Prolog

100 30 10
                                    

Kediaman Duke Caellum yang damai seketika berubah menjadi medan perang ketika pasukan Kekaisaran Knorcherez datang. Dengan dipimpin oleh Ludovic, ratusan ksatria menyerbu masuk, menghancurkan gerbang, menebas para ksatria penjaga. Pria berambut hitam dengan baju besi perak itu telah mengantongi izinnya, izin untuk memporak-porandakan Mansion sang pemberontak yang dengan berani menculik dan membahayakan nyawa satu-satunya putri kaisar.

Cairan kental merah terciprat ke mana-mana; menodai dinding, lantai, baju besi, dan wajah-wajah penuh kebengisan. Ludovic dengan membabi buta melayangkan pedangnya pada siapa pun yang berdiri tegak menghadang di depannya. Kilat amarah di matanya berkobar, jantungnya berdentum seumpama genderang, dan gigi-giginya menggigil penuh kesumat.

"Duke Caellum, keluar kau!" Ia berteriak lantang.

Bertepatan dengan itu, seorang pria bertopeng berjalan dengan langkah pelan ke arahnya. Bila Ludovic adalah kobaran api raksasa, maka Josellyus adalah gunung es, yang dinginnya memberimu sensasi terbakar dan membunuhmu dalam kebekuan.

Mereka saling berhadapan, mengeluarkan aura membunuh yang besar. Ludovic telah siap menumpahkan murkanya, ia bergerak maju, mengayunkan pedangnya yang langsung ditangkis oleh Josellyus, menghasilkan bunyi dentingan yang keras.

Keduanya nampak seimbang, tetapi memiliki pergerakan yang bertimpangan. Ludovic yang terbakar emosi mengayunkan pedang dengan cepat, gesit dan penuh tenaga. Sedangkan Josellyus menanggapi serangan-serangan itu dengan lebih tenang dan efisien.

"Cara bertarungmu buruk sekali, Baron Muda Ertgwar. Perhatikan pernapasanmu atau kau akan lebih dulu mati sebelum berhasil melukaiku," cemooh Josellyus dengan nada datarnya.

Ludovic berang, memelototkan matanya lebar-lebar. "Kau masih bisa bicara begitu setelah menculik dan hampir menghilangkan nyawa Sang Putri? Dasar keparat! Hari ini tidak ada ampun bagimu."

Josellyus dan Ludovic segera terlibat dalam pertarungan pelik antar Sword Master terbaik di Kekaisaran Knorcherez. Dua pahlawan yang berhasil membunuh para monster.

Semakin lama Ludovic terlihat memimpin pertarungan, sedang Josellyus hanya bertahan. Sesekali langkahnya goyah. Kesempatan itu tak dilewatkan oleh Ludovic, ia segera menyerang dan membuat Josellyus terpental mundur. Dari balik topeng hitamnya tetes-tetes kemerahan jatuh. Pria berambut perak itu terbatuk, dan lelehan darah keluar lebih banyak, menghasilkan sebentuk aliran di pakaiannya.

Ludovic kembali menerjang, cahaya kebiruan mengelilingi pedangnya. Josellyus segera mengangkat pedangnya tepat ke muka untuk menghalau serangan. Sayangnya, pedangnya tak cukup mampu untuk bertahan dan berakhir patah, Josellyus terdorong ke belakang, darah keluar lebih deras dari celah bibirnya.

Ludovic berjalan menuju Josellyus yang kini duduk berlutut di tanah, memegangi dadanya. Pria berambut hitam itu menatap lekat sepasang mata yang menyala di balik topeng. Lagi-lagi tak ia dapati ketakutan di sana. Apakah laki-laki di hadapannya ini tak memiliki rasa takut bahkan pada kematian yang sekarang mewujud sebagai dirinya?

"Duke Josellyus Emitt Caellum, kau dihukum atas tindak kejahatan penculikan dan percobaan pembunuhan pada anggota keluarga kekaisaran. Maka aku, Ludovic Ertgwar, atas perintah Kaisar menjatuhimu hukuman mati."

Dengan itu berakhirlah riwayat Josellyus, tirani terkejam di Kekaisaran Knorcherez. Yang membunuh keluarganya sendiri demi merebut posisi Duke.

Dalam sekali ayunan, pedang Ludovic memenggal kepala Josellyus. Darah terciprat ke wajah dan baju besi yang dipakainya.

Aku seketika terbatuk, air yang baru saja tertelan seolah naik kembali dan keluar melalui lubang hidung. Mendadak leherku seperti ikut merasakan sakit membayangkan bagaimana jadinya jika tubuh dan kepala terpisah. Lebih daripada itu, yang mengejutkanku adalah tepukan keras tiba-tiba di bahu kanan ketika sedang minum. Aku menoleh dan mendapati Arum, rekan kerja sesama akuntan, berdiri dengan raut bersalah.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu," sesalnya.

Baiklah, lupakan tentang novel yang kubaca secara online itu dan fokus pada tujuan wanita di sampingku ini yang datang mengganggu jam istirahat dengan setumpuk berkas di tangannya.

"Ada apa?"

"Loana, bisakah aku minta tolong padamu untuk mengantarkan laporan ini ke Pimpinan?"

Aku menaikkan sebelah alis. "Bukankah itu tugasmu?"

"Ayolah, Ana. Kita kan dari satu divisi yang sama. Pimpinan memintaku membawa laporan sebelum jam dua belas."

"Astaga Arum, ini sudah dua belas lima belas!" pekikku.

"I-iya aku tahu, maka dari itu aku ingin minta tolong padamu. Dibandingkan diriku, kamu lebih berani bila berhadapan dengan Pimpinan."

"Jadi, kamu mau menjadikanku sebagai umpan?"

"Bu-bukan begitu …."

Kuhela napas dan membuangnya menyamping. Bukan sekali dua kali wanita di depanku ini berbuat demikian. Dia senior, tepatnya sedikit senior ketimbang diriku, selisih dua bulan. Dan yang tampak sekarang ini adalah salah sifat paling menyebalkan yang dimilikinya, sialnya lagi dia tidak akan berhenti begitu saja hanya dengan penolakan. Tak ingin membuang waktu istirahat yang berharga, maka kuputuskan untuk mengiyakan saja, atau dia akan menggangguku satu jam istirahat penuh.

Kuterima setumpuk berkas itu, berjalan gegas menuju lift dan memencet tombol lantai delapan. Dua lantai di atas tempatku bekerja. Semuanya baik-baik saja sampai lift hampir tiba di lantai delapan, lampu mendadak berkedip. Aku bisa merasakan guncangan yang cukup besar sebelum lift berhenti.

Aku panik; memencet tombol alarm berulangkali dengan gerakan cepat, menggedor pintu besi, berteriak meminta pertolongan. Detik-detik yang terlewati menaikkan detak jantungku. Hingga satu guncangan lagi muncul, lalu kurasakan tubuhku meluncur bebas ke bawah. Mataku menatap pada layar kecil di atas pintu yang mengindikasikan lantai yang dilewati lift.

Astaga, astaga, astaga! Angkanya menurun dengan cepat. Aku jatuh! Lift-nya jatuh!

The Duke of MaskWhere stories live. Discover now