25

443 84 29
                                    

Setelah lebih dari tujuh puluh menit, sesi terapi Naruto berakhir. Di detik itu pula, Kushina masih menahan tangis. Ia tak henti merutuk diri. Sebab ketiadaannyalah Naruto harus mengalami semua hal buruk yang bahkan terlalu takut untuk sekadar ia pikirkan.

"Di mana ibuku, Dokter?" Pertanyaan dari seberang ruangan membuat Kushina menahan napas.

"Dia di luar. Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Mendengar jawaban Shizune, Kushina diam-diam menghela napas lega. Dokter muda itu mungkin mengerti apa yang Naruto dan dirinya pikirkan. Jujur saja, setelah mendengar pengakuan putrinya, ia bahkan seolah tak memiliki muka untuk menghadapi gadis itu sekarang.

"Entahlah." Satu kata dari Naruto membuat Kushina menipiskan bibirnya. Setelahnya, Shizune pun juga terdiam. Seluruh ruangan diselimuti keheningan yang cukup panjang hingga Naruto kembali bersuara. "Apa Anda akan mengatakan semuanya pada ibuku, Dokter? Ibuku ... pasti akan menangis saat mendengarnya, kan?"

Kushina sontak menggigit bibir. Putri kecilnya sudah dewasa. Saat dirinya begitu mengkhawatirkan Naruto hingga seperti nyaris kehilangan akal, gadis itu justru lebih mencemaskan keadaan ibunya. Padahal, jika harus ada seseorang untuk disalahkan untuk semua yang menimpa dirinya, maka Kushinalah yang paling tepat dijadikan sasaran utama.

Ia beranjak dari duduknya dan mengintip Naruto dari balik sekat yang memisahkan keberadaan keduanya. Dapat dilihatnya jika saat ini Shizune tengah tersenyum dan mengangguk kecil ke arahnya. Kushina lantas mengerti isyarat yang dokter itu berikan. Tanpa menunggu lama, ia lantas berjalan pelan ke luar ruangan.

Berulang kali ia menyeka air mata dan menarik napas dalam-dalam. Setelah berada cukup jauh dari ruangan yang ia tinggalkan, Kushina segera merogoh ponsel yang ia simpan di saku bajunya dan mencari kontak seseorang.

Beberapa detik yang terlewat terasa seperti begitu panjang sampai akhirnya seseorang menjawab panggilannya. Tanpa basa-basi, Kushina betucap, "Kita harus bertemu sekarang!"

Setengah jam sudah Kushina bergeming di kedai kopi di dekat rumah sakit tempat Naruto dirawat. Selama itu pula, secangkir kopi di hadapan tak kunjung diteguknya. Sejurus kemudian, sosok yang ditunggunya tiba. Wanita dengan pakaian mahal itu tersenyum ke arahnya dan segera mengambil tempat di depannya.

"Aku senang-" Mikoto tiba-tiba tercekat tatkala mengamati wajah Kushina. Ia sontak mengulurkan tangan dan menangkup punggung tangan sahabatnya itu. "Kau habis menangis?"

"Aku akan pergi," pungkas Kushina tanpa basa-basi. Mengabaikan raut keheranan Mikoto saat ia menarik mundur tangannya.

"Kenapa begitu tiba-tiba? Aku bahkan tidak tahu kapan kau datang. Ada apa denganmu, Kushina? Kau baik-baik saja, kan? Kau-" Mikoto tertegun mendapati sorot mata sahabatnya yang sama sekali tak dapat ia artikan. Keduanya sama-sama bungkam dan entah bagaimana, atmosfer di antara mereka mendadak tak nyaman. Terasa berat bahkan hanya untuk menarik napas.

"Kushina ...." Kali ini, suara Mikoto serupa bisikan. Ia berusaha menggali sesuatu yang Kushina sembunyikan di balik sorot matanya yang redup tiba-tiba.

"Apa aku terlihat baik-baik saja di matamu?"

"Tidak." Mikoto menjawab lirih. "Kau bisa membaginya denganku jika mau."

Kushina mendesah berat. Ia menyesap kopi di hadapannya yang sudah dingin tanpa minat. Kemudian, ia kembali meletakkannya di tempat semula.

"Ya. Karena memang semua ini berhubungan denganmu." Kushina menambahkan dengan gumaman. "Putramu, maksudku."

Memang, lawan bicaranya itu menggumamkan satu kata terakhir yang diucapkannya. Akan tetapi, Mikoto masih bisa menangkapnya cukup jelas. Tak pelak, ia mengernyit keheranan. Benaknya berusaha mencari benang merah yang mungkin menghubungkan semuanya dengan putranya.

Our September Story [Book-1]Where stories live. Discover now