Satu

7K 153 129
                                    

Wounds in Marriage

***
Bab Satu

***

Anggya FOV

"Kenapa kamu menangis, Sayang?"

Aku menoleh, melihat suamiku datang dengan membawa piring berisi potongan buah segar. Dia menaruhnya pada meja di hadapanku. Aku tersenyum, merasa sangat beruntung memiliki suami sepertinya. Ia sosok yang sangat baik, perhatian juga penyayang. Aku bahkan merasa bahwa hidupku sangat sempurna karenanya. Meskipun kami menikah karena perjodohan. Namun, begitu tahu bagaimana sikap Mas Naufal, aku dengan cepat mencintainya. Bahkan mungkin sekarang teramat sangat. Dia lelaki idamanku.

"Filmnya sedih sekali, Mas." Aku menarik tisu, menyeka air mata yang mengalir di pipi. Mas Naufal mengusap kepalaku. "Suaminya jahat. Berselingkuh dan membiarkan istrinya terlantar."

"Berhentilah menonton film yang seperti itu." Mas Naufal mengelus pipiku sekarang.

"Memangnya kenapa?" Aku membuka mulut saat Mas Naufal mengangkat potongan buah segar. "Aku bosan tidak melakukan apa pun di rumah." Memang sekarang Mas Naufal menjadi sedikit posesif. Dia melarangku mengerjakan banyak hal.

"Sebaiknya kamu menonton film yang bisa membuat bahagia. Aku takut saat kamu sedih, anak kita yang berada di dalam perutmu juga ikut sedih."

Aku terkekeh seraya menatap Mas Naufal. Ada-ada saja pikirannya. Lantas, aku menatap Mas Naufal dengan serius. "Apakah Mas tidak akan pernah selingkuh?" Sengaja kupandang bola matanya dengan lurus dan tegas.

Kami saling menatap untuk beberapa detik, sampai kemudian Mas Naufal mengangguk. Lelaki itu melemparkan senyum ke arahku. Dia mengelus kepalaku dengan kasih sayang. Aku segera tersenyum cerah. Suka dengan setiap sentuhan yang dia berikan. Sebab aku tahu itu berisi cinta.

"Ayo habiskan sarapanmu, Sayang," kata Mas Naufal melangkah ke balik mejanya. Sekarang sudah fokus menatap layar laptop. Lelaki itu kembali sibuk dengan pekerjaan.

Kami memang tengah berada di kantor, lebih tepatnya di ruang kerjanya. Aku menghabiskan buah dengan semangat, lalu meneguk susu yang sudah tidak panas lagi. Mas Naufal baik sekali. Dia juga yang membuatkanku susu saat pertama kali kami datang ke sini pagi tadi. Lalu dia juga yang memutuskan pergi membeli buah di supermarket. Aku merasa beruntung dinikahi oleh laki-laki sebaik dirinya.

Ponselku berdering tepat setelah aku selesai sarapan. "Hai, Gy? Lo ada di mana? Gue jemput sekarang, ya?" Suara Tasya terdengar.

Aku menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh pada kepala kursi. "Ada apa, sih? Ini masih pagi tapi lo udah panik bangat kayak orang ketinggalan kereta aja." Tasya memang sering kali bersikap berlebihan. Sebenarnya aku sudah tidak heran lagi. Namun, pagi ini adalah waktuku bermanja dengan Mas Naufal dan menyebalkan sekali ada orang lain menganggu.

"Ini lebih parah, Gy."

Aku memutar bola mata. "Nggak usah lebay, deh." Memang sahabatku itu senang sekali mengganggu orang sepertinya.

"Gue serius!"

Oke. Aku mengembuskan napas. Meraih tisu dan mengelap sudut bibir. "Coba cerita ke gue ada apa?" Bagaimana pun, Tasya itu sahabat baikku. Aku sudah mengenalnya sejak zaman SMA. Dia sahabat yang baik. Selalu mengerti perasaanku.

"Anaknya pacar gue ulang tahun hari ini, tapi gue lupa beli kado buat dia. Gimana dong?"

"Hah? Kenapa lo bisa lupa?" Aku mengerutkan kening, hari ini anak pertamaku yang bernama Latya juga berulang tahun. Usianya sekarang genap enam tahun. Aku dan Mas Naufal sendiri sudah menyusun rencana, kami menitipkan Latya di rumah ibuku agar bisa leluasa dalam menyiapkan kejutan. "Duh, Tasya," keluhku.

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang