38. I am u, me & u

14 6 0
                                    

Semenjak pulang dari liburannya bersama ayah dan juga kedua orang yang kemungkinan besar akan menjadi keluarga barunya, sejak itulah Haikal merasa hari-harinya mulai berubah. Sudah beberapa hari ini Haikal merasa ingin meluapkan emosinya. Entah ia harus apa, ia juga tak tahu.

Rasanya ingin teriak sekaligus memukul sesuatu, tapi yang bisa ia lakukan hanya menarik napas, lalu menghembuskannya, kemudian ditinggal memejamkan mata, sampai tertidur jika di malam hari. Haikal membawa pikirannya sampai tidur, tapi sikap yang selalu ia tunjukkan selalu berusaha menjadi dirinya yang seperti biasa. Menyebalkan.

Walau beberapa ada yang menyadari perbedaan sikap Haikal belakangan ini, yakni Sarah, Jisey, Abim, dan Wahyu, tapi Haikal tetap merasa dirinya masih sama seperti biasanya. Walau dalam hati ia mengakui kalau dirinya memang sedang tidak seperti biasanya.

Ia ingin marah, karena ia harus mengorbankan perasaannya pada Jisey. Ingin kecewa, karena ternyata orang yang paling berharga di hidup Haikal dengan tiba-tiba mengatakan kalau ia memiliki hubungan lebih lanjut dengan ibu dari gebetannya.

Tapi lagi-lagi berkat Jisey, Haikal bisa menerima semuanya. Seharusnya Haikal memperjuangkan perasaannya, seharusnya Haikal berani untuk mengungkapkan hal itu pada dua orangtua yang kelak akan menjadi pasangan hidup, dan akan menjadi orangtuanya kelak.

Iya, seharusnya. Tapi Haikal memilih untuk menyimpannya, begitu juga dengan Jisey. Haikal tak mengerti mengapa Jisey juga harus bersikap pasrah seperti itu, dengan gampangnya ia menyetujui hubungan ibunya dengan tetangganya, ayah dari Haikal.

"Haikal."

Mendengar namanya dipanggil, Haikal yang sedang melamun di kasur kamarnya langsung menoleh ke pintu, mendapati Jisey yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Boleh masuk, gak?"

"Anak cewek gak boleh masuk kamar cowok sembarangan," sahut Haikal cepat, tanpa berpikir.

"Kebalik gak sih?" gumam Jisey.

"Sama aja. Yang penting cowok cewek di kamar berduaan. Mau kamar cewek atau cowok."

Jisey menghela nafasnya, lalu kembali menatap Haikal dengan bersungguh-sungguh. "Really? Bahkan disaat kita akan jadi saudara, lo gak akan izinin gue masuk kamar lo?"

Bagai dihantam beban ratusan ton, Haikal lagi-lagi merasa tertusuk dengan kenyataan yang akan ia hadapi. Kalau Jisey, perempuan yang sudah membuatnya merasakan apa itu jatuh cinta, kini akan menjadi saudara tirinya.

"Kita gak kenal dari kecil, Jisey. Yang kenal dari kecil aja bisa kena pengaruh setan."

"Emang lo ada niatan sama gue? Makanya punya iman tuh yang kuat," semprot Jisey yang membuat Haikal pusing sendiri. Tak ingin membuat kepala semakin pusing, Haikal membiarkan Jisey masuk dan berdiri di dekat kasurnya. Hanya sebatas itu, karena Jisey juga canggung kalau main asal duduk di kasur Haikal.

"Gue gak tanggung jawab ya kalau nanti ada setan yang ganggu," kata Haikal.

"Tinggal teriak. Gampang. Mama sama Om Satria di bawah." Lagi-lagi, Haikal hanya bisa menghela nafasnya atas tingkah Jisey.

Belakangan ini, Haikal merasa sikap Jisey banyak yang berubah. Mulai dari topik obrolan yang dibincangkan, sampai Jisey yang banyak bicara dan mungkin sudah menyebalkan. Entah benar berubah atau tidak, yang jelas, Haikal merasakan hal itu. Jika biasanya Jisey hanya meresponnya dengan geraman, sekarang Jisey mulai merespon dengan omelan. Jika biasanya Haikal harus menjahili Jisey terlebih dahulu, sekarang Jisey suka tiba-tiba menghampirinya untuk mengobrol. Seperti saat ini contohnya.

"Kal, gue tuh mau ngomong sama lo."

"Silakan, gak ada yang larang."

Walau sudah berusaha menanam mindset kalau Jisey akan menjadi saudaranya, tapi rasa itu masih tertanam kuat di lubuk hati Haikal. Padahal baru beberapa bulan, tapi akarnya sudah tertanam kuat di sana. Haikal sampai kesusahan untuk mencabut akar perasaannya pada Jisey untuk mengganti menjadi bibit baru sebagai saudaranya.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang