3| A Race in Endless Hallway

277 61 6
                                    


Ana terus memutar otak pada nama yang ia dapat. Ruangan kelam itu sama sekali tidak mendekati arti dari nama yang terukir pada daun pintu. Ia tidak bisa menangkis rasa ngeri mengenai pemilik tempat ini. Sesuatu di balik semua kengerian ini bisa saja monster lain seperti halnya monster-monster yang ia temui.

Sesuatu yang berpikir untuk menempatkan seekor black dog di dalam ruangan tidur, tempat yang seharusnya menawarkan kenyamanan. Bahkan sesuatu itu pun menempatkan sosok berzirah di lorong ini. Tubuh Ana sempat begetar halus saat mengingat kembali anggota tubuh yang mengerikan itu. Ia perlu berhati-hati dalam melangkah karena kini ia bisa saja berhadapan dengan sosok berzirah.

Ana melangkah masuk dalam lorong gelap dan memutuskan untuk menjelajah pada sisi kiri pintu Sleeping Chamber. Lorong ini cukup gelap, tetapi bagi Ana yang sudah bertahan lama di dalam ruangan kelam, menikmati sedikit cahaya yang ada di dalam sini. Setiap langkah teredam bunyi akibat karpet yang memanjang sepanjang lorong. Tidak terlalu lembut, tetapi itu cukup dibandingkan dengan dirinya yang harus melangkah hati-hati di lantai yang berdecit. Karena tidak tahu monster apa lagi yang bersembunyi di tempat ini.

Lorong ini cukup besar, dua kali rentangan tangan Ana. Mustahil untuk mengukur ketinggian, gadis itu hanya mendongak memperhatikan setiap lekukan yang bisa ia dapat. Ada hiasan yang menggantung pada setiap lima langkah yang ia ambil. Selain itu, tidak ada hal lain yang menonjol pada lorong kecuali bentukan yang terus berulang dan laba-laba kecil yang sibuk berlalu-lalang di antara lekukan. Ia bahkan belum menemukan ruangan lain selain Sleeping Chamber.


'Masih seberapa jauh lagi?'

Waktu sudah berterbangan cukup lama, tetapi Ana belum menemukan ujung dari lorong ini. Ia sudah melangkah lebih dari lima ratus. Karena ia baru saja menghitung hiasan yang menggantung di langit-langit tepat pada angka seratus. Di mana dari panjangnya perjalanan, tidak ada satu pun yang ia temukan.

Tubuhnya berhenti, sempat menimbang apakah bijak melanjutkan perjalanan atau lebih baik kembali dan menjelajahi lorong sisi lain. Namun, untuk kembali pasti akan sangat melelahkan karena ia harus menempuh perjalanan sepanjang yang sudah ia lewati.

'Oke, seratus langkah lagi.'

Baru saja mencapai angka dua puluh tiga, Ana berhenti. Matanya menangkap sebuah lekuk baru pada lorong yang sangat monoton. Ada sedikit percikan semangat yang menggerakkan tubuhnya lebih cepat untuk mendekati sumber baru. Ia tentu tidak seceroboh itu untuk berlari karena tidak ingin menarik perhatian para monster yang mungkin lebih menyeramkan dibanding yang pernah ia temui.

Ketika masuk dalam jarak pandang, Ana sadar bahwa itu adalah sebuah pintu. Ia berhenti dan menangkap sebuah pahatan.

Sleeping Chamber—

Tubuhnya membeku.

'Ini mungkin ruangan lain, mungkin ada lebih dari satu Sleeping Chamber,' pikirnya untuk menenangkan diri.

Melihat pahatan itu membuat Ana kembali terperangkap dalam bimbang. Apakah ia akan menjelajah tempat ini atau meninggalkannya begitu saja. Bisa saja akan ada black dog atau bahkan monster yang lebih menyeramkan di dalam sana. Pula sama besarnya dengan kemungkinan bahwa ini adalah pintu keluar. Rasa penasaran memang sesuatu yang sangat menggoda. Namun, kemungkinan membawanya berat pada satu pilihan meski takut sangat mendominasi.

Setelah menghirup napas dalam, jemarinya kemudian memutar gagang pintu. Ana mendorong pintu hingga menunjukkan pemandangan di balik sana. Kegelapan yang sangat pekat kini menyebar keluar dari lubang pintu. Nuansa yang dihasilkan terasa tidak asing, hingga akhirnya ia menelan ludah sebelum membuka mulut.

For Her Eternal Nights [END]Where stories live. Discover now