Part 16 Buah Hati yang Diharapkan

360 22 2
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 16
Buah Hati yang Diharapkan

.
.

“Shop drawing yang tempo hari Ibu buat, telah selesai diperiksa MK.”

“Oh, baik, Pak.” Selina berharap konsultan manajemen konstruksi yang bertindak sebagai pengawas proyek Mal Pualam Indah meluluskan shop drawing yang ia buat.

“Ikut mobil saya?” tanya Bram.

Selina menggeleng. “Saya bawa motor, Pak.”

“Oke. Kita ketemu di kantor.” Lelaki itu berbalik dan melangkah pergi.

 Selina memasukkan buku catatan dan alat tulis ke ransel, lalu segera menuju tempat sepeda motornya terparkir.

Rumah besar dua lantai yang disewa PT Atmaja Building terlihat sepi. Tentu saja, mayoritas karyawannya berada di lokasi proyek. Selina membelokkan sepeda motor memasuki gerbang dan memarkirnya di halaman. Mobil yang dikemudikan Bram sudah berada di situ. Pintu kendaraan roda empat tersebut terbuka. Bram turun sambil membawa tas.

Selina masih mengenakan jaket dan helm ketika Bram melewati sisi kirinya. “Silakan ikut saya.”

Wanita itu buru-buru melepas helm, lalu meletakkannya di spion. Ia urung membuka jaket dan bergegas mengikuti Bram.

Pintu depan terbuka. Di ruang bawah yang pada rumah biasa lazimnya adalah ruang tamu telah disulap menjadi kantor kecil. Seorang wanita dan dua laki-laki tampak sibuk dengan laptop di meja masing-masing. Mereka menyapa sembari mengangguk kala Bram dan Selina lewat.

Bram memimpin langkah mereka menuju pintu berpelitur cokelat tua. Dibukanya pintu dan mempersilakan Selina masuk.

Ruangan itu terlihat privasi karena khusus hanya ditempati satu orang. Satu set meja kerja terletak di samping jendela. Sebuah lemari arsip dari besi dengan pintu kaca, tegak di sisi kanan ruangan.

“Silakan duduk.” Bram menutup pintu.

Selina mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi Bram, dipisahkan meja kerja.

Bram mengambil beberapa kertas dari lemari dan meletakkannya di meja. “Ada sedikit revisi dari MK.”

Selina meraih kertas tersebut. Pada etiket, centang tertera pada bagian “Approved as note” yang berarti gambar itu disetujui dengan diberi catatan. Dibacanya catatan perbaikan yang diminta konsultan.

Dengan punggung bersandar, Bram mengamati wanita yang tengah meneliti gambar di depannya. Selain lebih kurus, Selina juga lebih pendiam daripada saat menjadi istrinya.

Bram mengusap dagu. Apa mungkin Selina hanya pendiam kepadanya? Karena mereka berdua memiliki masa lalu kelam? Hmm, tetapi Rizki juga berkata Selina terlalu pendiam sehingga susah diajak beramah-tamah. Kenapa begitu?

“Yah, paling tidak, gambar ini disetujui.” Selina bergumam pelan, lebih kepada diri sendiri. Diembuskannya napas lega, tersenyum sedikit. Kemudian, ia teringat lagi dengan Bram. Diangkatnya mata, memandang sang project manager. “Akan segera saya perbaiki, Pak.”

Selina merapikan kertas-kertas tersebut. Ia sudah berdiri dan berpamitan ketika Bram mencegah.

“Tunggu. Ada hal lain yang perlu aku tanyakan padamu.”

Selina mengangkat alis, agak heran karena Bram menggunakan kata ganti orang “aku dan kamu”, bukan “saya dan Anda”.

“Ya, Pak?”

“Duduklah.”

Selina kembali duduk, masih memegang kertas-kertas shop drawing. Apa ada lagi yang perlu direvisi dari gambarnya?

Bram memajukan tubuh, menumpukan kedua siku di meja. Sepasang mata hitamnya menyorot wajah Selina. “Riri, anak siapa dia?”

Kertas di tangan Selina terjatuh ke lantai. Sungguh pertanyaan yang tidak ia sangka.

Bram melirik kertas-kertas itu sekilas, lalu kembali mengawasi lekat mantan istrinya.

Selina segera membungkuk, memunguti lembaran yang jatuh. Dirapikannya dengan gugup. “Ke-kenapa tiba-tiba membicarakan Riri?”

“Riri bukan anak Bu Endah.” Bram menatap Selina tajam. “Dia anakmu.”

“Siapa yang bilang begitu?” Selina berusaha berkelit.

“Riri sendiri yang mengatakan ibunya bernama Selina.”

Napas Selina seketika tertahan. Ia menunduk, menatap kertas-kertas di pangkuan. Lembaran-lembaran itu jadi lecek karena tanpa sadar ia remas.

“Me-memangnya kenapa kalau Riri anak saya? Maaf, Pak. Itu bukan urusan Anda.” Selina memberanikan diri mendongak, membalas tatapan Bram. “Atau … apakah Riri merepotkan Anda? Maaf, kalau begitu. Oh, iya, bakso yang kemarin, saya belum membayar bakso Riri.” Dengan gugup, ia segera membuka tas. Wanita itu berharap tangannya berhenti gemetar kala mengeluarkan dompet.

“Lin, aku tidak peduli dengan bakso. Aku memang ingin mentraktir Riri.” Bram menyergah tak sabar. Mengapa wanita ini justru membahas hal yang sama sekali tidak penting?

Selina yang telah berhasil membuka dompet, mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Disodorkannya kepada Bram. Namun, lelaki itu mengabaikan.

“Siapa ayah kandung Riri?” tanya Bram, tanpa basa-basi.

Wajah Selina memucat. Diletakkannya uang yang masih terabai di udara itu ke meja.

“Anak siapa dia, Lin?” Bram mendesak.

Selina merasa sulit bernapas. Sepasang mata Bram yang menatapnya lekat mengingatkan pada masa-masa dulu, ketika mata itu sering memandangnya dengan mesra.

***

“Ditunda? Kenapa harus ditunda? Aku ingin segera punya anak, Lin.” Di malam pertama mereka, Bram menolak mentah-mentah usulnya untuk menunda kehamilan.

“Masalahnya aku masih kuliah, Mas. Akan sulit kalau harus mengurus bayi.”

Bram cemberut. “Padahal aku suka anak kecil. Bayi pasti lucu. Ayolah, Lin, kita bisa mencari solusi untuk itu.”

Selina menggeleng lembut, tetapi tegas. “Tunggu sebentar lagi. Beri aku kesempatan lulus dulu, Mas.”

Meski tidak memaksa saat itu juga, tetapi Bram tidak putus asa membujuk Selina. Setiap kali datang ke Malang, ia merayu istrinya agar menyudahi pengaman mereka. “Ayolah, Lin. Nanti kita bisa membayar orang untuk membantumu mengurus bayi. Jadi, kamu bisa sambil tetap kuliah.”

Lama-lama, wanita itu tidak tega terus menolak permintaan suaminya, kemudian menyetujui.

Sayang, Selina baru menyadari kehadiran sang buah hati di rahimnya justru setelah insiden yang menenggelamkan bahtera rumah tangga mereka. Perasaannya sungguh campur aduk. Bram sudah menjadi milik wanita lain.

Lalu ... bagaimana?

.
.

Okee, setelah yang ini, postingan berikutnya adalah yang terakhir untuk media sosial, ya. Selamat berjumpa dengan Selina, Bram, dan Riri dalam novelnya. 😊 Semoga rezeki kita semua lancar dan senantiasa sehat. Aamiin.

.
.

WAJAH BIDADARI insya Allah akan dijadikan novel. Nanti untuk info, bisa hubungi WA 087880039311 😊

Di sosmed insya Allah akan berakhir pada part 17 = sebagian dari bab 14 versi novelnya.
Kok beda? Karena perbedaan jumlah kata per bab antara medsos dan novel.

Untuk buku novel WAJAH BIDADARI ada 36 bab.

Saat ini sedang proses editing, lay out, dan cover di penerbit. Mohon doakan prosesnya lancar, ya. Terima kasih. 🙏

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang