Sebuah Kejutan Kecil di Tengah Badai yang Besar

411 56 24
                                    

Kami belajar untuk memperbaiki semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kami belajar untuk memperbaiki semuanya

Belajar untuk selalu menemukan kata mufakat dalam setiap selisih pendapat

Mencari sesuatu yang biasa orang sebut sebagai jalan terbaik

Hanya saja pola pikir tiap manusia berbeda

Untuk mencapai satu titik yang sama dan saling bertautan

Butuh ego yang ditekan lebih rendah 

Butuh bahasa yang dituturkan lebih indah

Butuh kedewasaan yang membuat semuanya terasa lebih mudah

Sayangnya, kami masih belum bisa

Bertemu dengan jalan yang sama

Yang biasa orang sebut sebagai jalan terbaik

Hening melingkupi. Malam sudah berganti nama menjadi dini hari kala dua pasang mata itu masih sama-sama terjaga dengan pikiran yang saling gaduh. Asap yang tercipta dari batang nikotin yang dihisap berkali-kali bergabung dengan udara malam dan hembus angin dingin di sekeliling.

Pukul 3 pagi, Ryana dan Bintang masih saling diam dengan mata yang saling memperhatikan diam-diam. Temaram lampu taman belakang menambah suasana terasa semakin resah. Di dalam sana, diam-diam juga, sepasang mata Bumi masih mengawasi dengan tatap yang tidak kalah cemas. Andai terjadi pertikaian, si anak tengah itu sudah bersiap untuk melerai. Cukup mengkhawatirkan adik-adiknya.

Puntung rokok ke 3 sejak keduanya berada di tempat yang sama, Bintang hampir kembali memantik korek apinya saat Ryana mulai berani membuka suara.

"Sejak kapan mulai merokok?"

Bintang mengurungkan niatnya. Meletakkan korek di atas meja dan membuang pandangnya ke arah yang berbeda.

"Kapan ya?" Laki-laki itu nampak berpikir. "Baru beberapa bulan terakhir ini sepertinya."

"Kenapa?"

"Butuh teman, aku nggak punya teman. Pulang kerja capek. Butuh teman buat cerita, nggak ada istri, nggak ada anak. Suntuk." Ia terkekeh sinis.

"Awalnya iseng-iseng. Satu kali hisap, dua kali hisap, kok ternyata enak? Pikiran juga jadi lebih tenang."

Bintang sadar, Ryana sedang melemparkan pelototan tajam padanya. Namun, lelaki itu seakan tidak peduli.

"Aku capek." Bintang menceracau. "Capek sama semuanya. Sama kerjaan, sama tanggung jawab di sanggar. Nggak punya rumah tempat untuk pulang. Nggak punya tempat untuk bersandar."

"Kadang sedih ya, tiap kali telfon, terus nanya, Ryana lagi apa? Biru lagi apa? Jawabannya hampir sama, lagi main, lagi pelukan di kamar, lagi bercanda sama Biru, lagi makan bareng haha.. " Tawanya perih.

"Semuanya dilalui tanpa aku. Agak kontradiktif ya rupanya?" Pertanyaan itu menguap begitu saja. Pertanyaan retoris yang jawabannya juga akan memukul hati mereka berdua pada sesal yang sama.

KintsugiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang