Part 1 : Keluarga cemara

35 12 15
                                    

Keluargaku adalah keluarga yang paling sempurna. Ada Papa, figur yang paling disegani di rumah ini. Mama, si malaikat dalam wujud manusia. Sebagai pemanis di keluarga  Tuhan juga memberikan aku seorang kakak laki-laki yang super duper rese, ngeselin dan nyebelin tapi penyayang.

"Una, dipanggil Papa!" teriak Bang Fatih. Aku langsung berlari dari kamar menuju ruang tamu, tempat di mana Papa berada sekarang.

"Yes, Sir. I'm here." Aku memberi hormat pada Papa. Dia menatapku kebingungan. Di sisi lain wajah memerah Bang Fatih terlihat jelas, di sebrang sana dia menahan tawa.

"Sial!" decakku dalam hati. Aku tersenyum kearah Papa. Bergerak mundur menahan malu.

"Abangggggggg .... " Aku berteriak dengan kencang memenuhi langit-langit rumah. Berlari mencari Bang Fatih.

***

"Una." Bang Fatih menghampiriku. Dia tahu aku masih marah tentang kejadian tadi, makanya suaranya sengaja ia pelankan. Aku hanya diam.

"Queena." Dia duduk lebih dekat, sengaja mukanya ia sodorkan ke arahku. Aku hanya menatapnya tajam.

"Queena aqila anaknya Sultan, adek dari orang paling tamvan di jagat raya. Jangan ngambek dong tambah jelek tahu." Aku menatapnya sinis, "budu."

"Ish, ngemall yuk! Abang yang traktir, Queen. Deh."

Sudahku duga pasti ada maunya. Ternyata benar dia mau ngemall tapi gak mau diintilin orang suruhan Papa, makanya ngebujuk Una.

"Enggak! Ditraktir sama Papa juga bisa." Aku cuek.

Dia mentapku dengan wajah memelasnya. Hampir saja aku tertawa. Aku sangat tahu arti tatapan itu. Tapi, aku memilih tetap cuek.

"Hahahahaaaaa. Hentikan, Bang Fatir. Geliiii!" Aku berteriak.

"Anterin, abang."

"Iya, iya." Aku menjawab dengan cepat. Dia berhenti menggelitikku. Berlari girang keluar dari kamar.

"Eh, tapi ... gak jadi ah, Bang. Mager." Teriakku.

Dia berbalik ke arahku dan berteriak, "Unaaaaaa."

"Yaudah sih, gak usah teriak-teriak. Una ganti baju dulu." kataku santai. Puas banget rasanya kalau sudah bikin Bang Fatih kesal.

Bukan Bang Fatih namanya kalau gak jahilin adeknya. Setibanya di mall, aku ditinggalin sendiri. Dia memberiku kartu kredit tanpa sandinya. "Abang, sialan, untung saja tadi udah antisipasi dengan keadaan ini." gumamku dalam hati. Aku berkeliling mall tanpa membeli apa pun, kemudian mencari tempat makan.

Sudah tiga jam-an lebih aku di sini, menunggu jemputan dari Bang Fatih. Mataku rasanya sudah mulai mengantuk. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya namun, tidak ada jawaban, pesanku pun tidak dibaca. Dia pasti sengaja mematikan ponselnya, agar ada alasan kalau nanti aku marah-marah. Aku baru ingat, kalau aku punya nomor ponsel salah satu temannya.

"Hallo ... Bang Arkan?" Aku bertanya lembut.

"Iya, Una. Ada apa?"

"Bang, ada bang fatih 'gak di situ?

"Ada, lagi pacaran noh." jawabnya dengan nada sedikit mengejek.

"Tolong bilangin, Bang. Kalau Una tunggu lima belas menit lagi. Kalau 'gak datang Una pulang duluan." Bang Arkan langsung teriak memanggil Bang Fatih.

"Ya sudah, makasih ya Bang." Aku menutup teleponnya.

***

"Una .... " panggil Bang Fatih ngosngosan.

Aku melirik ke arahnya, "iya."

Di tengah perjalanan aku bicara terlebih dulu padanya.

"Gimana udah puas pacaran?" Aku menatapnya dengan kesal. Dia hanya nyengir.

"Makasih, Adek abang yang paling baik." ucapnya, sadar kalau aku benar-benar bete.

Bang Fatih, kakak cowokku satu-satunya dan sangat nyebelin. Usianya sekarang sekitar dua puluhan, tapi belum diperbolehkan pacaran. Bang patih terbilang, anak yang pintar saat sekolah dulu sama seperti Papa. Akan tetapi, dia tidak ingin melajutkan pendidikan lebih tinggi. Dia ingin menjadi seorang pembalab. Meskipun Papa tidak menyukai keputusan Bang Fatih, dia tetap memfasilitasinya.

Malam ini aku, Mama, Papa dan juga bang Fatih. Duduk di balkon rumah. Entah ada angin apa, malam ini suasana rumah terasa begitu hangat.

"Una, Fatih ... Papa minta maaf ya." Papa berkata lirih, menatapku dan Bang Fatih. Aku dan Bang Fatih saling melirik. Kami tidak tahu apa maksud dari ucapan Papa.

"Apaan sih, Pa." sahut Mama.

"Kenapa, Pa?" ucap Bang Fatih, kebingungan.

"Jangan bilang kalau Papa jatuh bangkrut, terus kita harus pergi dari rumah ini. Atau Papa sakit keras dan divois dokter akan meninggal?" Aku berkata cemas. Namun, malah ditertawakan oleh mereka.

"Ini bocah kebanyakan nonton film nih, Pa. Otaknya sudah geser. Ucap Bang Fatih, diikuti gelak tawa yang lebih keras.

"Ye, kali aja, Bang. Habis ngapain coba papa tiba-tiba minta maaf." Aku menatap sinis Bang Fatih.

"Kalian ada-ada saja. Di mana letak salahnya coba kalau papa minta maaf?" kami hanya geleng-geleng kepala. "nah, Papa takut kalau papa ngecewain kalian." lanjut Papa.

"Enggak, Papa adalah papa terbaik di dunia dan di manapun." Aku memeluknya, diikuti Mama dan Bang Fatih.

"Pesan mama sama kalian, jangan pernah bertengakar. Sebab, kalian hanya berdua. Kalau kalian tidak saling suport, siapa lagi? Usia papa dan mama tidak ada yang tahu." tukas Mama dengan nada haru. Pelukan itu semakin erat.

"Una, harapan papa besar terhadapmu. Jangan kecewakan papa. Seperti abangmu." ucap papa padaku. Aku hanya mengangguk.

"Tenang aja, Pa. Kalau dia berulah, biar Fatih yang urus."  Bang Fatih angkat bicara.

"Jaga diri kamu sendiri, kamu masih muda. Ugal-ugalan di jalanan itu tidak ada gunanya Fatih. Mama, papa udah semakin tua. Kalau kami sudah tiada siapa yang akan jagain adekmu."
Bukannya mendukung Bang Fatih, mama malah nyeramahin dia.

"Tuh. Dengerin, Bang."

"Ma, pa. Kita sayang bangettt ... sama kalian. Iya kan, Bang?"

Suasana tiba-tiba saja menjadi hening, tetesan air hampir saja jatuh dari mataku.

"Hmmm ... sangat disayangkan 'gak sih, kalau momen langka ini tidak di abadikan?" Aku mencoba mencairkan suasana. Berlari masuk ke dalam rumah untuk mengambil kamera yang ada di kamarku.

***

"Tada .... " Aku menunjukan kamera dan tripot yang kubawa.

Aku mulai menyetel kamera, "momen kayak gini itu harus dan mesti diabadikan. Siapa tahu besok-besok kita udah gak bisa kumpul kayak gini lagi. Apalagi kalau bg fatih udah nikah. Beuhhh, pasti udah lupa dah sama kita."

Bang Fatih langsung, mengambil tripot dan kameranya dari tanganku.
"Ngomong terus. Ngoceh. Bisa sampai lusa nih, nungguin si cengeng."

"Nyenyenye .... " Aku menjauh dari Bang Fatih. Mundur ke arah Papa dan Mama.

"Nah, selesai." ucap Bang Fatih lega.

Kami pun berpoto-poto untuk mengabadiakan momen kebersamaan yang hampir sudah tidak pernah terjadi akhir-akhir ini. Bukan karena apa-apa, kami sibuk dengan kesibukan kami masing-masing.

"Ini sudah larut, sebaiknya kita masuk. Itu si cengeng kesayangan papa juga kayaknya udah ngantuk." ucap Mama. Menggodaku.

Papa berdiri, diikuti mama. Mereka bergandengan tangan.

"Ih, Mama."

"Ayo, buruan masuk." Bang Fatih, mendorongku.

A hidden grudgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang