// 29: Membangun Percaya

886 129 24
                                    

"Eleuh, cantikan maneh, Ra!" tukas Tiyas sambil ogah-ogahan menelusuri tiap-tiap foto yang terpampang di layar ponselnya

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

"Eleuh, cantikan maneh, Ra!" tukas Tiyas sambil ogah-ogahan menelusuri tiap-tiap foto yang terpampang di layar ponselnya. Perempuan itu memberikan ponselnya kepada Anis yang sejak tadi hanya bisa curi-curi pandang sedikit karena ponsel Denara dikuasai oleh Tiyas dan pemiliknya sendiri. "Liat, deh, Nis."

Anis menerima benda hitam dengan case yang kiranya sudah setahun tidak Denara ganti karena dulu kembaran dengan Gama. Gadis itu mengangguk-angguk sambil melihat satu per satu foto yang sejak tadi jadi perhatian Tiyas dan Denara. "Setuju."

Sementara teman-temannya mendukung keras Denara, gadis itu sendiri berdengkus kasar sambil mengerucutkan bibir. "Nggak mungkin, atuh, Yas, Nis. Kalau cantikkan gue, Gama pilih gue."

Tiyas dan Anis saling tatap. Sementara Tiyas meraih kue kering dari dalam stoples, Anis mengembalikan ponsel Denara kepada pemiliknya. Pelan, Tiyas menepuk pundak Denara layaknya seorang teman yang sedang memberikan semangat. "Emang dasarnya si Gama teh blegug, Ra."

Anis mengangguk penuh setuju. "Move on, atuh, Ra."

Bibir Denara semakin mengerucut. Wajahnya semakin lesu bagai tak punya minat melanjutkan hidupnya. Nyatanya, suntikan semangat dari dua sahabatnya tidak memberi kekuatan apapun padanya. Gama Adi Prasaja tetap takkan kembali ke tangannya seperti dulu. Bahkan laki-laki berhati lembut itu sudah berani menolak pemberian Denara.

Sedari dulu Denara tahu, Gama adalah tipe laki-laki setia yang takkan goyah prinsipnya. Namun, kehadiran Aruna, si pujangga-pujangga kebanggannya itu, membuat pilar kesetiaan Gama padanya runtuh total. Heran. Memangnya, sekuat apa, sih, kata-kata yang tercetak di dalam buku itu? Toh itu hanya sebuah buku puisi. Kalau mau, Denara juga pasti bisa merangkai kata-kata sepele yang diromantisasi menye-menye begitu.

"Bener kata Gama. Harusnya teh, gue nggak usah nyuruh dia jelasin ke si Aruna-Aruna itu." Sekali lagi Denara mendengkus dengan berat. Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke kasur Tiyas yang sedang didudukinya bersama dua orang temannya.

"Udah, atuh, Ra," gumam Tiyas sambil mengusap lengan Denara lembut.

Tidak ada jawaban dari Denara. Gadis itu diam memandangi langit-langit kamar Tiyas dengan dua temannya di sisi, menemaninya dengan juta semangat yang mereka angsurkan pada Denara. Meski seluruhnya, tak sekali pun mendobrak hati Denara.

Denara benar-benar menyesal tidak mendengarkan Gama untuk tidak memaksa laki-laki itu menjelaskan akhir dari hubungannya dengan Aruna. Barangkali, Denara juga seharusnya berubah lebih cepat. Ia harusnya lebih pengertian pada Gama untuk hal-hal sepele yang dulu selalu diaturnya. Andai ada satu kesempatan lagi untuknya, Denara masih mau memperbaiki hubungannya dengan Gama.

Atau, mungkin tak perlu memperbaiki apapun, sebab jauh di lubuk hati Denara yang terdalam, ia masih percaya, bahwa Gama Adi Prasaja tetap takkan ke mana-mana. Laki-laki itu akan kembali ke tangannya, meninggalkan Aruna yang jauh terpisah darinya.

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuWo Geschichten leben. Entdecke jetzt