Part 7

738 148 10
                                    

"Tamunya di mana? Siapa?" tanya Jovanka, kepada Fiona dan Leoni. Tangan perempuan itu bergetar bersamaan dengan jantungnya yang terus berdentuman. Mengitari pandangannya ke sekitar toko, ia hanya melihat dua gadis itu. Tidak ada orang lain lagi di sana.

"Dia orang yang selama ini, Mbak Jo, tunggu-tunggu. Ada di lantai atas sekarang, sedang lihat-lihat koleksi bunga african violetnya, Mbak Jo," balas Leoni, membuat Jovanka semakin penasaran.

Tanpa ba-bi-bu, perempuan itu melangkah cepat menuju lantai atas. Bahkan, melupakan bahwa di perutnya ada makhluk hidup yang harus dijaga. Dalam hatinya, ia berharap besar jika orang itu adalah Vincent. Orang yang selama ini ia tunggu-tunggu. Saking cepatnya melangkah, Jovanka hampir saja terjerembab saat kakinya tersandung undakan anak tangga terakhir. Beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan.

Terus melangkah sampai ke ambang pintu balkon yang terbuka, Jovanka berdiri di sana. Ia mematung memandang punggung seorang lelaki berdiri membelakangi. Lelaki itu memakai pakaian serba hitam dari kausnya yang berlengan panjang, celana jins, sepatu, bahkan topinya pun hitam. Lalu, rambutnya tercukur pendek dan rapi, jelas itu bukan Vincent, pikir Jovanka.

Mendesah lelah karena tidak sesuai harapan yang ia bayangkan, Jovanka melemparkan pertanyaan, "Maaf, Anda siapa?"

Hening. Lelaki itu tidak menjawab dan masih membelakanginya. Jovanka semakin penasaran, tetapi juga takut untuk menghampiri. Lelaki itu terlihat misterius, apalagi tubuhnya juga tinggi tegap. Dari perawakannya, Jovanka bisa menebak jika lelaki itu sering melakukan fitness untuk menjaga postur tubuhnya agar tetap bagus.

"Hei, Anda siapa? Ada perlu apa datang kemari?"

Berdiri bak patung, diam, dan tak bergerak, lelaki itu membuat kesabaran Jovanka habis. Ia menghampiri, lantas membalikkan paksa tubuh lelaki itu agar menghadapnya. Seketika tubuh Jovanka menegang saat mengenali wajah lelaki itu. Refleks, ia melangkah ke belakang, matanya berkaca-kaca.

"Ka-kamu ...," ucap Jovanka terbata. Ia bingung harus senang, sedih, atau marah sekarang. Sedangkan lelaki itu justru mengembangkan senyum tidak merasa berasalah sama sekali. Seakan-akan semuanya baik-baik saja setelah kepergiannya.

"Untuk apa datang kemari, Bi?" Bulir bening yang berusaha Jovanka tahan, kini luruh sudah.

"Aku merindukanmu, Jo. Maafkan aku sudah meninggalkanmu selama ini."

"Tanpa memberiku kabar sampai bertahun-tahun, bahkan dengan keadaanmu yang sudah berubah sekarang? Tega kamu, Bi."

Luruhan air mata Jovanka semakin deras. Salahkah jika ia menaruh kecewa kepada lelaki itu? Yang katanya akan memberinya kabar setelah kepergiannya. Yang katanya akan menjenguk dirinya ketika masih di panti. Namun, selama ia menunggu sampai pindah tempat tinggal pun, Brian tidak pernah terlihat. Lalu, secara tiba-tiba lelaki itu datang menemuinya, dengan keadaan dirinya yang sedang hancur! Ia tidak ingin Brian mengetahui keadaan dirinya seperti apa sekarang, apalagi sedang dalam kondisi hamil tanpa suami.

'Ya Tuhan, sebenarnya aku kecewa karena dia tidak pernah menemuiku atau aku takut karena mengecewakannya? Kenapa Brian harus datang di waktu yang tidak tepat?!' jerit Jovanka dalam hati. Tenggorokannya tercekat, serasa sedang dicokoli benda keras sampai menembus kerongkongannya.

"Jo, bukan seperti itu." Brian melangkah mendekat. Ia pikir Jovanka akan senang melihat kedatangannya. Namun, justru sebaliknya. Dari sorot matanya ia melihat ada kekecewaan yang tersimpan oleh perempuan itu.

Jovanka menggeleng. "Kamu jahat, Bi. Kamu jahat. Selama ini aku selalu menunggu kabar darimu. Kamu bilang akan selalu di sampingku. Tapi, kamu sama saja seperti orang tuaku yang tidak ingin tahu bagaimana kabarku. Aku benci kalian!"

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now