Empat Puluh Sembilan

1.1K 55 8
                                    

Wounds In Marriage

Bab Empat Puluh Sembilan

***

Hai.
Sebelum membaca cerita ini, alangkah baiknya follow akun saya dulu, ya. Saya berharap sekali bisa mendapatkan 1K followers. Terima kasih.

Selamat membaca.

***

Pernikahanku dengan Mas Devan telah tiba. Suasana gedung tampak ramai. Pelaminan didekorasi dengan begitu indah. Benar-benar tiga kali lipat lebih mewah dari pernikahan pertamaku. Banyak sekali kolega yang datang. Bahkan juga ada tamu asing. Orang-orang terdekatku juga banyak yang datang. Seperti Keenan dan Arsyia. Selain itu, berjejer meja berisi makanan. Mas Devan juga ternyata menyiapkan pelayan di acara kami ini. Entah mengapa lelaki itu membuat pesta yang begitu meriah.

Kami duduk bersama di kursi yang berada di tengah ruangan. Yang memang disediakan untuk mengucapkan ijab qabul pernikahan. Sudah ada penghulu di sana. Ayah yang memandangku dengan senyuman. Dan  ... Mas Devan yang duduk di sebelahku. Terlihat begitu tampan. Penghulu memberikan aba-aba kepada Mas Devan untuk segera memulai. Membuat suasana hening. Hingga akhirnya ikrar suci itu pun terucapkan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Anggya Aninditha dengan maskawin tersebut, tunai!"

"Alhamdulillah!"

"Alhamdulillah!"

Riuh suasana segera memenuhi ruangan. Semua segera berdoa bersama. Aku mengulas senyum saat bertatapan dengan lelaki itu. Tiba-tiba Mas Devan meraih diriku, menyentuh kepalaku dan berdoa. Aku memejamkan kelopak mata. Ada perasaan hangat yang menjalar ke dalam diriku. Saat kemudian Mas Devan mencium kepalaku, aku merasakan sesuatu benar-benar mengalir di dalam darahku. Lalu, bola mata kami bertemu lagi. Saling bertatapan. Memancarkan kehangatan.

Seorang fotografer sudah sangat sigap sejak tadi. Sementara Mas Devan meraih cincin dan memakainya pada jemariku. Aku pun melakukan hal yang sama kepadanya. Setelah itu, tibalah sesi berfoto dengan para keluarga, teman dan para rekan kerja Mas Devan. Aku tidak lupa juga meminta Papa, Mama dan Kak Ajeng untuk ikut berfoto. Sementara itu, Naufal tengah berdiri di sana. Lelaki itu hanya me ngulas senyum tipis saat tatapan kami bertemu. Wajahnya terlihat begitu layu. Dia seperti lelaki yang tidak terurus. Bahkan sekarang dagunya ditumbuhi banyak rambut.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Menatap suamiku yang tampak begitu tampan. Kami menikmati sesi berfoto ini dengan gembira. Bahkan Latya dan Ares sampai melompat-lompat. Aku sungguh bersyukur sekali dengan ini semua. Rasa sakitku sudah terobati. Sekarang kehidupan sudah jauh lebih baik.

"Aku mencintaimu, Anggya," kata Mas Devan seraya mengusap pipiku dengan lembut. Tatapan matanya begitu menghangatkan. "Jangan pernah pergi meninggalkan diriku, Anggya."

Menatap balik bola matanya, aku mengangguk. "Aku juga mencintaimu, Mas," kataku dengan mengulas senyum. Setelah semua yang aku lalui. Tentang pengkhianatan, rasa sakit dan kecewa. Aku tahu bahwa takdir tidak pernah salah. "Aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Berjanjilah untuk tidak pernah mengkhianatiku, Mas."

Mas Devan mengangguk. Dia menyelipkan jemari di antara jemariku. Tatapannya meyakinkan.

***

"Masya Allah, Anggy. Gue bahagia banget akhirnya lo menikah dengan Devan!" Febby memeluk diriku dengan antusias. Dia datang bersama suaminya. "Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya lo bisa bahagia!"

Aku mengangguk-angguk. Sebenarnya ingin sekali menangis sekarang. Memang perjalanan yang tidak mudah untuk bisa sampai ke sini. Aku bahkan benar-benar pernah mengalami keadaan yang begitu terpuruk. Hingga akhirnya berhasil keluar dari sana. Aku merasa bangga dengan diriku karena tidak berpikir pendek waktu itu. Aku bahagia karena sekarang kedua anakku memiliki keluarga yang sempurna.

"Terima kasih lo sudah datang ke sini, Febby."

"Gue pasti datang, Anggy!" Febby menatapku dengan senyuman. "Ini, kan, pernikahan sabahat dekat gue. Masa gue nggak datang."

"Lo salah satu orang spesial dalam hidup gue, Feb. Di saat gue terpuruk, lo selalu ada di sebelah gue." Aku mengucapkan kalimat itu dengan tulus. Seraya menggenggam telapak tangan Febby.

"Ah, gue jadi pengen nangis," kata Febby seraya mengusap bulir air mata yang mengalir ke pipi. Dia mengangkat kepala ke atas. Berusaha agar air mata itu tidak jatuh. "Gue seneng bisa jadi sahabat lo, Gy. Jangan pernah berubah, ya."

Aku pun mengangguk-angguk dengan serius. Sahabat merupakan salah satu bagian penting di dalam hidup. Meskipun aku sudah pernah kecewa. Namun, aku percaya Febby tulus kepadaku. Meskipun demikian, pengalaman sebelumnya akan aku jadikan pelajaran untuk lebih waspada dalam banyak hal. Karena tidak semua orang berniat baik kepada kita.

"Bahagia selalu, ya, Gy. Jangan lupain gue kalau nanti kita berpisah."

"Ih, kok, lo ngomongnya gitu, sih?" Aku mendorong bahu Febby dengan gemas. "Bikin gue jadi sedih, nih." Aku lantas memeluk Febby.

"Ya, siapa tahu lo dibawa Devan ke Amerika. Iya, kan?"

Aku hanya menggumam tidak jelas. Entahlah, lagipula Mas Devan belum merencanakan hal itu. Setidaknya dia tidak pernah menyinggung soal itu. Karena kalau Mas Devan memang akan pergi membawaku dan kedua anakku ke Amerika, rasanya aku belum siap. Harus meninggalkan keluargaku di Indonesia.

Mendadak, Febby melepaskan pelukanku. Dia menatap dengan serius. "Gue mau nanya boleh?"

"Ya masa nggak boleh!" ketusku seraya mengusap air mata yang tanpa sadar menggalir ke pipi.

"Bagaimana kabar Tasya?" Febby terdiam. Menunggu reaksi dariku. Aku bisa melihat keraguan dalam wajahnya. "Dan  ... Naufal? Gue dengar dia sekarang sering ke psikiater? Benar nggak, sih? Kalau gue lihat sekarang dia lebih kurus."

Aku mengangguk pelan. "Iya. Mama bilang Naufal depresi berat sampai harus ke psikiater." Bisa aku lihat wajah Febby yang terlihat prihatin. "Kalau Tasya sedang mendapatkan masa hukuman. Mungkin hanya beberapa bulan. Karena ini bukan kasus pembunuhan."

"Semoga setelah keluar nanti, dia nggak datang lagi buat ganggu hidup lo." Febby menatapku.

"Gue udah menghapus semua akses kontak Tasya. Bahkan gue berencana ingin membawa keluarga pindah rumah. Gue benar-benar ingin menghapus semua kenangan di masa lalu."

Febby menganggukkan kepala.

Mas Devan datang tidak lama kemudian. Setelah sebelumnya sibuk menyapa satu per satu kolega. Lelaki itu datang bersama dengan Latya dan Ares. Juga Abimanyu yang berada dalam gendongan. Mas Devan memanggil seorang fotografer untuk mendekat. Meminta agar kami di foto berlima.

Dia tersenyum kepadaku. Kami berdiri bersisian dengan anak-anak berada di dekat kami. Menatap kamera dan momen tersebut pun diabadikan.

"I love you, Anggya." Mas Devan berbisik di sebelahku. Sementara fotografer terus berbicara, memberikan arahan kepada kami. Saat itu aku menggendong Abimanyu dan Mas Devan segera melingkarkan lengan ke belakang tubuhku. Latya dan Ares memeluk kami dengan erat. "Kamu cantik sekali, Sayang," sambung Mas Devan.

Aku merasakan pipiku menghangat. "I love you, Mas," balasku dengan senyum mengembang. Setelahnya, satu jepretan pun terabadikan.

Semoga kami selalu bahagia dan bersama.

***

Wuaaaaa.
Tersisa satu bab lagi yaaa. Satu bab berisi momen bulan madu mereka. Setelah itu kisah ini selesai. Terima kasih untuk kalian semua. ❤

Love,
Nopita Sri Mulyani

Wounds in MarriageDonde viven las historias. Descúbrelo ahora