PERMINTAAN #22

321 71 14
                                    


.

.


Pukul sepuluh malam, Ali menggendong Ann dari kamar mandi, lalu membaringkan tubuh yang terasa makin ringan itu di ranjang. Padahal Ann merasa tidak perlu sampai suaminya itu melakukan hal ini. Ia masih bisa berjalan hanya untuk ke kamar mandi. Tapi Ali memaksanya dan tentu saja Ann senang diperlakukan seperti itu.

Ann sudah berselimut, ia memperhatikan Ali yang mengambil sesuatu dari laci meja, sebuah kotak cantik berwarna putih. Ali menyerahkan kotak itu seraya berbaring di sebelah Ann. Dahi Ann mengerut, melihat wajah suaminya yang tersenyum manis ia kemudian membuka kotak itu. Sebuah kalung emas dengan liontin bulat berwarna ungu, sangat cantik.

"Aku yang memesan sendiri liontinnya, agak lama memang karena tokonya harus mencari warna ungu yang sesuai dengan rantai kalungnya." 

Ann kemudian menegakkan punggungnya, diikuti Ali.

"Ini, indah sekali kak." Senyum Ann merekah.

"Hanya untuk istri yang tercantik dan terbaik." 

Ali kemudian memakaikan benda itu di leher Ann, ia puas sekali. Kalung itu sangat cocok dengan Ann. Membuat wajah pucat Ann terlihat lebih cerah.

Ali memeluknya dari belakang menciumi rambutnya yang masih tertutupi kerudung. Ia sebenarnya ingin Ann tidak malu memperlihatkan rambutnya yang rontok, tapi demi kenyamanan istrinya ia harus melihat Ann berkerudung meskipun sedang tidur bersamanya. "Jangan pernah berpikir untuk menyerah ya, aku akan selalu berdoa dan selalu berada disamping kamu.

Ann menyentuh liontin di lehernya. "Banyak hal yang tertunda dan terbengkalai karena aku kak, seharusnya kakak bisa tetap mengurus pekerjaan juga."

"Tidak apa-apa sayang, untuk apa aku mempunyai orang kepercayaan kalau dia tidak bisa memegang amanah yang aku berikan."

"Tapi sampai kapan kak?" 

Lirih suara Ann membuat Ali memutar tubuhnya, berhadapan dengan istrinya itu. Ia memandangi wajah yang selalu cantik di matanya itu.

"Keadaanku tidak baik-baik saja kak. Kita harus mengakui hal itu. Jangan terus seolah-olah aku bisa kembali normal seperti sebelumnya. "

Ali membuang napas. "Kamu kenapa Ann? Kamu tidak percaya dengan pengobatan yang selama ini kamu lakukan akan ada hasilnya." 

"Aku percaya mungkin Tuhan sudah menyiapkan segalanya untukku kak."

"Maksud kamu?" Mata Ali memicing.

"Hidupku tidak akan lama lagi, dan ini hanya waktu yang diberikan kepadaku untuk membuat kenangan untuk kita."

Ali menelan ludah dengan wajah yang berubah. "Aku tidak suka kamu bicara seperti ini. Kita akan selamanya bersama Ann."

Ann menunduk. "Kenapa kita nggak bisa merelakan penyakit ini merenggut nyawaku? Aku lelah. Setiap aku menahan rasa sakit ini, seakan mendekati kematianku sendiri!"

Rahang Ali menegang, ia menggenggam tangan yang dingin itu. "Kita akan melewati ini Ann, aku tidak akan membiarkan kamu pergi. Aku akan menghubungi tante Rosa untuk mempersiapkan pengobatan di London, ya."

Ann menggeleng lemah, ia menatap Ali dengan tatapan lelah. "Aku tidak akan sembuh kak! Apakah kakak nggak melihat kenyataan yang sebenarnya?"

"Ann."

Dada Ann berdenyut sakit, menjalar ke sendi-sendinya dan terasa ngilu. Ia memegang dadanya. "Bisakah ... kita terima ... kenyataan, bahwa ... aku akan segera mati?"

"Ann, Anna ... " Ali memegang bahu yang perlahan terkulai lemah itu.

Dengan panik Ali menggendong tubuh Ann ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.

.

.

Ali tidak ingin melihatnya seperti ini lagi, ketika tubuh kecil itu harus dijejali berbagai tusukan jarum dan selang-selang untuk membantunya bernapas. Hal ini menyakitkan hatinya, ia mengusap wajahnya, beberapa kali mengucap doa. 

Dokter Ridwan menghampirinya dan mengajaknya berbicara. "Keadaan mbak Anna sepertinya memburuk. Kami harus melakukan tindakan operasi lagi."

"Apa, hal itu bisa membuatnya membaik dok?"

Dokter Ridwan mencoba untuk menyampaikan sesuatu yang sebenarnya berat untuk ia katakan.

"Setidaknya akan membuatnya bertahan..." Ia lalu menepuk bahu Ali. "Saya akan melakukan beberapa tes lagi kepada mbak Anna. Jangan berhenti berdoa dan serahkan semuanya pada sang Pencipta."

Ali tidak bisa lagi melihat kepergian dokter itu dari ruangan ini, ia hanya memejamkan matanya, mencoba menguatkan hatinya. Setelah beberapa saat, ia kemudian menghampiri ranjang dan menggenggam tangan Ann.

Sungguh ia tidak akan kuat, ia tidak akan ikhlas, ia tidak akan rela bila Ann pergi meninggalkannya.

Wanita ini, adalah perempuan satu-satunya yang ia cintai. Ann adalah hidupnya, napasnya dan teman ke surganya nanti. Kenapa ia harus merasakan kehilangan lagi. Tubuhnya perlahan bergetar dengan isakan yang mulai keluar dari bibirnya.


Ali merasakan ada sentuhan lembut di pipinya. Ia membuka matanya dan melihat Ann yang sudah bersandar pada bantal di belakang punggungnya, tersenyum manis dengan selang oksigen yang masih  berada di hidungnya.

"Sudah subuh."

Suara merdu itu membuat Ali mengangkat kepalanya, lehernya terasa pegal karena posisi tidurnya yang menelungkupkan kepalanya di sebelah tangan Ann. Laki-laki ini ikut tersenyum, lalu pergi mengambil air wudhu.

Setelah keduanya sholat berjamaah dengan Ann yang tetap berada di atas ranjang. Ali duduk kembali di kursi di samping ranjang.

"Apakah masih sakit?"

Ann menggeleng."Nggak." 

Sebenarnya Ann sudah sulit untuk bernapas, tapi Nasal Oxygen Cannula yang terpasang di hidungnya membantunya untuk tetap bisa mendapatkan oksigen.

Ann menatap wajah rupawan itu, garis-garis kelelahan tampak di matanya. Ini semua gara-gara dirinya. Suaminya harus mengorbankan banyak waktu berharga untuk menemaninya. Dadanya berdenyut sakit, bukan karena penyakitnya tapi rasa iba dan cemas terhadap Ali. 

"Aku ingin meminta sesuatu pada kakak?"

Ali mengusap pipi Ann. "Kamu mau makan sesuatu? sebentar lagi sarapan, atau kamu mau beli makan di luar?"

Ann menggeleng, rasanya sangat berat hanya untuk menarik napas. Ia menahan seluruh perasaannya, seolah kata-kata ini tidak pernah keluar dari mulutnya.

"Aku ingin kak Ali menikah lagi."

...





ANA UHIBBUKA FILLAH BAGIAN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang