#1

74 12 9
                                    

"Siapa yang tahu kenapa benda selalu jatuh ke bawah, kenapa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan kenapa kita bisa berpijak di atas tanah?"

Dalam sebuah ruangan, sekumpulan anak duduk berimpit.

Entah sudah kesekian kalinya aku mendengar pertanyaan yang serupa. Kakek itu--sebenarnya bukan kakek-kakek betulan, sih, cuma sebutanku saja. Orangnya sendiri masih muda. Usianya barangkali empat puluhan, tetapi cara bicaranya tidak ada bedanya dengan kakek-kakek tetanggaku dahulu.

Aku tidak tahu apakah itu karena cara bicara Kakek si Tetangga yang semangatnya seperti anak muda--mungkin dia agak sedih karena waktu itu dia sudah tua renta, makanya dia cara bicaranya berapi-api--atau memang cara bicara Ethan si Kakek saja yang begitu.

Ah, pokoknya begitu, deh.

Aku masih ingat dengan saat pertama kali aku bertemu dengannya; namanya Ethan. Pria itu hanya memperkenalkan diri dengan nama depannya saja. Seringkali teledor, ruang kerjanya agak berantakan, dan sudah pasti akan lebih berantakan lagi kalau dia sudah tenggelam dalam pekerjaannya yang entah apa; justru ketika aku mengharapkan bantuan seseorang, malah orang yang seperti itu yang mengulurkan tangannya.

Singkatnya, aku dipungut di tengah jalan saat semua orang mengungsi dalam keadaan panik. Tempat aku berpijak saat ini bukanlah di atas permukaan bumi, melainkan sebaliknya; sebuah bungker besar yang menaungi kami, para penghuni bumi yang terakhir.

Ethan menyebut kami Earthan. Sebutan yang aneh sekali, demikian pendapatku.

"Naomi, coba jawab," celetuk Ethan tiba-tiba, membuat atensiku teralihkan sepenuhnya ke depan.

Dalam sebuah ruangan yang sekilas menyerupai kelas itu, tatapan semua orang tertuju pada diriku yang tengah duduk di pojokan. Kalau kuperhatikan, papan tulis hijau itu sudah penuh coretan yang tidak bisa kubaca. Tulisan Ethan tidak pernah berubah, ya. Jelek sekali. Namun, kalau menyimak apa yang dia katakan selagi dia menggurat untaian kata-kata kunci di sana, kurasa siapa pun akan paham apa ditulisnya.

"Gaya gravitasi, Sir Isaac Newton," jawabku malas.

Ketika kulirik sang empunya suara, kudapati bahwa dia tengah tersenyum memandangku. Detik berikutnya, Ethan sibuk lagi memainkan peran gurunya itu. Mulut Ethan si Kakek mulai menyerocos tentang bagaimana Sir Isaac Newton, orang yang pertama kali menyadari keberadaan gravitasi itu, mendapat ilhamnya melalui kejadian di mana kepalanya kejatuhan sebuah apel.

Aku memandangnya sebagai kesempatan untuk menyelinap pergi. Begitu aku rasa aku sudah aman dari pandangannya, aku memacu kedua kakiku untuk berlari. Kulompati pipa-pipa yang mencuat keluar di sela-sela itu.

"Nao, boleh kuminta kau membetulkan lampu kamar mandi kami lagi? Maaf sekali. Padahal baru kau perbaiki minggu lalu, tetapi lampu itu kerjanya cuma hidup, mati, hidup, mati."

Aku melambaikan tanganku di udara.

"Nanti aku mampir," kataku setengah berteriak, memelesat pergi ke ujung bungker. Selagi berlari, aku tertawa lepas. Gema tawaku beresonansi dengan udara hingga ke ujung-ujung; siapa pun tahu kalau aku lewat--tidak ada orang yang tidak mengenal pemilik suara yang tawanya tengah membahana itu. Semua orang tahu siapa yang lewat, sebab aku tertawa lepas bagai orang yang mendapatkan kebebasan.

Hai, aku Naomi. Naomi Sullivan. Menyandang nama belakang yang sama dengan guru Anne Sullivan yang hebat, aku punya imej yang terbalik dengannya. Kisahku seharusnya berawal dari saat ketika aku lahir, tetapi aku tidak akan bercerita dari sana. Kukisahkan saja cerita yang menurutku jauh lebih menarik--kisah tentang kami, Earthan, penghuni bumi yang terakhir. Kisah sebenarnya dari kiamat bumi.

Tentu saja, kisah Ethan si Kakek tidak akan luput dari ceritaku juga.

Tentu saja, kisah Ethan si Kakek tidak akan luput dari ceritaku juga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Earthan [Completed]Where stories live. Discover now