CHAPTER 1: SUN

953 54 32
                                    

Angin dingin menelusup masuk ke dalam pori-pori hingga bulu kuduk meremang. Aroma khas perkotaan tercium, menyebarkan kenangan-kenangan manis yang mengantarkan Eve pada rasa sakit. Sungguh, rasanya gadis bersurai ungu itu ingin segera mengakhiri hidupnya. Netra emasnya kini berkilat di bawah lampu gedung yang temaram. Pandangan kosong itu mengarah ke bawah, tepat ke atas trotoar yang dingin dan lembap khas musim hujan.

Bibir itu pun kini bersenandung. Setidaknya dia ingin membuat kenangan manis tentang akhir hayatnya meski hanya sedikit. Lagipula hidupnya sudah terlampau kacau, tak ada yang bisa diperbaiki. Semuanya hancur, sampai di detik berikutnya suara dingin nan kaku menggetarkan hatinya.

"Jadi ini keputusanmu, Eve?" tanya suara itu yang disusul oleh derap langkah beralaskan sandal jepit.

Sesekali sang pemilik langkah bermain dengan genangan air di permukaan tembok beton dengan kakinya. Menciptakan suara cipratan yang rasanya menusuk hati bagai jarum.

Lantas, Eve berbalik. Pandangannya kini sedikit terisi kehangatan tatkala menangkap sosok bersurai pirang sebahu dengan tato naga di leher. Siapa lagi kalau bukan sosok Sano Manjiro, bos dari sebuah geng kriminal terburuk di Jepang, Tokyo Manji.

"Oh, hai, Matahari," sapa Eve, "apapun yang aku lakukan saat ini bukanlah urusanmu, oke?"

Sano Manjiro si matahari melayangkan pandangan sedingin es ke arah gadis di depan. Kemudian ia pun melangkahkan kaki berlapis sandal jepitnya mendekat.

"Kau harus tetap hidup ya," ucap Eve lagi, tapi kali ini dengan penekanan. Gadis itu bermaksud mengusir atasannya dengan cara halus, tapi sayang pria itu tak mau dengar. Kini ia pun berdiri sejajar dengan Eve di atas pagar beton pembatas gedung.

Manjiro memejamkan netra lelahnya lalu mulai menghisap sebatang rokok yang ia rogoh dari dalam saku jas. "Eve, lihatlah. Kebebasan ada di depan," katanya.

Eve menggeleng seraya menahan agar air matanya tidak tumpah. "Tidak, kebebasanmu ada di sini, Mikey."

"Apalah artinya kebebasan kalau aku kehilangan kalian?" balas pria itu sembari mengembuskan asap rokok ke langit malam. "Shinichiro, Baji, Emma, Draken, mereka semua pergi."

Eve menunduk.

"Lalu selanjutnya kau? Ha! Lucu sekali. Dunia benar-benar membenciku," ujarnya sarkas, senyum miris terbit di bibirnya yang kering. Memang sudah beberapa hari ke belakang ini, Mikey lebih sering menenggak alkohol daripada air putih. Dia tahu bahwa dirinya telah menghilang terlalu jauh dan buruknya, tak ada yang bisa ia lakukan untuk menebus itu.

"Apa kau menyesal?" tanya Eve.

"Sangat," jawab Mikey cepat. "Oleh karena itu, ayo kita mati."

🍀

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

🍀

Eve merasakan udara di sekitarnya mulai menghangat. Tidak, bahkan permukaan kulitnya cenderung terasa kepanasan. Helaian rambut ungunya bergerak nakal, menghantam wajah begitu angin dingin menerpa dari depan. Gadis itu pun jadi harus repot-repot menyingkirkan rambutnya yang sudah panjang itu ke belakang telinga.

Kepalanya berdenyut sakit bersamaan dengan telinganya yang berdengung. Sungguh, itu mengganggu sekali. Untuk beberapa saat, Eve terhanyut dengan pemikirannya sendiri. Ia lagi-lagi tertidur di atas motor dan memimpikan hal yang sama berulang-ulang. Ini sudah terhitung sebagai hari kelima sejak bayangan itu muncul. Namun, yang terpenting, untung saja dia tidak jatuh dan berguling ke atas aspal.

"Eve, kau sudah bangun belum? Berat tahu!" Tiba-tiba terdengar suara protes dari si pengemudi.

Eve lantas menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bergelayut di punggung temannya itu. Kemudian ia menguap dengan santai. "Laju motormu lambat!"

Si pengendara seketika mengerem mendadak. Sontak saja jantung Eve hampir dibuat copot oleh kelakuannya. Lantas, si pengendara melepas helmnya dan menunjuk Eve bergantian dengan udara kosong di sebelahnya. "Turun!" katanya sambil menggembungkan pipi.

Si gadis bersurai ungu mengedikan bahu tak acuh lalu turun dari atas motor dan menyerahkan helmnya ke si empunya. "Aku sudah baik hati mengajakmu ke sini! Tapi kamu malah menghina Baboo-ku! Kalau kau bukan wanita, pasti sudah kutendang," cerocos si pengendara sambil mematikan mesin motornya.

Eve seketika menerbitkan senyuman miring. "Hee, aku kan tidak pernah minta diantar. Lagipula aku bisa naik motor sendiri," balasnya.

"Tidak. Pokoknya tidak boleh. Naik motor, bertarung, bergabung ke geng, pokoknya tidak boleh. Aku melarangmu melakukannya!" ujar si pengendara mencak-mencak sendiri.

Sedetik kemudian wajahnya berubah sendu. Netra gelapnya melayang ke arah gapura kayu yang sudah usang di depan.

Eve mengikuti arah pandang pria itu lalu perasaan sendu pun segera merayapi hatinya.

"Baji juga tidak akan membiarkanmu melakukan semua itu," lanjut si pengendara dengan suara lirih.

Sebuah senyum terukir di bibir Eve. Ia pun berjalan mendekati teman masa kecilnya lalu menepuk bahu si pria pelan. "Mikey, tersenyumlah. Di sini masih ada aku dan Emma," ujar gadis itu.

Si pria yang tadi dipanggil Mikey pun melepas pandangannya dari area masuk tanah perkuburan dan mulai memandangi gadis manis di sebelahnya. Laki-laki itu tersenyum tipis, ada sorot kesedihan yang masih belum sirna dari netra gelapnya.

"Bukankah kau matahari bagi kami?" Eve kini tersenyum lebar, menampilkan barisan giginya.

Hari itu, Eve dan Mikey mengunjungi teman masa kecil mereka yang kini tengah terbaring di tempat peristirahatan terakhirnya. Baji Keisuke.

つずく。

Tokyo Revengers EveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora