Bab 17 Hilangnya Mama

2 2 0
                                    

"Pa." Aku menghampiri Papa ke ruang kerjanya. Sesuai dugaanku Papa memang sedang ada di sana. Di sedang sibuk merapikan berkas-berkas yang tidak aku ketahui berkas apakah itu.

"Iya, Sayang." Papa menoleh ke arah ku.

"Mama kok belum pulang yah, Pa?" Aku menghampiri Papa dan duduk di atas meja kerjanya.

"Hmm ... mungkin urusannya belum selesai kali, Sayang. Makanya Mama belum pulang." jawab Papa. Dia masih sibuk dengan berkas-berkasnya. Tanpa sengaja aku melihat sebuah buku yang menurutku sedikit janggal. Sebab, di sana ada namaku yang tertulis besar. Saat Papa tidak melihatku, aku langsung mengambil buku itu dan menyelipkannya di balik bajuku.

"Tapi ... kenapa telepon Mama tidak aktif, Pa? Lagi pula tadi Mama pamitnya sebentar sama Una." Aku kembali fokus pada topik awal pembicaran.

"Ya sudah nanti Papa suruh orang-orang Papa untuk jemput Mama yah." jawab Papa santai.

"Kenapa bukan kita saja yang jemput Mama?" Aku tahu orang-orang Papa memang handal dan tidak mungkin melukai Mama akan tetapi, kegelisahan dan kekhawatiranku lebih besar dari pada rasa percayaku.

"Kamu lihat jam dong, Sayang. Ini sudah larut. Papa tidak mungkin mengajak kamu keluar di jam segini. Mendingan sekarang kamu balik lagi ke kamar kamu, terus tidur deh. Urusan Mama biar Papa yang mengurusnya. Lagi pula, bukankah Mama sering pulang selarut ini. Kenapa, malam ini Una jadi segelisah itu?" tanya Papa. Wajar sih kalau Papa menanyakan hal itu. Sebab, aku tidak biasanya sekhawatir ini tentang Mama. Bahkan, kadang Mama tidak pulang pun aku biasa saja. Hatiku benar-benar tidak tenang malam ini, aku takut kalau ada sesuatu yang terjadi kepada Mama.

"Baiklah." jawabku singkat. Melihat ekspresiku yang lesuh dan kecewa. Papa akhirnya mengantarku hingga ke kamar.

"Good night, Papa." ucapku pada Papa. Papa malah berniat menemani aku hingga aku tertidur. Dia duduk di atas sopa meja belajarku. Sembali sesekali aku melihatnya memeriksa lembar demi lembar bukuku.

***

Saat aku bangun pagi ini, seisi rumah kosong. Tidak ada siapa-siapa. Baik Mama, Papa ataupun orang-orang Papa. Melihat kondisi yang begitu senyap dan juga sepi, aku langsung berlari ke kamar Mama-Papa dan juga ke ruang makan atau pun ruang keluarga, semuanya kosong. Rasa cemasku semakin memuncak di saat aku mencoba menghubungi Papa tapi malah dirijek.

Aku berusaha pergi ke pavilion yang ada di belakang. Tapi, di sana juga kosong. Dengan kaki telanjang aku berlari ke rumah salah satu ART kami yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Tidak, sama sekali tidak memuaskan jawaban yang aku dapatkan. Rasa cemasku belum terobati. Di mana meraka, kenapa, ada apa? Aku sangat khawatir.
Tidak berselang lama, aku mendapat panggilan dari salah satu pesuruh Papa, katanya Papa dan Mama sedang ada urusan penting yang tidak dapat diganggu. Akhirnya aku bisa sedikit lega.

Waktu begitu cepat berlalu, rasanya aku baru saja memejamkan mataku. Matahari sudah ikut tertidur juga. Tapi, Mama dan Papa belum juga pulang. Benar-benar menyebalkan.

Saat Papa pulang aku tidak melihat Mama bersama dengannya.

"Pa, Mama di mana?" Aku melirik kesana-kemari mencari di keberadaan Mama.

Papa tidak menjawab pertanyaanku, dia malah merangkulku masuk ke dalam rumah. Cengar-cengir.

"Papa, ih. Mama di mana?" tegasku. Melepaskan tangan Papa yang menepel di bahuku.

"Papa ada bawa coklat noh, di mobil." Papa malah mengalihkan pembicaran.

"Pa .... " Kalimatku langsung dipotong oleh Papa.

"Papa mandi dulu. Asem."

Dia mencium, badannya. Memang terlihat kalau Papa sangat berkeringat. Aku tidak pergi dari depan pintu kamar Papa, aku menunggunya di sana. Pasalnya saat aku menghubungi Mama teleponnya malah tidak aktif, hal itu membuatku khawatir. Sikap Papa juga yang selalu menghindar saat aku bertanya tentang Mama  membuatku tambah curiga, kalau ada sesuatu yang disembunyikan dariku.
Saat Papa keluar dari kamarnya, dia kaget melihatku yang masih berdiri di tempat tadi, dia meninggalkan aku dengan alasan ingin mandi.

"Woi, dari tadi Una 'gak pergi?" tanya Papa. 

Aku menggelengkan kepala. Papa tersenyum melihatku yang kemudian menunduk.

"Pa?" Sepertinya Papa tengah menangis. Dia memelukku. Aku mengikuti langkah Papa yang perlahan menuju ruang keluarga.

"Apa yang terjadi, Pa?" Aku tidak mampu menahan seseak dalam dada. Air mataku jatuh berderai.

Papa kembali memelukku. Dia berkata, "Una, Mama hilang. Papa sedang mencarinya dari semalam. Kamu jangan nangis, Papa yakin kalau Mama baik-baik saja."

Mendengar itu, sesak dalam dadaku seolah bertambah. Aku merasa kalau ada sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Mama. Aku memukul-mukul dada Papa. Dia kembali memelukku erat.

"Una harus percaya sama Papa, kalau Mama baik-baik saja." ucap Papa.

"Tidak, Pa. Mama tidak baik-baik saja. Kita harus pergi sekarang mencari Mama." Aku mendesak Papa, agar kembali bergegas mencari Mama.

"Iya, Sayang. Orang-orang suruhan Papa terus mencari Mama. Papa mau melaporkan semuanya ke kantor polisi akan tetapi sekarang belum biasa karena Mama hilang belum 24 jam. Una percaya ya, kalau Mama baik-baik saja." Lagi-lagi Papa berusaha meyakinkan aku bahwa Mama tidak apa-apa.

"Bagaimana dengan Om Rido?" tanyaku.

"Dia tidak tahu, sebab semalam katanya Mama tidak sampai di kantor." jelas Papa.

"Tapi, Mama menerima telepon dari seseorang sebelum dia pergi, Pa." kataku pada Papa.

"Iya, itu telepon dari Om Rido. Akan tetapi, Mama tidak sampai ke kantor katanya."

Bagaimana itu mungkin? Aku mendengar sendiri kalau Mama menerima telepon itu dan aku yakin Mama pasti pergi ke kantornya semalam.

"Una." Papa memanggilku yang sedang melamun. Pikirku terlalu jauh.

Papa mendapat telepon dari orang suruhannya dan dia langsung pergi. Katanya dia juga akan langsung ke kantor polisi. Sementara aku, tidak diperbolehkan ikut sama Papa. Aku berusaha menurut apa yang Papa katakan walaupun sejatinya hatiku memberontak ingin ikut.

Tuhan, apa maksud dari semua ini? Belum sembuh luka dalam hati, belum hilang pedih yang menggores batin saat kehilangan Bang Fatih. Aku masih berduka akan hal itu. Kenapa sekarang Mama juga ikut hilang? Jika memang perlu ada yang dihukum di rumah ini maka hukumlah aku. Aku rela. Tuhan, aku butuh pertolongan yang orang-orang sebutkan itu. Aku butuh, agar Kau memberiku petunjuk tentang keberadaan Mama yang menghilang bagai ditelan bumi. Lenyap tanpa jejak. Tuhan, aku mohon. Kembalikan Mama dalam keadaan yang baik-baik saja. Kau tahu, akan sangat berat hidup tanpa dirinya.

Tidaklah seorang anak kehilangan tempat berpijak kecuali saat dia kehilangan sosok ibunya.__Queena aqila.

A hidden grudgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang