03. Renjun [belum revisi sepenuhnya]

559 65 6
                                    

WARNING: KEKERASAN. BAHASA BAKU

Langit sudah mulai berwarna oranye, kini sudah memasuki sore hari. Ia pulang dengan keadaan acak acakan, sudah pasti setelah ini dirinya akan menerima sebuah hukuman karena tidak mengikuti pelajaran disebabkan oleh penyakit sialan yang dideritanya itu.

Ketika dirinya membuka pintu utama pada rumahnya, disana sudah ada sang Papa yang berkacak pinggang disertai ikat pinggang di genggam.

Papa-Nya menghampiri Renjun dan menarik sang anak ke dalam rumah, ia mencambuk bagian kepala Renjun. Entah setan apa yang ada pada dirinya, bahkan selaku Papa pun sangat tak peduli dengan kondisi sang anak yang sudah mengeluarkan darah merah pekat dari hidungnya.

"Oh, habis dari mana kamu? Saya mendapati panggilan dari pihak sekolah bahwasanya kamu tidak mengikuti pelajaran hari ini. Habis dari mana? Pergi melacur?" tanya nya dengan nada kasar, bahkan tak segan segan ia mencekik leher anaknya.

"Pa ... Ku mohon berhenti!" Renjun mencoba memohon pada lelaki paruh baya yang ia sebut Papa itu, cambukan yang terasa menyakitkan kini mengenai lebam yang belum juga sembuh. Papanya mengeluarkan emosi sepenuhnya terhadap Renjun, ia mencambuk tanpa perasaan.

Kondisi Renjun terlihat miris karena tak ada yang bagian tubuh yang mulus, semuanya penuh dengan luka. Entah itu luka fisik maupun luka batin.

Darah mulai mengalir di dekat telinga Renjun, terus mengalir bahkan sampai membuat baju putihnya kotor dengan noda darah yang berasal dari lebam itu. Renjun menangis namun tidak bersuara, ia mati-matian menahan rasa sakitnya yang begitu sakit.

Papa-Nya terlalu memikirkan nilai hingga melupakan kesehatan anaknya, dan tiba tiba saja mulutnya berucap,

"Dasar hama, mati saja kamu!" Perintah yang secara tiba-tiba keluar tanpa iba pada sang Anak. Semua ekspektasi yang di punya pada Renjun tak mampu terpenuhi hingga kemarahannya memuncak.

Renjun terdiam, kala itu adalah hal yang sangat ia tak suka. Bulir bening telah memenuhi kedua bola mata yang kini menatap orang yang ia anggap Papa. Hatinya terasa di remukkan dengan sangat kejam, apakah jika ia mati maka semuanya akan baik-baik saja?

"Pa ... Apa yang Papa maksud?" Kebencian terhadap Renjun terus berkobar pada mata lelaki yang lebih tua tersebut, seakan pemuda yang di hadapannya ini adalah sampah tak bernilai, tiada guna.

Dengan tanpa berperasaan, Papanya menendang kaki Renjun dengan sangat kuat sehingga terasa menyakitkan. Namun, terlebih-lebih menyakitkan ucapannya dibanding sebuah luka fisik yang ia terima.

Bahkan saat ia di tendang, ia sama sekali tidak teriak. Hanya meringis kecil tetapi air matanya masih mengalir dengan deras.

Saat sang Papa hendak memukuli Renjun lagi, namun, Lee Taeyong datang dan langsung terkejut dengan adiknya yang sudah bersimbuhan darah dimana-mana.

"Papa, Apa kamu gila? Renjun anakmu." bentak Taeyong dengan suara yang keras, bahkan Renjun pun sampai menutup telinganya.

Taeyong segera menggendong tubuh mungil dan kecil Renjun lalu ia membawa tubuh itu ke dalam mobil.
Taeyong mulai mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat di wilayahnya.

"Hyung ... Sakit ... " ringis Renjun sambil memegangi erat kepalanya yang terasa akan pecah saat itu juga.

"Hyung ... Aku mengantuk, lelah. Boleh aku tidur?" tanya Renjun karena kepalanya mulai berkunang-kunang dan pandangannya perlahan gelap.

"Renjun, jangan tidur dahulu!" ucap Taeyong lalu mulai mengegas mobilnya dan mulai membelah jalanan kota yang ramai akan penduduk tersebut..

Taeyong membawa adiknya ke rumah sakit dan sesampainya dirumah sakit, ia menggendong tubuh Renjun yang kecil lalu berlari memasuki ruangan rumah sakit itu.

Ia tak peduli darah Renjun yang mengotori lantai rumah sakit itu, yang terpenting saat ini hanyalah tanganan dari doktor.
Dan pas saat itu juga doktor sedang jalan di lorong rumah sakit.

Dirinya sesegera mungkin meminta doktor tersebut untuk menangani Renjun.

Didalam ruangan rumah sakit, ada ners yang berdiri disana. Menatapi pasiennya yang masih berseragam itu.

"Detak jantungnya tidak normal. Suhu badannya naik drastis." gumam ners itu sembari melihat alat yang bertengger di meja.

Renjun mulai membuka matanya, yang pertama kali ia rasakan adalah bau obat yang menyengat. Renjun tahu ia sedang berada didalam kamar pasien.

"Apa anginnya terlalu kencang?" tanya ners itu dikala ia melihat Renjun sudah siuman.
Sementara hanya menggeleng, tandanya angin dari masker oksigen berjalan dengan baik.

"Alat detak jantung menunjukkan detakan yang tidak normal, apa sebelumnya kamu mempunyai riwayat penyakit?"
Renjun hanya mengangguk, ia tak kuat walau hanya sekadar membuka suara.

Renjun melihat sekelilingnya, ia tak menemukan satu orang yang tadi peduli padanya. Detik selanjutnya terdengar langkah kaki yang tak asing baginya, Renjun merasa jika itu adalah Taeyong karena ia terlihat ada seseorang datang yang sedang duduk tepat di depan kamar rawat pasien.

Ners yang melihat Renjun menatap arah jendela kamar mulai mengalihkan pandangannya, kemudian ners itu tertawa kecil. Pasti ia sedang menunggu seseorang datang, pikirnya.

Ners melihat lihat kembali bahwa tidak ada satu pun hal yang dilupakan, lalu ia mulai berjalan keluar dari kamar rawat pasien.

Saat ners itu membuka pintunya, ia melihat Taeyong yang sudah duduk di kursi tunggu dengan handphone yang di genggamannya.

Taeyong yang melihat ners yang keluar dari ruang rawat adiknya segera berdiri, lalu menanyakan kondisi sang adik,

"Apa Renjun baik-baik saja, Ners?" tanya Taeyong.

"Ya, dia baru saja siuman, Tuan boleh memasuki kamar. Tetapi jangan membuat keberisikan." ucap Ners itu lalu mulai berjalan pergi untuk mengecek kembali pasien yang lain.

Taeyong membuka pintu rawat dengan hati hati, takut jika didalamnya sang adik masih tertidur tapi ternyata ia menunggu dan menyambut dirinya datang.

Taeyong segera menghampiri Renjun yang terbaring lemah di kasur.
Ia mulai mengelus surai sang adik,

"Renjun, kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari hyung, kan?" tanya Taeyong.

Renjun menggelengkan kepalanya disertai senyuman tipis.

Hati Taeyong sakit, bisa-bisanya Renjun tetap tersenyum padahal ia tadi hampir mati karena ayah kandungnya sendiri. Taeyong menangis, apa yang Renjun perbuat hingga ia harus menerima setiap kekerasan yang diberikan.

Taeyong menutup wajah dengan lengannya, ia menangis. Tak kuat menahan semua amarahnya yang hampir memuncak, karena Papa Nya hampir membuat Renjun kehilangan nyawanya yang berharga.

Renjun terkejut melihat Taeyong menangis namun ditutupi oleh lengannya, dirinya tertawa kecil. Lalu mulai mengelus rambut kakak laki-laki yang lebih tua darinya.

"I'm fine .." ucap Renjun, suara Renjun masih terdengar jelas di indra pendengaran Taeyong meski terdengar seperti berbisik.

"Renjun, bertahanlah demi hyung. Aku sangat khawatir mengenai dirimu, kau hampir mati di tangan Papa." Taeyong berusaha untuk tidak menangis didepan adiknya, akan terlihat sangat konyol jika dirinya cengeng sementara si adik bisa manahan semua pahitnya kehidupan.

[Me;

Hello, this is Airen.
How's your day? I hope, kalian semuanya baik. Terimakasih telah membaca dan vote chapter ini, Saya datang hanya untuk merevisi kembali tentang apa yang harus diperbaiki.

Akhir Dari Semuanya ; Renjun[END]✔Where stories live. Discover now