Part 1

15.6K 1.4K 59
                                    

"Kak Tari mau kemana?"

Pertanyaan itu menyentak Betari yang tengah menuruni tangga kayu rumahnya. Kini bukan hanya Saira yang menatap kearahnya tapi orang tuanya juga. Ruang makan yang hanya lima langkah saja dari tangga, membuatnya tak bisa mengendap-endap.

"Oh, aku mau berangkat kerja," sahut Betari dengan malas-malasan.

"Loh katanya sakit? Kok tetap berangkat kerja?" tanya papanya yang kini tengah duduk di meja makan, membaca surat kabar dan di temani secangkir kopi.

"Iya Kak, kalo sakit mending libur dulu aja Kak. Nanti kalo kenapa-napa di kerjaan gimana?" Saira mendekat lalu merangkul pinggang Betari tanpa sungkan. Selisih umur mereka yang hanya satu tahun membuat mereka akrab selayaknya sahabat.

Mendengar nada khawatir Saira padanya membuat benak Betari menghangat. Adiknya itu memang sebaik malaikat, ia tak segan menunjukkan rasa sayangnya pada Betari dan juga orang-orang di sekitar. Mungkin itu sebabnya yang membuat Arsene jatuh cinta kepadanya. Mengingat itu membuat Betari menjadi tidak nyaman, seolah hatinya memanas ketika disadarkan hal itu kembali.

"Nggak apa-apa kok, ini juga udah baikkan." Betari berkilah dan tetap pada pendiriannya untuk berangkat bekerja.

"Kamu tuh ya kalo di bilangin ngeyel terus. Kapan sih kamu mau mendengarkan keluargamu?"

Ketika mendengar nada ketus itu berbicara, Betari tidak perlu menengok untuk mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Karena hanya sang mama lah yang selalu berbicara seperti itu di rumah ini.

"Adikmu itu sayang loh sama kamu. Dia mengkhawatirkan kamu. Dia bahkan bolak balik ke kamarmu semalam hanya untuk memastikan keadaanmu." Dengan terus mendumel, sang mama menyajikan lauk yang baru di masaknya di atas meja untuk sarapan pagi mereka.

Usapan lembut di lakukan Saira di punggung Betari yang terlihat mulai terpengaruh pada kata-kata tajam sang mama.

"Saira senang kak Tari udah nggak apa-apa. Udah ya jangan di masukin hati kata-katanya mama, mama itu sebenarnya cemas juga sama kondisi kak Tari."

Betari reflek menoleh ke Saira dan tersenyum kikuk padanya. Kesalnya mereda ketika melihat senyum malaikat itu terkembang di wajah sang adik. "Ngapain juga di masukin ke hati, lagian ini bukan pertama kali." Berusaha terlihat baik-baik saja, Betari mengangkat bahunya.

Ketika ucapannya membuat senyuman Saira menghilang, buru-buru Betari menyematkan kecupannya di pipi sang adik. "Dah jangan di pikirin. Kak Tari berangkat dulu ya. Bye."

Sebelum Saira mencegah, Betari melesat cepat menuju meja makan menemui sang papa dan mamanya tanpa terkecuali. "Tari langsung berangkat aja Pa Ma."

"Kamu kan belum sarapan," protes papanya ketika Betari hendak menyalaminya.

"Papa kayak nggak biasa aja. Betari mana mau makan masakannya mama," timpal mamanya dengan acuh tak acuh.

Tanpa menjawab Betari hanya menyengir sebelum melesat menuju pintu. Ia urungkan niatnya untuk menyalami wanita yang telah melahirkannya itu. Tak butuh waktu lama wajah Betari berubah murung, ucapan-ucapan nyinyir sang mama tak ayal selalu berhasil menyakiti hatinya. Memang selama ini, ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya. Betapa pun seringnya sang mama menunjukkan ketidaksukaannya, Betari selalu berusaha terlihat baik. Menghindari makan bersama adalah cara Betari untuk melindungi hatinya dari sikap ataupun kata-kata sang mama yang dapat melukainya. Walau sebenarnya Betari tidak mengerti mengapa sang mama selalu terlihat tidak menyukai dirinya, tak jarang ia di banding-bandingkan dengan Saira yang sosoknya begitu sempurna.

Memang Betari akui, dirinya dan Saira bagaikan langit dan bumi. Saira adalah perwujudan sempurna dari seorang perempuan. Tidak hanya sosoknya yang cantik, Saira juga memiliki otak yang sangat pintar. IQ-nya di atas rata-rata, saat di sekolah Saira kerap menjuarai lomba cerdas cermat. Ia juga mendapat beasiswa sejak sekolah hingga kuliah. Berbanding terbalik dengan Betari yang otaknya pas-pasan. Betari bahkan harus rela bekerja demi bisa membiayai kuliahnya sendiri menengok kondisi keuangan keluarganya yang tidak stabil sejak papahnya di PHK.

Kepingan RasaWhere stories live. Discover now