Bab 19 Kaivaro

2 2 0
                                    

"Kai." Aku menyapa pria sombong itu. Dia hanya melirik ke arahku. Tanpa berkata apa pun. Dia benar-benar menyebalkan. Aku berusaha tetap tenang. Saat aku ingin menyampaikan sesuatu padanya, tentang maksudku menyapanya. Dia malah pergi menjauh dariku. Dasar brengsek. Aku ingin sekali meleparinya dengan sepatuku.

Kalau saja aku tidak ada keperluan yang penting, aku tidak sudi menyapanya. Tidak akan pernah sudi.

***

"Kai, ada yang ingin aku katakan padamu." Aku kembali menyapa pria itu.

"Penting?" Dia bertanya cuek. Dasar manusia batu. Lirih dalam batinku.

"Tentu." jawabku singkat.

"Buruan, aku tidak ingin menghabisakan waktuku dengan hal-hal yang tidak penting. Dengan orang yang tidak penting pula."

What? Orang yang tidak penting?
Dasar manusia batu, belagu.

"Kai, bantu aku!"

Aku tidak tahu caranya basa-basi dengan manusia batu, jadi aku langsung saja.

"Tidak!" tegasnya.

"Aku akan membayarmu seratus juta." Dia hanya melirik ke arahku. Belum ada jawaban. Kemudian, perlahan berdiri. Sepertinya dia menolak tawaranku.

"Satu milyar atau berapa pun." Aku menyogoknya dengan cek kosong. Dia kembali duduk. Dasar manusia, sekeras apapun pasti akan luluh dengan materi.

"Baiklah. Apa tugasku?"

Mendengar pertanyaannya, aku hanya tersenyum. Aku menyerahkan selembar kertas yang berisi nomor handphoneku. Sebelum aku meninggalkannya. Aku menegaskan, untuk menghubungiku perihal detail tugasnya.

Kenapa Kai? Pertama, karena aku tahu dia adalah seorang intel. Kedua, karena dia orang yang saat ini butuh uang. Ketiga, karena aku membencinya. Setelah, urusannya denganku selesai maka dia juga akan aku selesaikan. Aku tahu, kalau dia tahu aku adalah anak Sultan, maka tanpa bayaran pun dia akan bekerja untukku tapi, aku tidak ingin memanfaatkan hal itu.
Kai adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia terbesar Papa. Beberapa bulan terakhir ini, aku sering melihat Kai di depan rumahku. Saat itulah aku mulai mengintainya.

Aku mulai berfikir jika aku bisa memaafkannya, kenapa aku tidak melakukannya. Pria bodoh itu. Tidak akan aku biarkan dia menghancurkan Papa.

***

"Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa mulai bekerja." Bisikku padanya di kelas.

"Aku harus mulai dari mana? Di mana tempat ibu kamu dilenyapkan?" tanya Kai.

Aku sudah menduga, tempat itu akan menjadi tempat pertama yang Kai tuju. Tapi, bukan itu rencananya, dia harus terlebih dahulu tahu kalau aku adalah anak Sultan. Maka, dia akan lebih bersemangat untuk bekerja. Aku sengaja mengajak Kai ke rumahku. Saat turun dari mobil, aku melihat ekspresi wajah Kai berubah.

"Masuk!" Dia menelan ludah. Mengikutiku masuk ke dalam rumah.

"Sepertinya, kamu sangat bersemangat. Kenapa?" tanyaku.

"Tidak, rumah ini sangat besar." jawabnya singkat.

"Kamu boleh mengelilingi rumah ini untuk mencari kalau-kalau ada bukti, atau hal lain yang janggal."

Aku sengaja memberikan keleluasaan kepada Kai. Dia terlihat sangat antusias dengan seruanku itu. Ouh, iya. Itu kamar Papa, di sampinya ada ruang kerja Papa, ruang makan, ruang kelurga dan yang itu kamar tamu. Di atas ada kamarku dan perpustakaan mini. Aku memberi tahu semua rincian ruangan di rumah ini.

***

"Unaaa." teriak Kai.

"Berisikk." Aku keluar dari kamar. Dia menatapku sinis.

"Kamu!" hardiknya. Dia geram denganku.

"Kenapa sih, sudah? Ada sesuatu yang kamu temukan?" tanyaku santai.

"Aku mau pulang." 

"Ya, sudah. Aku anterin kamu pulang." Dia melirikku.

***

Dering teleponku mengalun, mengejutkan lamunanku. Di layar gawaiku tertulis 'Manusia batu' ah, menyebalkan. Aku tidak ingin menjawabnya. Tapi, mungkin saja dia punya informasi yang peting.

"Iya, Kai." jawabku.

"Lambat." Kai langsung menutup teleponnya. Setelah mengenalnya dalam beberapa bulan ini, aku sudah mulai terbiasa dengan sikap batu Kai. Dia memang menyebalkan, tapi orangnya sangat baik. Aku tahu maksud dari telepon itu. Langsung saja aku bergegas menuju kafe yang biasanya kami kunjungi untuk membahas tentang perkembangan yang didapatkan oleh Kai. Saat aku tiba di kafe itu, Kai sudah duduk dengan santai di salah satu meja.

"Baiklah, langsung saja pada intinya." ucap Kai padaku. Tanpa memberi jeda sedikit pun. Kali ini aku tidak menghiraukannya, aku memesan makanan untuj kami. Dia menatapku tajam.

"Ayolah Kai, kita hidup butuh ketenangan jangan tegang melulu kayak batu." ucapku padanya. Dia menghela nafas panjang. Aku tercengang menatap Kai yang makan dengan begitu cepat.

Sebenarnya dia ini manusia atau robot sih. Sifanya kayak batu, makan kayak orang kesurupan. Tapi .... Tidak-tidak aku menggelengkan kepala. Apa yang baru saja aku pikirkan.

"Aku sudah dapat petunjuk tentang pembunuh itu." Mendengarnya aku tersedak. Dia menyodorkan segelas air kepadaku.

"Benarkah?" Aku bertanya untuk memastikan.

"Tentu, orang itu mungkin saja adalah orang yang dekat denganmu."
Otakku langsung tertuju kepada Om Rido. Kemudian aku menatapnya. Dia tahu arti tatapan itu.

"Dia mungkin saja adalah orang yang tahu, banyak hal tentang Mamamu ataupun keluargamu. Sayangnya, aku belum tahu pasti orang itu."

Tidak salah lagi pasti Om Rido.

"Aku tahu siapa orangnya." Kai menatapku dengan penuh keheranan.

"Iya, mungkin orang yang kamu maksud adalah orang terakhir yang menghubungi Mama, sebelum dia menghilang.

"Siapa?" tanya Kai antusias.

"Rekan kerja Mama. Om Rido namanya."

"Kenapa kamu begitu yakin, hanya karena dia adalah orang yang menelpon Mamamu?"

"Tidak, bukan hanya itu. Dia juga pernah mengancam akan menghancurakan Papa." jelasku.

"Baiklah. Aku minta nomor handphonenya dan juga Papa kamu." Aku menatapnya heran. Kenapa Papa? Aku takut kalau dia akan menjebak Papa.

"Apa hubungannya dengan Papa?" tanyaku untuk memastikan.

"Untuk melacak percakapan mereka. Mungkin saja Papa kamu sudah tahu pelaku Sebenarnya adalah dia. Akan tetapi, Papa kamu sengaja bungkam. Menunggu saat yang tepat untuk membalas."

Mendengar penjelasannya, aku sedikit lega. Baiklah. Aku memberikan nomor telepon dua orang itu.

"Una, beri aku waktu. Aku akan mengungkapkan semuanya." ucap Kai sebelum dia melangkahkan kakinya untuk pergi.

***

Kaivaro pria dingin itu tidak sedingin yang aku duga. Sebulan yang lalu, saat aku menceritakan apa yang membuatku begitu gigih ingin mengetahui siapa pelaku pembunuhan yang terjadi hampir satu tahun lalu itu. Membiarkan begitu saja aku menangis di dalam dekapannya. Dia sama sekali tidak protes seperti biasanya.

"Una. Apa yang akan kamu lakukan, setelah kamu mengetahui siapa pembunuh itu, melenyapkannya?"

"Tentu." Aku mengusap air mataku. Dia mengelus pundakku.

"Aku tahu, saat ini hatimu sedang disulut api kebencian dan juga dendam, Una. Akan tetapi, apakah kamu yakin bahwa kamu akan lebih tenang dan bahagia setelah kamu melenyapkannya?" Aku tercengang mendengar kalimat itu.

Aku menelan ludah. Lantas mengatakan, "Aku yakin. Aku ingin orang itu merasakan apa yang Mama rasakan."

Kai hanya tersenyum. Sangat manis. Ah, apa yang aku katakan, manusia batu akan tetap menjadi manusia batu. Aku tidak boleh sampai terlena dengan kata-kata manusia batu itu. Dia juga bagian dari  musuhku. Kaivaro, manusia batu yang mengancam keselamatan Papa. Aku harus tetap mengingat itu. Aku tidak boleh terlena.

A hidden grudgeWhere stories live. Discover now