Amanah yang terjaga baik

479 57 39
                                    

Vanessa Aprilia.

Nama itu seakan enggan pergi dari gejolak pikiran Bumi Alfian Wiguna. Hampir dua tahun berlalu, kepedihan hatinya belum juga sirna mengingat begitu banyak luka yang tergores karena keputusan sepihak yang diberikan Nessa padanya.

"Mungkin dengan peristiwa ini, Tuhan minta kita untuk mengkaji ulang semua keputusan yang akan kita buat," ujar Nessa kala itu.

"Aku tahu, Bagas menitipkan amanah besar yang harus diemban untuk menjaga aku dan Tegar. Tapi aku seorang ibu, aku sudah terbiasa merawat dan membesarkan Tegar seorang diri. Tegar hanyalah tanggung jawabku, aku nggak mau semakin membebani kamu dan juga Bintang atas sesuatu yang nggak seharusnya menjadi kewajiban kalian."

Bicara soal Tegar. Anak laki-laki itu juga sudah berhasil mencuri hati Bumi dengan tingkah lucu dan polosnya. Bumi belum pernah menjadi seorang ayah, tapi dengan adanya Tegar kerap kali hatinya membuncah tiap kali bocah itu memanggilnya Papa. Mobil-mobilan berwarna merah yang kini dimainkan tangan Bumi adalah satu-satunya yang tersisa dari Tegar. Mainan yang tertinggal di ruang kerja Bumi saat anak itu datang sekadar berkunjung menemui Bumi di rumah sakit.

"Ngelamun aja, Dok." Bumi sampai tidak sadar Ryana sudah masuk ke ruangannya dan mengetuk pintu sebanyak tiga kali.

"Hai, Ry." Bumi mengemasi mainan Tegar ke dalam laci.

"Kangen Tegar lagi?"

Bumi tidak bisa berbohong. Matanya basah. Sudah cukup membahasakan suasana hatinya.

"Dia dimana ya? Udah sebesar apa sekarang? Udah bisa ngapain aja sekarang? Dia bilang pengen jadi dokter kaya aku," kelakarnya sedih.

"Abang nggak coba cari lewat Jodi, atau teman-teman Nessa dan Kak Bagas yang lain yang mungkin Abang kenal?"

Bumi menggeleng. "Nihil, Ry. Nggak ada satu pun yang tahu keberadaan mereka termasuk Jodi, adik kandungnya sendiri."

Ryana menghela napas berat. Abang iparnya itu nampak sudah lelah dengan keadaan yang dihadapinya hampir dua tahun belakangan. Bintang pernah berkata bahwa Bumi sedang mengenyam karma atas perbuatan yang pernah dia lakukan pada Ryana. Namun, Ryana tidak pernah menyangka bahwa karma yang diterima Bumi rupanya jauh lebih pedih daripada kesedihannya dulu.

"Udah jam makan siang nih." Ryana melirik jam tangannya. "Abang mau makan bareng?"

Bumi menggeleng. "Kamu aja, aku belum laper."

"Bang," tatap Ryana sedih.

"Iya, iya oke. Aku beres-beres dulu."

***

"Aku pikir kamu nggak jadi pulang hari ini." Ibu muda itu meneguk cappucino hangatnya perlahan.

Dari sudut yang bersebrangan, Bintang mengembuskan asap dari batang nikotin yang baru saja dihisapnya. "Nggaklah, Kak. Nggak mungkin aku nggak pulang. Aku udah janji sama Tegar untuk datang di hari perlombaan dia."

"Kamu nggak capek ngumpet-ngumpetan ngerokok gitu? Kalau Ryana tahu, bisa marah besar pasti sama kamu."

Memang ada yang berbeda dari hidup Bintang selama tinggal di tempat baru ini. Si polos itu bahkan sudah berani menjadikan batang nikotin sebagai salah satu teman lepas gundah tanpa hadirnya Ryana di sisi.

"Aku lebih capek ngumpet-ngumpetan keberadaan Kakak sama Tegar dari orang rumah. Apalagi sama Abang," sindir Bintang sarkas.

Nessa tertohok. Hening merayap diantara keduanya. 

"Makasih ya, Tang."

Bintang mengulum senyumnya. "Nggak perlu ngucapin makasih. Itu sudah jadi tugas dan kewajiban aku. Kak Bagas nitipin kalian sama aku, sudah sepantasnya aku melakukan tugas dari almarhum Kak Bagas dengan baik."

KintsugiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang