Biru dan Spiderman

1.1K 88 20
                                    

Happy birthday to you..

Happy birthday to you...

Happy birthday...

Happy birthday...

Happy birthday Biru...

Riuh meriah tawa manusia mengisi ruangan cukup luas itu. Puluhan balon digantung warna-warni. Bunyi tepuk tangan saling bersahutan. Seorang bocah kecil yang hari ini genap berusia dua tahun jadi pusat perhatian para tamu. Nyala lilin masih menari indah di atas kue dengan karakter spiderman. Belum juga ditiup untuk selanjutnya disambut dengan tepuk tangan yang jauh lebih meriah.

"Biru, ayo tiup lilinnya, sayang." Sang ibu membujuk. Perempuan muda berjilbab biru itu nampak antusias meskipun tak ada cerah di wajah sosok balita yang dipanggilnya Biru.

"Biyu tunggu Ayah, Biyu mau tiup sama Ibu sama Ayah."

Ryana Maharani Widodo, ibu satu anak itu menghela napas. Ia pamit sebentar, pada para tamu yang hadir. Seorang lelaki membuntutinya, nampak khawatir.

Ponsel diraih dan gegas menghubungi sebuah nomor. Air mukanya nampak tak nyaman, mungkin sama seperti puteranya, Ryana juga menunggu kehadiran orang yang sama.

"Bintang, halo."

Tak ada sahutan dari sana, meski panggilan itu sudah dijawab.

"Bintang, bisa kita ngomong sebentar? Masa kamu nggak bisa pulang? Ini Biru nunggu kamu, loh? Dia nggak mau ngelanjutin acara kalau nggak ada Ayahnya."

"Ry, boleh ngomongnya nanti aja?" sapa suara disebrang nampak tenang.

"Aku nggak minta apa-apa, aku cuma minta kamu pulang, tapi ka-"

"Aku masih banyak urusan. Kamu tahu, kan? Aku pasti akan pulang kalau kerjaan-kerjaan aku selesai. I'll call you later, see you."

"Halo, Halo, Bintang!"

Telepon terputus. Wanita itu menggeram marah.

Segala gerak-geriknya terekam sempurna dari balik sudut mata laki-laki yang berdiri dengan melipat tangan di dada tak jauh dari wanita itu berada.

"Bang Bumi." Ryana menghela napas jengah. "Udah lama di sini?"

"Sejak tadi, sejak kamu berusaha menghubungi Bintang dan berakhir dengan marah-marah."

Lagi-lagi Ryana menghela napasnya, keras. "Hubungan kami lagi nggak baik akhir-akhir ini."

"I know, Bintang banyak cerita sama Abang."

"Tapi setidaknya, bisa kan dia pulang sebentar? Satu atau dua jam?"

"Ry, Bali dan Jakarta itu bukan tempat yang dekat. Ada banyak hal dan pertimbangan yang harus dilakukan sebelum suami kamu datang ke sini."

Ryana paham itu. Sangat memahami jarak yang jadi pemisah antara mereka. Hidup memang berjalan cukup dinamis dua tahun belakangan ini. Terasa bergerak terlampau cepat hingga banyak sekali perubahan yang tercipta dalam siklus hidup Ryana dan Bintang.

Pasca peristiwa kebakaran di galeri yang merenggut hampir seluruh undangan pernikahan Bang Bumi dan Nessa kala itu, semua jadi runyam. Pernikahan batal, Nessa hilang entah ke mana. Bintang depresi cukup berat hingga butuh bantuan psikiater untuk menyembuhkan luka dirinya. Laki-laki itu terus mengutuki dirinya sendiri karena kegagalan pernikahan sang Abang dengan mantan kekasihnya itu. Merasa menyesal karena kecerobohannya, merasa kalau ia adalah orang paling bertanggung jawab atas amanah Almarhum Bagas yang tidak dapat terlaksana dengan baik. Kendati Bumi jauh lebih tenang dan ikhlas menghadapi semuanya, nyatanya kepergian Nessa dan Tegar yang hilang tanpa tercium jejaknya membuat rasa depresi Bintang kian parah. Tiap kali datang ke galeri, dia bahkan bisa menjerit histeris seakan dihantui peristiwa kebakaran yang menjadi titik balik hidupnya itu.

Hingga titik cerah itu datang. Dari seseorang yang begitu dikaguminya dulu. Sebut saja Pak Made. Salah seorang seniman yang begitu kagum pada hasil karya pameran Bintang di Bali kala itu. Demi menyembuhkan rasa lukanya, dan untuk alasan itu pula, Bintang membawa hidupnya di tempat yang jauh. Jauh dari semuanya. Dari Ryana, dari Bang Bumi, Papa, Mama, dan juga keluarga-keluarganya. Proses sembuhnya tergolong cepat bahkan tidak waktu lama untuk senyum itu bisa terbit lagi di sudut bibirnya.

Ryana dan Biru pernah berkunjung ke pulau Dewata untuk melepas rindu mereka pada ayah satu anak itu. Lantas kemudian berita bahagia datang bertubi-tubi. Tak ada masalah yang muncul kendati jarak jadi pemisah mereka. Berkabar selalu setiap hari. Bintang masih tetap aktif memantau perkembangan dan pertumbuhan Biru via telfon maupun videocall dan alat komunikasi sejenisnya. Belakangan Bintang juga sudah mulai berani pulang ke Jakarta dan melepas rasa rindunya. Hari-hari akan mereka habiskan bersama kala hari kepulangan itu tiba.

Hingga kerenggangan itu terjadi tak kurang dari satu bulan belakangan ini. Kepulangan Bintang yang terakhir ke Jakarta. Rupanya laki-laki itu punya maksud meminta Ryana dan Biru untuk turut serta dengannya. Nampaknya Bintang sudah tidak mampu lagi berlama-lama disiksa jarak, ruang dan waktu. Akar masalahnya ada pada penolakan Ryana. Meyakini bahwa semua akan baik-baik saja walau mereka terpisah jarak, dan enggan untuk bergabung dalam hidup baru Bintang di sana.

Bintang masih terus berupaya merintis kariernya. Dengan galeri pertama yang sudah diciptakannya di Bali, sekolah lukis di bawah asuhan Pak Made dan Bintang setiap hari diminta untuk membimbing para penerusnya, membuat Bintang nyaris kehilangan waktu yang penuh untuk sekadar berbagi rindu dengan Ryana dan Biru. Sapaan-sapaan virtual mereka pun terasa tak lagi hangat. Semuanya hambar bagai kehabisan nyawa.

"Tahun lalu, aku udah berbesar hati menerima dia yang nggak bisa hadir di ulang tahun Biru yang pertama. Biru masih terlalu kecil waktu itu. Dia juga masih belum mengerti apa-apa tentang ke mana keberadaan ayahnya di hari penting dia. Tapi Biru makin lama makin besar, dia makin sadar kalau yang dia butuhkan nggak cuma aku, Ibunya. Dia sering loh, Bang nanyain Bintang kapan pulang? Bahkan kemarin dia masih sempat nangis-nangis karena mau ayahnya datang di ulang tahunnya. Ryana sakit, Bang. Sakit lihat Biru kecewa sama ayahnya yang egois."

"Ry, ditunggu Biru loh." Suara Mama Sinta menyela.

Bumi hampir saja menanggapi curahan hati Ryana kalau saja Mama Sinta tidak datang untuk menegur menantunya itu. Bumi baru sadar, iparnya itu menangis saat dengan secepat kilat tangan mungil Ryana mengusap sudut-sudut matanya. Gegas bergabung dengan kemeriahan acara. Entah apa yang sedang diusahakan Ryana untuk membujuk Biru agar moodnya kembali ceria dan mau melanjutkan acara.

"Bumi keluar dulu, Pa," pamitnya.

Bumi bosan. Keadaan terasa runyam di dalam sana. Melihat kesedihan Ryana, separuh hatinya ingin memarahi Bintang, sedang sisi hatinya tentu tidak membenarkan. Bintang dengan mimpinya jauh di sana.

Memantik api pada batang nikotin yang baru saja tertanam di bibirnya, Laki-laki itu menangkap sosok asing di halaman rumah, bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gusar. Bumi berjalan menghampiri.

"Lo badut ulang tahun buat Biru?" tembak Bumi to the point. Matanya menelaah dari ujung kepala hingga ujung kaki sosok badut berkostum spiderman itu.

"Masuk, gih. Acara udah di mulai." Bumi mendorong masuk si badut menuju ke dalam rumah.

"Biru, coba lihat siapa yang datang!" Seru Bumi. Tentu paman Biru itu sudah lebih dulu mematikan rokoknya di luar tadi.

"Sepidelmen." Bocah itu berseru heboh. Berlari menghampiri spiderman yang jadi favoritnya. Hanya sanggup memeluk sampai lutut.

Si Spiderman menunduk dan kemudian menggendong tubuh mungil Biru. Biru bersorak kegirangan dalam gendongan Spiderman.

Mood bocah kecil itu seketika berubah ceria kembali. Lagu ulang tahun kembali dinyanyikan, dengan semangat meniup lilin, dibantu ibunya memotong kue. Saat ditanya ingin memberikan potongan kue pertama kali pada siapa, tidak ragu Langit Biru Maharaja Wiguna menghampiri Spiderman dengan semangat. Memberikan potongan kuenya dan disambut dengan pelukan terima kasih.

"Makasih loh, Bang, udah ngide datangin Spiderman buat ulang tahunnya Biru," ungkap Ryana terharu.

"Loh, bukannya kamu yang sewa badut Spiderman buat ulang tahunnya Biru?" timpal Bumi kaget.

KintsugiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang