Part 09

11.3K 1.3K 165
                                    

Tiba-tiba suara lembut yang sudah lama tidak di dengarnya kini kembali memenuhi gendang telinga. Sosok sepuh yang berjalan dengan tongkat di tangan menuju mereka membuat kemarahan Betari kepada Arsene lenyap dalam sekejap. Berkaca-kaca Betari melihat sosok itu di depan mata-tengah tersenyum hangat padanya seperti dulu. Sanggupkah Betari berkeras untuk tetap pulang?

"Nenek." Kerinduannya pada wanita tua itu dalam lima tahun ini membuat Betari di hantam sesak yang menyekat suaranya.

Wanita tua berkaca mata itu bernama Gendis. "Ternyata benar kamu, Nak. Nenek pikir Nenek sedang berhayal," ucapnya yang tampak berkaca-kaca dengan senyuman lega membingkai wajah tuanya.

Betari menoleh ke Arsene yang sedang melihat kearah lain. Tanpa Betari ketahui sebenarnya itu cara Arsene untuk menyembunyikan raut sedihnya.

Menunduk sebentar, Betari kemudian turun dan menghambur ke arah Gendis. "Nek, apa kabar?" tanyanya sambil memeluk wanita tua itu.

"Masih bertanya, nenek sudah hampir mati, kenapa kamu baru datang sekarang?" Gendis mencubit pinggang Betari.

Meski kesakitan, tapi Betari terkekeh dan tetap memeluk tubuh ringkih Gendis. "Kalau begitu Tari harus berterima kasih karena nenek mau bertahan sampai sekarang."

"Dasar anak nakal." Kembali Betari di cubiti oleh Gendis. "Setelah meninggalkan Nenek tanpa pamit, bisa-bisanya kamu ngomong begitu."

Wajah Betari seketika murung, ia merasa bersalah karena ketika pergi ia tidak sempat berpamitan dengan wanita tua itu. Lagipula mana mungkin ia menemui Gendis ketika cucunya menjadi salah satu penyebab dirinya ingin pergi.

"Maaf Nek, waktu itu Tari buru-buru banget jadi nggak sempet berpamitan sama Nenek," kata Betari ketika melepaskan pelukannya.

"Gimana mau pamitan, pergi aja diam-diam."

Sindiran Arsene membuat wajah Betari memerah dan suasana menjadi tegang seketika. Wanita itu melirik Arsene dengan sengit disaat pria itu menatapnya dengan alis terangkat.

"Arsene!" Gendis menatap cucunya itu dengan menegur.

Betari mengerjap lalu segera memalingkan wajahnya dari Arsene. Menahan gebuan amarah pada pria itu. Apa sedikitpun Arsene tidak pernah merasa bersalah padanya?

"Nenek senang akhirnya kamu datang juga. Nenek pikir kamu sudah lupa sama Nenek." Gendis yang melihat perubahan sikap Betari karena sindiran Arsene, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Demi menghargai Gendis, Betari memaksakan senyumnya."Mana mungkin Tari lupa sama Nenek. Apalagi sama rendang daging bikinan Nenek, Tari kangen banget." Ia kembali mengabaikan Arsene sepenuhnya.

"Nenek sudah tua, sekarang udah nggak bisa lama-lama di dapur. Tapi kalo untuk kamu, nenek bisa jadi lima puluh tahun lebih muda."

"Atuh, mudaan Nenek dari pada Tari jadinya."

Ucapan Betari membuat Gendis tertawa. "Sudah sudah, kamu ini memang paling pandai ya buat nenek ketawa. Ayo masuk, nenek sudah masak banyak di dalam."

Tanpa menunggu persetujuan, Gendis langsung menggandeng lengan Betari dan menghelanya menuju rumah. Ia bahkan melupakan keberadaan Arsene dan Eki yang tertidur di dalam gendongan cucunya.

Tapi Arsene yang melihat itu tidak kesal sama sekali. Ia malah terharu, keinginan sang nenek untuk bertemu Betari lagi bisa ia penuhi di hari ini. Kepergian Betari lima tahun lalu hingga terputusnya semua komunikasi mereka, tidak hanya meninggalkan rasa kehilangan di dalam dirinya tapi juga sang nenek yang sejak dulu sangat dekat dengan Betari. Selama dirinya bersahabat dengan Betari, Gendis selalu memperlakukan Betari layaknya cucu sendiri. Bahkan ketika ia terbaring sakit di ranjang rumah sakit beberapa bulan yang lalu, Gendis mengatakan tak ingin mati sebelum bertemu dengan Betari.

Kepingan RasaWhere stories live. Discover now