P23 : Happily Ever After

48.1K 3.1K 298
                                    

"You're my happily ever after Kiara 'Khea' Pranata." Erga Wijaya.

Dave tidak mengatakan apapun sewaktu ia menghancurkan dua butir obat hingga menjadi serpihan bubuk. Dengan hati-hati ia memindahkan serpihan obat tersebut ke dalam sendok, menambahkan sedikit air ke dalamnya lantas menatap Khea yang memberinya tatapan ngeri. Ya, gadis itu memang tidak bisa menelan obat dalam bentuk pil.

"Minum." Ucap Dave sambil menyodorkan gelas.

Khea menerima gelas tersebut dengan patuh, meneguk isinya sekali dan menerima sendok yang disuapkan Dave padanya. Khea bergidik dan kembali meneguk isi gelasnya begitu rasa pahit menyentuh indera pengecapnya.

"Eeerrgghhh!!" keluh gadis itu setelah menghabiskan minumannya. "Pahit." Lirihnya hampir menangis.

Dave mengangsurkan piring kecil berisi permen ke arah Khea dan mengomel, "Kalau kamu menelan obat tersebut dalam bentuk pil, nggak akan terasa pahit."

"Tapi Khea nggak bisa," ucap Khea dengan pipi menggembung sebelah karena permen yang sedang dihisapnya, "obatnya selalu nyangkut di tenggorokan."

"Manja." Ucap Dave dengan nada datar, "Kamu itu terlalu manja."

Khea merengut, tampak kesal karena ucapan Dave namun tidak membantah. Dave masih marah padanya, dan Khea tidak mau menyulut pertengkaran dengan membuat Dave kesal. Ia tidak ingin lagi didiamkan oleh Dave.

"Manja karena semua kemauan kamu selalu dituruti oleh Evan. Manja karena selalu dibela oleh Jo. Manja karena terus-terusan dilindungi oleh Erga." ucap Dave sambil mengumpulkan sendok dan gelas bekas obat Khea ke dalam nampan.

"Itu artinya cuma Bang Dave yang suka marah-marah sama Khea. Emangnya Abang nggak merasa bersalah karena ngomelin Khea terus?" balas gadis itu dengan bibir mencebik maju.

"Berapa umur kamu?" tanya Dave tidak menghiraukan sindiran Khea.

"22 tahun." Jawab Khea pelan.

"Tahu apa artinya berusia 22 tahun?" tanya Dave lagi, dan Khea menggeleng ragu. "Itu artinya kamu sudah harus bisa bertanggungjawab atas kehidupan kamu sendiri."

"Khea bertanggungjawab kok." Balas Khea ngotot.

"Oh ya? Kalau begitu coba sebutkan, sekali saja, ketika kamu membuat masalah dan menyelesaikannya tanpa harus berlari pada salah satu dari kami berempat." Ucap Dave dengan nada tenang.

Khea diam, tampak memikirkan kalimat Dave. Ia mulai gelisah ketika beberapa menit kemudian ia masih saja tidak berhasil memberikan jawaban atas ucapan Dave padanya.

"Kamu selalu berpikir kalau Abang pemarah," ucap Dave memecahkan keheningan diantara mereka, "padahal kalau kamu mau sedikit saja meresapi kemarahan Abang, itu semua karena rasa peduli."

Khea masih diam. Kali ini ia mendengarkan Dave dengan bersungguh-sungguh. Tidak ada lagi ekspresi cemberut di wajahnya, tidak ada lagi sorot keras kepala pada kedua bola matanya. Yang ada hanya raut wajah sedih dan penyesalan, karena semua yang diucapkan Dave benar adanya.

"Abang bisa saja mengabulkan semua keinginan kamu." Dave bersuara lagi, "Memberikan kamu kartu kredit seperti yang kamu minta, membiarkan kamu menghabiskan setiap rupiah penghasilan kamu untuk bersenang-senang, dan membiarkan kamu melakukan apapun yang kamu inginkan." Dave diam, mengambil jeda sejenak dalam kalimatnya agar Khea benar-benar meresapi ucapannya, "Tapi apakah itu benar-benar kamu anggap sebagai kasih sayang dan pengertian?" tanyanya sambil menatap Khea yang tertunduk dan diam.

"Marah tidak selalu berarti jahat, Khea. Semua teguran, nasihat atau kemarahan Abang pada kamu semata-mata hanya karena Abang tidak ingin kamu mengambil keputusan yang salah, dan kemudian menyesal dikemudian hari." Lanjut Dave dengan nada lebih lunak. "Abang memberi kamu nasihat yang sama dari hari ke hari, menegur kamu untuk kesalahan yang kamu ulangi terus menerus, itu karena kalau Ayah dan Ibu masih hidup, mereka pasti akan melakukan hal yang sama. Abang hanya mencoba... mengembalikan apa yang terenggut dari kamu, yaitu orangtua kita. Apakah sangat sulit untuk memahami itu?"

Players - Bad Boys Series #2Where stories live. Discover now