Part 13 Delapan Tahun

336 27 0
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 13
Delapan Tahun

.
.

Riri mengangguk, lalu memasukkan kembali kotak katering ke tas.

Bram memesan dua porsi bakso komplet dengan irisan lontong.

Begitu pesanan datang, air liur Riri langsung terbit. Si gadis cilik menatap makanan hangat berkuah gurih di depannya dengan penuh minat. Aroma yang menguar bersama kepulan asap tipis membuat perut seketika keroncongan.

Dengan lahap, Riri mulai memakan baksonya. Kuah sedikit tepercik ke meja, tetapi anak itu tak ambil pusing, tetap asyik makan.

Sebaliknya, Bram tak menyentuh bakso dalam mangkuk di depannya. Lelaki itu justru menatap Riri, mengamati tiap jengkal wajah si gadis cilik dengan saksama. Bentuk mukanya, matanya, terutama ... hidung dan dagunya.

Makin ia mencermati wajah mungil itu, dahi Bram makin berkerut. Muka berbentuk hati, mata lebar dengan bulu mata lentik, hidung paruh elang, dagu belah. Mungkinkah anak ini ...?

“Bidadari, berapa usiamu?”

Riri mengerjap dengan mulut penuh. “Mmm.”

“Kunyah dan telan dulu,” ujar Bram, berusaha bersabar. Degup jantungnya terasa berpacu. Menunggu jawaban Riri membuatnya tegang.

Setelah menelan, si gadis cilik menjawab, “Delapan.”

Bram mengusap dada bidangnya. Sedikit merundukkan bahu, ia mencondongkan tubuh ke arah Riri. “Kapan ulang tahunmu?”

Kedua alis Riri terangkat. “Kenapa Om tanya ulang tahunku?”

“Yah … mungkin Om akan memberimu kado.”

“Ah!” Wajah Riri seketika berbinar. “Tujuh belas April, Om.”

Bram terdiam. Tujuh belas April ... lahir delapan tahun yang lalu ....

Seiring otaknya menghitung, mata lelaki itu makin lama makin melebar.

***

Selina memarkir sepeda motor di halaman kantor Jinowan Architect dengan tergesa. Sepanjang jalan tadi ia mengebut. Pikirannya tidak tenang, memikirkan Riri yang mungkin menunggu. Hujan yang turun tadi telah menghambat pekerjaan sehingga mundur dari perkiraan waktunya. Seandainya bukan karena hujan, jam makan siang dia pasti sudah ada di kantor.

Setelah meletakkan helm ke kaca spion kanan, melepas jaket dan memasukkannya ke bagasi sepeda motor, Selina mencabut kunci kontak dan bergegas masuk. Ia langsung menuju ruang kerjanya.

Wanita itu mengedarkan pandangan. Namun, tak didapatinya sosok mungil kesayangannya di ruangan itu. Aneh.

Selina mengeluarkan ponsel, menghubungi Riri.

“Sayang, kamu di mana?” Ia langsung bertanya begitu mendengar suara Riri di seberang sambungan. “Nggak jadi ke kantor Bunda?”

“Jadi,” jawab Riri. “Aku sedang makan bakso.”

“Ha? Bakso? Sama siapa? Tante Endah?”

“Bukan. Sama Om.”

Dahi Selina berkerut.

Om?

Wanita itu berbalik dan melangkah cepat menyusuri koridor menuju pintu keluar kantor.

Begitu memasuki kedai bakso, sepasang mata Selina langsung terbeliak ngeri, saat mengenali lelaki yang duduk bersama putrinya. Napasnya mendadak memburu. Irama jantungnya berubah tak karuan. Ketakutan menyergap.

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now