Part 4

2K 159 5
                                    

Irvin POV

Aku memejamkan mataku. Mencoba untuk menenangkan diri. Kejadian tiga bulan yang lalu masih terlalu mengguncang bagiku.

Walaupun aku tahu gadis itu tidak sengaja melakukannya. Tapi dia telah merenggut orang yang paling aku cintai. Jika bukan karena keinginan terakhir Clara untuk tidak menuntutnya. Pasti gadis itu sudah mendekam di penjara. Belum lagi dengan perusahaan milik ayah gadis itu. Sunguh, sekali lagi,  jika bukan karena Clara pasti akan aku buat bangkrut keluarga mereka.

Kini satu-satunya cara untuk membalas dendam atas kematian Clara adalah dengan menyiksanya. Sebenarnya aku bukanlah orang sadis yang menyukai kekerasan. Tetapi aku paling tidak suka jika ada orang yang mengusik hidupku. Apalagi jika bersangkutan dengan orang yang kucintai.

Sebenarnya aku sangat tergoda untuk menghancurkan gadis itu beserta keluarganya. Tapi karena janjiku untuk tidak menghancurkannya. Maka hanya tinggal satu cara. Menghancurkan hatinya. Sama seperti dia yang menhancurkanhatiku dengan kepergian Clara.

Maafkan aku Clara, bukan aku tidak ingin mengabulkan keinginanmu untuk tidak menyentuhnya. Tetapi dia juga harus mengalami luka yang sama seperti aku dan kamu.

***

Entah mengapa pagi ini aku merasa tidak mood untuk datang ke kantor. Aku menelepon Mirna, sekretarisku untuk meminta Ernanda datang ke rumahku untuk menyerahkan apa yang kuminta kemarin.

Ahh... rasanya aku tak sabar menunggu hasilnya. Aku menyeringai menatap langit-langit ruang kerjaku.

Tok..tok...

"Masuk," ucapku dingin. Lalu muncullah Louis.

"Tuan, nona Ernanda sudah datang," ucap Louis, kepala pelayanku.

"Suruh dia masuk, Lou,"

"Baik, tuan," lalu Louis pergi dengan menutup pintu.

Tak lama pintu kembali dibketuk dan dibuka dengan menampilkan seorang gadis yang sangat kubenci. Orang yang telah membunuh Claraku. Aku menatapnya dari atas kebawah. Sesungguhnya dia gadis yang cantik, dengan wajah berbentuk hati, bibir mungil dan hidung mancung menawan. Penampilannya pun tidak berlebihan, hanya kemeja sifon berwarna magenta dengan rok hitam span. Rambutnya yang hitap lurus di urai dengan indah.

Tapi segera kutepiskan pikiran itu karena aku harus fokus untuk membalas dendamku. Aku tidak boleh terpesona padanya. Karena biar bagai mana pun, dia yang menyebabkan Clara meninggal.

"Duduklah," ucapku dingin. Aku menunjuk sofa yang ada di depanku.

"Ini konsep yang anda minta, Pak," Nanda menyodorkan map merah padaku.

Aku membaca dan melihat konsep yang dia rancang. Sesungguhnya konsep yang dia berikan sudah bagus. Tapi aku tidak bisa membuatnya menjadi mudah. Bisa besar kepala dia kalau aku langsung meng-acc pekerjaannya. Dan aku tidak ingin hidupnya menjadi mudah.

"Apa ini? Ini konsep yang pasaran. Apa ini yang kamu dapatkan selama di Oxford?" Keluhku sambil mencoret-coret konsep itu.

Kulihat wajahnya menegang. Sepertinya dia mulai tertekan. Baguslah, berarti apa yang aku rencanakan akan bisa berjalan dengan mudah. Aku melihat ada bayangan hitam dibawah matanya. Sepertinya dia harus bergadang untuk mengerjakan konsep ini. Sebenarnya aku merasa kasihan. Tapi aku hanya mengedikkan bahu tak peduli.

"Ta-tapi ini konsep terbaru yang banyak diminati. Bahkan banyak perusahaan properti lain yang menginginkannya." Suaranya gemetar. Mungkin menahan ketakutannya. Atau amarah. Aku tidak perduli.

"Kau. Bekerja. Denganku." Ucapku penuh penekanan. "Jika kau tidak suka kau boleh keluar dari Xander Grup. Aku tidak akan rugi jika hanya kehilangan satu karyawan yang tidak becus dalam bekerja." Tukasku tajam. Rasakan itu, sialan. Akan ku buat kau menderita.

***

Ernanda POV

Korneaku membesar saat aku mendengar ucapan Irvin. Oh sungguh dia benar-benar orang yang tak pernah menghargai keringat orang lain. Aku mengerjakan ini semalaman, bahkan hanya tidur dua jam saja. Dan apa itu, dia seenaknya saja mengatakan jika design rancanganku itu pasaran.

Sialan! Jika bukan bos besar sudah aku tendang bokong seksinya. Ehh... apa-apaan pikiranmu itu, Nanda?

Aku mengigit bibir dalamku berusaha untuk menahan amarah dan juga air mata yang siap keluar. Akan terasa sangat tidak sopan jika aku harus marah-marah pada bosku ini. Ingat Nanda, bosmu itu sedang labil saat ini. Jadi kamu yang normal harus mengalah dan sabar.

"Maaf jika Bapak kurang puas dengan hasil kerja saya," ucapku kecut. "Akan saya revisi ulang. Saya permisi," lanjutku dengan ketus. Sepertinya kadar sabarku makin menipis.

Aku berbalik hendak buru-buu keluar. Belum sampai kakiku mencapai pintu, tanganku sudah ditahan dari belakang.

"Aku belum selesai," terasa embusan nafas di telingaku. Membuat degup jantungku melompat hebat. Apa-apaan orang ini. Tadi menghinaku sekarang main pegang-pegang.

"Lepas," aku menghentakkan tanganku yang di pegangga. Tetapi genggamannya sangan kuat, mungkin akan ada memar di pergelangan tanganku nanti.

"Tidak semudah itu kau lepas dariku setelah apa yang kau ambil dariku," jawabnya dingin. Aku mengerutkan kening karena bingung dengan jawabannya.

"Apa maksud anda?" Aku berbalik dan langsung menatap matanya. Cengkeraman ditanganku semakin erat. Aku kembali menggigit bibir dalamku mencoba untuk tidak meringis. Semoga saja besok tanganku tidak lebam.

Rahang Irvin mengeras. Sorot matanya tajam seolah ia ingin memakanku hidup-hidup. Ada apa sih dengan orang ini. Jangan-jangan obatnya habis lagi.

"Apa yang anda inginkan? Lepaskan aku!" Bentakku. Dadaku naik turun karena emosi yang bergelegak. Jujur melihat rahangnya yang mengeras membuatku sedikit takut.

Irvin tidak melepaskanku, malahan dia menatapku semakin tajam dan ia mendekatkan wajahnya. Memotong jarak yang tersisa antara kami membuatku menelan ludah dengan susah payah.

Dalam hitungan detik Irvin merengkuhku dan bibirnya telah menempel dengan bebirku. Aku yang kaget tak mampu berbuat apa-apa.

Lambat tapi pasti bibir Irvin mulai melumat bibirku. Lidahnya mencoba masuk kedalam mulutku. Membuat desiran aneh ditubuhku. Seolah banyak kupu-kupu yang beterbangan di perutku.

Kesadaranku yang datang terlambat membuatku memberontak dalam dekapannya. Tapi bukan Irvin namanya jika mudah dikalahkan. Setiap rontaan dan pukulan yang kulakukan hanya membuat Irvi semakin mendekapku erat. Bahkan tangannya menekan tengkukku untuk semakin memperdalam ciuman kami. Shit!

Plakkkk...

Aku refleks menampar wajah Irvin. Dadaku naik turun dan nafasku memburu. Entah karena amarah atau karena rasa bibirnya yang membuat jantungku berpacu. Ini tidak benar! Batinku terus menerus meneriakkan kalimat tersebut.

"Beraninya kau mencuri ciuman pertamaku!!" Ucapku kasar penuh dengan amarah.

Sementara Irvin hanya diam dan menatapku dengan pandangan yang mampu kuartikan. Ada seringaian yang tercetak di bibirnya yang basah bekas ciuman tadi.

Aku berbalik dan lari keluar dari rumah itu. Tak peduli dengan para pembantu dan penjaga yang melihatku seperti orang yang kesetanan.

Persetan dengan mereka semua. Yang aku tahu hanyalah bahwa alu hatus pergi secepatnya dari rumah ini.

~~~~~~
Hai...hai... makasih buat yang udah ngasih vote+komen. Juga buat yang udah masukin menjadi daftar bacaan kalian.
Author janji akan berusaha lebih baik lagi.
Ditunggu yah saran yang membangun. Atau jika ada masukan. Author akan merasa sangat senang...

Peluk cium

Danikafirly

RSubang, 04 october 2016

My Ernanda (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang