13. Tragedi

64 8 7
                                    

Malam telah tiba, ini waktunya Jisey makan setelah menyelesaikan tugasnya. Sebenarnya ini karena atas paksaan ibunya yang menyuruhnya untuk makan, jika tidak, mungkin Jisey akan kelupaan untuk makan malam. Jam baru menunjukkan pukul sembilan, tapi Jisey merasa ini sudah sangat malam karena harus sendirian di dalam rumah yang biasanya diisi oleh dua orang.

Hanya terdengar suara beberapa kendaraan yang berlalu lalang dan dedaunan yang saling bertegur sapa karena angin. Jisey bahkan sampai memutar musik untuk mengusir kesepiannya, padahal Jisey bukan tipe yang seperti ini.

Jisey menuruni satu persatu anak tangga, mendatangi dapur untuk mengisi perutnya yang harus diisi. Jisey sebenarnya sedikit tidak bersemangat, karena sendirian. Ia benar-benar kesepian.

Tapi mau tidak mau, Jisey harus bisa. Ini juga demi dirinya sendiri.

Jika Jisey kesepian karena hanya seorang diri di rumah, maka berbeda lagi dengan penghuni tetangga sebelahnya. Di sana, Haikal dan Satria sudah siap di depan televisi untuk menonton para jagoan kesebelasannya bertanding di atas lapangan hijau yang juga sudah ramai penonton.

"Pah, kali ini jagoannya Aga bakal menang," ujar Haikal dengan bersemangat. Satria hanya menertawai Haikal, meremehkan.

"Kemarin aja kalah tuh."

Haikal cemberut, lalu menggeleng dengan yakin. "Kali ini menang!"

Satria melirik ke sebelah, namun tak mendapati minuman ringan yang biasanya sudah menjadi teman nonton bola mereka.

"Aga, kamu gak minumin semua cola nya, kan?"

Haikal menggeleng sambil mengangkat kedua tangannya. "Aga gak tau apa-apa, Pa."

"Emang Papa udah beli?" tanya Haikal bingung. Perasaan Haikal dari tadi memang gak ada liat botol minuman ringan di rumahnya.

Satria diam sejenak untuk berpikir, lalu tertawa, "Papa belum beli, ya?"

Haikal menghela nafasnya malas sekaligus pasrah dengan ayahnya sendiri, "Yeeeu, balik nanya. Papa pikunan banget, padahal masih muda."

"Eh, udah enggak muda, sih, ya?" sambung Haikal dengan main-main.

"Masih muda gini dibilang tua," omel Satria. Haikal hanya mengangguk, mengiyakan perkataan sang ayah yang sangat tidak penting baginya. Tua atau muda, Satria juga akan tetap menjadi ayahnya. Dan itu tak akan bisa dirubah.

"Papa mau beli minum sama camilan dulu kalau gitu. Kamu tunggu dulu." Baru saja Satria beranjak, tapi Haikal mencegah sang ayah.

"Ngapain, sih? Udah malem juga."

"Ke warung depan aja, Ga."

"Aga ikut dong kalau gitu."

Namun Satria menggeleng sambil berdecak, "Gak usah. Ribet ah, ke depan gang doang."

"Sekalian nanti kalau Jisey mau ada perlu, kan, kamu ada di rumah," lanjut Satria.

Mau bagaimana lagi, Haikal hanya bisa pasrah. Kalau gak dititipin Jisey, maka dirinya yang akan dititipkan ke Jisey. Hanya seperti itu dan selalu begitu.

Satria langsung saja pergi ke luar, tanpa menggunakan jaket. Sudah biasa baginya terkena hembusan angin malam tanpa jaket.

Haikal hanya bisa menghela nafasnya sambil lanjut menonton acara di depan. Sebentar lagi acara pertandingannya akan dimulai, maka dari itu, Haikal harus stay tune mulai dari sekarang.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang