// 37: Sidang

629 93 12
                                    

“Dua koma tujuh?” Wanita paruh baya dengan piama biru itu memandangi anak tengahnya yang kini duduk di hadapannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Dua koma tujuh?” Wanita paruh baya dengan piama biru itu memandangi anak tengahnya yang kini duduk di hadapannya. Di tangan kanannya ada selembar kertas digenggam, hasil cetakan KHS—Kartu Hasil Studi—atas nama Gama Adi Prasaja. Gama mengangguk, merasa perlu memvalidasi bahwa indeks prestasinya semester ini memang tidak naik drastis dari semester sebelumnya yang hanya 2.65. Setahun belakangan ini nilainya menurun. Isi pikirannya banyak sekali. Ditambah lagi dengan pekerjaan sampingannya bersama Ashlan dan Ridho sebagai fotografer, makin hancurlah tangga nilai yang dulu ia targetkan meningkat tiap semesternya. “Kok bisa, sih, Nak, cuma segini?”

Inilah alasan Gama sangat menghindari pulang. Semester lalu, ia memberanikan diri untuk pulang dan jujur mengenai nilainya yang turun dari angka tiga koma, namun, respons orang tuanya malah kontradiksi dengan harapannya. Gama pikir, kedua orang tuanya akan mengerti bahwa Gama memiliki kesibukan lain seperti pekerjaan dan organisasi, demi membangun relasi dan memenuhi kebutuhan beberapa mata kuliah yang tidak murah.

Ternyata tidak semudah itu. Selain Gama mendadak drop karena banyak pikiran, ia juga tidak mendapatkan dukungan dari kedua orang tuanya. Padahal, Gama sudah memberanikan diri semampunya untuk jujur mengenai nilainya yang tidak maksimal, tapi ibunya tidak mau mencerna penjelasan selogis apapun. Hanya ada satu hal yang beliau mau tahu: Gama harus fokus kuliah dan tidak melakukan apapun yang tidak penting.
   
Gama seringkali tidak memiliki kesempatan untuk jadi dirinya sendiri di rumah ini. Segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa mungkin jauh sebelum ia lahir. Tidak boleh pulang di atas jam sepuluh malam, tidak boleh pacaran, tidak boleh keluar malam lebih dari tiga kali dalam seminggu, bahkan dulu semasa sekolah, tidak boleh pulang di atas pukul lima sore. Apa-apaan, deh? Padahal Gama anak laki-laki, sudah besar pula. Kenapa harus dikekang sebegitu ketatnya?
   
Institut Teknologi Bandung selalu jadi tujuannya sejak duduk di kursi kelas sepuluh. Gama pikir, dengan ia merantau, runtuhlah semua aturan di dalam rumahnya. Mungkin Bandung memang tidak terlalu jauh dari Depok dan memungkinkan kedua orang tuanya sering berkunjung, tapi setidaknya, akreditasi bagus yang dimiliki ITB sudah cukup untuk membuat orang tuanya tidak menuntut putra tengahnya untuk berkuliah di kampus pilihan mereka.
   
“Gama kan semester ini ngejabat himpunan, Bu. Terus juga, masih ngejalanin usaha kecil-kecilan sama Ashlan sama Ridho buat motret.” Gama berterus terang, menyembunyikan satu poin tersisa, bahwa ia juga sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. “Itu juga nggak jelek-jelek amat, kok. Masih dua koma tujuh, deket tiga, kan?”
   
Ibunya memijat pelipis lalu meletakkan kertas tersebut di atas meja yang membentang di antara mereka. Wanita itu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Gam, Gam. Tuh abangmu, si Galih, lulus cum laude, tiga setengah tahun. Adikmu, Ghani, kemarin dapet hubungan internasional di UI. Kamu ini, udah dapet kampus bagus, buktikanlah kemampuan kamu dengan nilai yang bagus juga. Kamu jangan contoh keburukan abangmu, dan harus jadi contoh buat adikmu.”
   
Gama menghela napas. Ia sudah hafal di luar kepala omongan itu. Jangan contoh keburukan Galih, dan jadi contoh untuk Ghani. Sejak Ghani lahir, tuntutan hidup Gama jadi lebih banyak memang. Pokoknya, segala kesalahan yang pernah dilakukan Galih, kakaknya, tidak boleh ia lakukan lagi. Ditambah, ia harus menjadi contoh yang baik untuk Ghani. Meskipun, memang sih, kalau dihitung-hitung, Gama-lah yang paling sering buat onar di antara ketiganya, tapi, jelas saja Gama melakukannya.
Selama ini, ia hanya ingin bebas mengeksplor dunia, bebas dengan kemauannya sendiri. Gama sadar statusnya adalah seorang anak, dan Gama juga sadar, itu artinya ia memiliki hak yang setara dengan Galih dan Ghani. Harusnya, bukan Gama yang bertanggung jawab membetulkan kesalahan Galih, dan bertanggung jawab atas akhlak Ghani.
   
Tapi, toh Gama takkan pernah bisa berdebat dengan ibunya. Selelah apapun ia mendengar segala nasihat yang keluar masuk di telinganya, pada akhirnya Gama hanya akan mengangguk manut. Termasuk, ketika ibunya bilang, “Kamu udah mau semester akhir, Gam. Nilainya jangan begini lagi, ya, Nak. Lulus tepat waktu. Jangan buang-buang waktu untuk hal-hal nggak penting. Banyak-banyak kegiatan yang bermanfaat, banyak berdoa, dan jangan pernah tinggalin shalat.”
   
Sidang menegangkan itu selesai. Ibunya meninggalkan ruangan, begitu pula Gama yang turut pergi, menyendiri di dalam kamar.

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuWhere stories live. Discover now