Part 1 Bayang-Bayang Masa Lalu

791 49 5
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 1
Bayang-Bayang Masa Lalu

.
.

Bramantyo Pradipa.

Jantung Selina mendadak bagai berhenti berdetak. Matanya memelotot. Dibacanya ulang nama Project Manager yang tertera di kertas yang dipegangnya. Tetap nama itu.

Ya Allah ….

Jemari Selina yang memegang kertas berisi struktur organisasi proyek Mal Pualam Indah melemas. Lembar tipis itu pun jatuh ke lantai. Kejadian sembilan tahun lalu seketika berkelebat di memorinya.

***

“Aku ceraikan kau!  Mulai sekarang, kau bukan istriku lagi!”

Saat itu, suara Bram menggelegar, bagai guntur yang menghunjamkan petir langsung ke gendang telinga Selina. Wanita itu membeku. Syok.

“M-mas, tolong, dengarkan aku—"

Namun, sambungan telepon diputus. Suara Bram lenyap. Kini semua senyap. Selina buru-buru menekan nomor kontak suaminya. Ternyata ponsel Bram dimatikan.

Dingin merambati rongga dada Selina. Ia sungguh tak percaya. Talak telah diucapkan suaminya. Secara agama, dirinya telah resmi menjadi janda, padahal usianya bahkan masih dua puluh tiga tahun.

Dalam kepanikan, berbagai upaya Selina lakukan. Tatkala ponsel Bram kembali aktif, puluhan kali Selina berusaha menghubungi, tetapi tak satu kali pun diangkat. Belasan pesan ia kirimkan, tetapi tak satu pun dibaca. Segala usahanya harus berakhir dengan diblokirnya nomornya oleh suaminya. Ralat, mantan suaminya. Wanita itu pun hanya bisa menangis semalaman hingga matanya bengkak.

***

Selina termangu. Bayangan masa lalu mengembalikan lagi perih di dada. Perlahan, wanita itu menggeser kursi, lalu membungkuk untuk memungut kertas yang tergeletak di lantai.

Apa sebaiknya ia mengundurkan diri sebagai koordinator drafter? Apa alasan yang harus diajukannya kepada Henry Jinowan? Tidak mungkin ia bercerita yang sesungguhnya kepada sang atasan.

Selina bangkit dari kursi. Ini menakutkan! Jangankan bekerja bersama, membayangkan lelaki itu akan datang ke kantornya saja sudah membuatnya berkeringat dingin. Jemarinya yang kini basah saling meremas. Beruntung, rekan-rekan kerjanya sedang sibuk mencermati layar laptop masing-masing, sehingga tak ada yang menangkap keanehan tingkahnya.

Selina menarik napas dalam, memantapkan hati, lalu wanita tiga puluh dua tahun itu bergegas ke lantai dua, menuju ruangan atasannya.

“Masuk!” Suara berat dan serak Henry Jinowan menanggapi ketukan Selina di pintu.

Selina masuk, dan mendapati lelaki bermata sipit itu sedang berbicara melalui telepon. Henry memberi isyarat tangan agar Selina duduk dan menunggu.

“Baik, Pak Leo. Kami siap mendukung proyek ini dengan sebaik-baiknya. Terima kasih atas kepercayaannya pada Jinowan Arsitektur.”

Henry meletakkan gagang telepon dengan semringah. Wajah lonjongnya berbinar-binar penuh semangat. “Itu tadi Pak Leo Atmaja.” Lelaki empat puluh tahun tersebut memberi tahu Selina yang duduk di depannya, dipisahkan meja kerja. Ia menggosok-gosokkan kedua tangan. Mungkin, lelaki berkacamata itu tengah membayangkan keuntungan yang akan ia dapat dari proyek yang telah disepakati.

“Pak Leo … Atmaja?” Selina membeo dengan tatapan linglung.

“Pemimpin PT Atmaja Building. Masa nggak tahu?” Henry mengangkat alis. “Saya baru satu kali bertemu dengannya waktu datang ke kantornya di Jakarta. Kabarnya ia tegas dan galak. Tapi jangan khawatir, kita akan bekerja sebaik mungkin, hingga PT Atmaja Building selaku main contractor proyek tidak ada alasan untuk komplain.”

“Ah, iya, Pak, mengenai proyek Mal Pualam Indah ….”

“Kenapa? Bu Selina sudah melakukan koordinasi dengan para drafter, kan? Nama anggota tim sudah saya serahkan kepada Pak Leo dan Pak Bramantyo kemarin.”

Selina menelan ludah. Tangan kanannya merapikan jilbab yang sebenarnya baik-baik saja. “Pak … bolehkah saya mundur dari proyek Mal Pualam Indah?” Ia berkata sedikit tersendat.

Kedua alis Henry terangkat. “Apa?” Lelaki bermata sipit itu merasa salah mendengar.

Selina mengulangi permohonannya. Kali ini, kedua alis Henry seketika berkerut.

“Apa alasan Bu Selina mundur?”

“Saya … eh, mengenal salah satu dari anggota tim PT Atmaja Building. Kami pernah bermasalah. Saya rasa … kami tidak akan dapat bekerja sama dengan baik, Pak.”

Henry menggaruk belakang kepala sembari mengembuskan napas keras. Setelah diam beberapa saat, is berkata tegas, “Begini, Bu Selina. Ibu tahu sendiri, di kantor ini hanya ada tiga senior arsitek. Saya sendiri, Pak Irwan, dan Ibu. Dari kita bertiga, hanya Bu Selina yang sedang free. Hunian di Dinoyo yang ibu tangani sudah lama rampung, kan? Masa mau menyuruh para junior yang masih minim pengalaman untuk jadi koordinator?”

Selina mengulum bibir. “Pak, bagaimana kalau bertukar saja? Kalau boleh, saya akan menggantikan Pak Irwan di pembangunan restoran.”

“Mana bisa begitu?” sergah Henry. “Proyek restoran itu sudah berjalan lima puluh persen. Repot sekali kalau harus berganti arsitek. Sementara proyek yang saya tangani di Surabaya juga sudah tujuh puluh persen.”

Selina tertunduk. Usulnya tadi memang tak masuk akal dan egois, juga akan merepotkan banyak pihak. Sekarang ia malu karena mengusulkan hal tersebut. “Iya, Pak. Maaf, saya mengerti.”

“Bagus!” Henry menepukkan kedua tangan. “Berarti sudah tidak ada masalah lagi.  Tim kerja tetap seperti rencana.” Ia menjeda, menatap bawahannya sejenak. “Ehm, Bu Selina, masalah di mana-mana selalu ada. Rekan kerja yang kita merasa tidak cocok, di proyek mana pun pasti ketemu. Jadi harus dihadapi, Bu. Bukan lari. Semangat ya, Bu!”

Selina menatap atasannya, mengerjap. Ingin menanggapi wejangan tersebut, tetapi ia urungkan. Akhirnya, wanita itu memilih undur diri.

Kini, di depan jendela lebar yang menghadap ke halaman belakang, Selina berdiri sambil bersedekap. Bulan Agustus, sebenarnya Malang sedang dingin-dinginnya, tetapi ia sekarang justru merasa gerah. Ruang kerjanya mendadak terasa begitu sempit dan menyesakkan. Pantulan kaca memperlihatkan sosok wanita berjilbab dengan tubuh kurus. Jilbab merah itu hadiah dari teman kantornya. Baru tiga bulan terakhir akhirnya ia memutuskan untuk menutupi kepala seperti seharusnya yang dilakukan seorang muslimah.

Hei, mungkin tidak, ya, bila berjilbab begini, lantas Bram tidak mengenalinya? Ah, harapan yang terlalu naif.

Atasannya tak mengerti. Ini bukan sekadar ketidakcocokan antara rekan kerja semata. Bertemu lagi dengan lelaki itu akan membuat luka di hatinya kembali berdarah. Lebih parah lagi, ia takut mantan suaminya mengetahui rahasianya.

Deringan ponsel mengganggu lamunan Selina. Dirogohnya saku, mengambil benda pipih yang bergetar tersebut. Setelah mengecek nama si penelepon, Selina menggeser tombol hijau. “Halo, Dilla?”

“Lin, aku baru dapat kabar kalau Mas Bram ditugaskan di Malang. Bekerja sama dengan Jinowan Arsitektur. Itu bukannya tempat kamu kerja?”

Selina menghela napas. “Iya, Dil.”

“Astaga, Lin! Kalau rahasiamu ketahuan gimana?” Dilla terdengar panik di ujung sambungan.

“Itulah, Dil. Aku sudah mengajukan permintaan mundur dari proyek mal itu kepada atasanku, tapi gagal.”

Untuk sesaat, tak ada suara. Dilla terdiam.

“Dil, apa sampai sekarang, Janet belum hamil juga?”

“Belum, Lin. Duh, kau harus super hati-hati.”

“Iya, Dil.” Selina menyahut cemas.

***

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang