan di balik mengapa netranya hanya fokus pada apa pun selain Rosa adalah karena Anjana terlalu malu menatap Rosa dari jarak sedekat itu. Tiba-tiba, Anjana teringat sesuatu.

KATUMBIRIWhere stories live. Discover now