Bagian II - Perasaan

25 1 2
                                    

Perjumpaan kita teramat sederhana, tanpa ada drama-drama seperti yang dikisahkan para manusia pada umumnya. Hanya ada aku yang memandangimu dari kejauhan dan kau yang bersinar layaknya bulan di tengah kegelapan. Kau tahu, dadaku masih berguncang hebat, padahal jika dipikir ulang kita bahkan tidak saling bertatap lekat.

Namun suara-suara ingin tetap bersama denganmu menggema. Seolah-olah mengejekku, katanya tidak ingin jatuh cinta. Tapi sekarang melihat kau di pelupuk mata sudah membuat isi kepalaku buyar seketika.
Ya tuhan, kau mendekat...pita suaraku tercekat. Kau lebih indah dari yang kubayangkan. Lebih menakjubkan dari apa yang ada dalam pikiran. Hidungmu mancung, matamu yang amat meneduhkan, dan tahi lalat kecil yang ada di atas bibirmu menggelitik perasaanku. Apakah kau cerewet? Ah, lucu sekali jika nanti kau akan marah-marah kepadaku ketika aku lupa mengabari. Atau kau mungkin akan mengomel saat aku berjalan dengan teman laki-lakiku yang lain. Mengabaikan telepon darimu. Membuatmu terbakar api cemburu. Hei..kita bahkan baru bertemu, mengapa aku bisa sejauh itu berhalusinasi tentangmu?

Aku berupaya mati-matian menenangkan perasaan. Sekaligus menahan pergerakan. Kau tahu, aku sangat terganggu dengan bulir-bulir keringat yang menetes deras di keningmu. Seakan ada magnet yang dengan kurang ajar ingin menarik tanganku untuk segera mengusap peluhmu. Kakiku juga sama, ia begitu keras kepala ingin mengantarkan botol minum yang dari tadi kupegang untuk segera kuberikan padamu.

Aku ingin menjadi air yang akan kau minum. Menyembuhkan segala dahaga dan menjadikanmu lebih sejuk dari sebelumnya. Menjadi botol ataupun gelas yang akan bertemu dengan bibirmu. Menyentuh rongga mulut yang pasti akan sangat manis itu. Atau mungkin sebagai handuk yang akan menikmati setiap lekuk wajah tampan yang kau miliki. Menghapus rasa gerah yang sedang membebani. Meraba dahimu yang basah, matamu yang coklat teduh, hidungmu, pipimu yang sangat ingin kucubit, dan bergerak menyentuh di tahi lalat itu.
Astaga, kau benar-benar mengaduk-aduk semua yang ada dalam diriku. Seakan mengajakku terbang di atas awan, menjadikanku lupa tentang daratan. Melawan logika dengan sesuatu yang ada dalam dada.

Aku ingin menahanmu pergi, tidak akan kubiarkan siapapun dan apapun merenggutmu dari sini. Duduklah bersamaku, mari bercerita perihal hidup yang amat kejam ini. Saling bercanda, saling menautkan tangan, atau jika boleh, izinkan aku merebahkan kepala di pundakmu. Dunia berkali-kali merenggut inginku, mencabut mimpiku, dan memusnahkan harapanku.

Bolehkah aku sejenak saja aku melupakan itu semua ketika bersamamu?

Aku ingin diberikan ruang untuk bernapas lebih berat dari biasanya. Dibiarkan untuk meratap dan menangisi apa yang sudah terjadi dengan lega. Tanpa pura-pura. Tanpa ada yang interupsi untuk sabar dan bersyukur saja.

Kau juga boleh melakukan hal yang sama. Kau bisa merebahkan kepalamu di pangkuanku. Akan kusap kepalamu yang sedang penuh dengan ekspektasi duniawi itu. Akan kuberi tenang dan senang yang kau mau. Akan kutampung segala tawa ataupun luka. Aku ada. Takkan kemana-mana

Jadi, kumohon jangan beranjak juga.

Yang Tak TersampaikanWhere stories live. Discover now