P8 :

45.9K 2.7K 87
                                    

Warning!! Typo everywhere. Nggak sempat edit.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Pain is when you’re slowly dying on the inside and you’re way too weak to speak about it so you keep silent and suffer, alone.” – Anonymous.

 

Flashback

            Erga menatap Ayahnya yang sedang memasang sarung tinjunya. Untuk kesekian kalinya mereka berhadapan di ring ini, dan Erga berjanji ini adalah yang terakhir kalinya. Ia tidak ingin lagi menyelesaikan masalahnya dengan cara ini, karena luka hatinya hanya akan semakin menganga. Ini semua sia-sia. Ia melakukan ini bukan lagi untuk membuat Ayahnya merasa sakit, melainkan untuk menuntaskan kekecewaannya.

Iya, Erga tak lagi marah, melainkan kecewa. Dan ternyata kecewa jauh lebih menyakitkan dibandingkan rasa marah. Kecewa membuatnya terbakar hingga ke sumsum tulangnya sekalipun. Kecewa membuatnya tidak tahu lagi perbedaan antara benar dan salah. Dan pria di depannya inilah sumber kekecewaan terbesarnya.

“Peraturannya seperti biasa…”

“No rules.” Potong Erga dengan dingin.

            Arya, asisten Ayahnya yang juga bertindak sebagai wasit memejamkan mata. Ia tahu akan tiba saatnya dimana Erga melakukan hal ini. Menghabisi Ayahnya dan dirinya sendiri. Arya menatap Andre Wijaya, berusaha mengirimkan tatapan memohon agar menghentikan pertarungan gila ini. Namun Andre justru semakin mengetatkan ikatan sarung tangannya dan terlihat tak acuh.

“Baiklah.” Ucap Arya akhirnya.

            Erga dan Andre saling bertatapan di tengah ring tinju. Erga menatap Ayahnya tanpa ekspresi hingga siapa saja yang melihatnya merasa kecut seketika.

‘Peraturan pertama, jangan menyerang duluan. Itu membuat musuhmu lebih mudah untuk mengalahkanmu.’ Ucapan Ayahnya saat beberapa tahun lalu mengajarinya olahraga ini terngiang di telinga Erga. Membuatnya tersenyum sinis sekaligus miris.

Kau sudah menyerangku sejak puluhan tahun lalu Ayah, ucap hati Erga bersamaan dengan tinjunya yang melayang menghantam rahang Ayahnya.

            Arya berseru kaget ketika melihat bosnya terjatuh di sisi ring. Ini bukan tinju!! Ini perkelahian!!

“Erga, itu dilarang…”

“Fuck off!” bentak Erga tanpa melepaskan pandangannya pada Andre. “Kami tidak sedang berolahraga disini.”

            Bersamaan dengan ucapan itu suara pukulan saling beradu memenuhi arena olahraga pribadi tersebut. Arya hanya bisa terbelalak, menyaksikan secara langsung betapa berantakannya hubungan kedua pria berbeda generasi tersebut. Dan ia bisa merasakan kemarahan dan rasa sakit yang mengambang begitu kental di udara. Begitu kental hingga Arya bisa ikut merasakan sakitnya. Bukan, bukan sakit akibat pukulan. Melainkan sakit yang telah ditahankan begitu lamanya dan kini keluar dalam bentuk monster menakutkan. Hingga akhirnya Erga terjatuh di depan kaki Ayahnya yang juga babak belur.

“Kenapa? Dia mencintaimu dan kau punya aku, keturunanmu, darah dagingmu! Aku bahkan bersedia memikul tanggungjawab untuk meneruskan perusahaan. Jadi kenapa kau masih seperti ini?” tanya Erga sambil menatap kaki Ayahnya dengan nanar.

Andre mengusap mulutnya yang berdarah, hidungnya terasa perih karena terlalu banyak cairan yang mengalir keluar dari sana, “Aku yang membuatnya tidak pernah bisa mengandung lagi. Aku yang membuat dia kehilangan impian yang paling diinginkannya. Menurutmu bagaimana perasaanku?” tanyanya sambil menatap anaknya dengan pandangan sedih.

Players - Bad Boys Series #2Where stories live. Discover now