#2

30 5 10
                                    

"Naomi! Hei, Naomi Sullivan!"

Aku berhenti. Siapa yang menyebut namaku?

Aku berbalik menghadap sang empunya suara. "Kukira siapa. Ternyata kau, Jill?"

"Mau ke permukaan lagi?" tanya Jill balik.

Aku berdiri sambil berkacak pinggang. "Tentu! Kau tahu, lah, barang-barang di sini terbatas. Sekrup dan paku-paku saja banyak yang kurang."

Jill melirik ke sana kemari beberapa kali, kemudian mendekatkan mulutnya ke kupingku. Gerak-geriknya waswas sekali, bisiknya, "Maksudnya tidak cukup untuk 'anak kesayanganmu' itu 'kan?"

Aku tergelak. Ya, ya, benar. Anak kesayanganku. Suatu mesin entah apa yang tak kunjung selesai karena kurang ini itu.

"Lebih baik kau berhenti melakukannya," saran Jill, raut wajahnya serius sekali. "Nanti kau dimarahi Ethan lagi, betul."

Aku memutar bola mataku malas. Tiap kali kepergok Jill, selalu itu saja yang diucapkannya kepadaku. Aku sampai hafal di luar kepala. "Terserah, deh. Kau 'kan tahu aku tetap akan pergi meskipun kau melarangnya."

Jill menghela napas.

"Kau pikir apa alasannya kenapa cuma yang elite saja yang boleh melakukan ekspedisi di permukaan? Jangan salahkan aku kalau kau mati di atas, ya. Aku sudah melarangmu."

Aku tersenyum lebar, memamerkan deret gigi kuningku. "Tidak bakal," jawabku menyanggah, berjalan menjauh. Langkahku kumulai dengan beberapa lompatan kecil. "Alberta dan yang lainnya masih belum bisa ditinggal!"

"Aku sudah melarangmu, lho!" katanya setengah berteriak.

Aku terkekeh sendiri. Kuangkat satu tanganku ke udara dan melambai-lambaikannya sebagai respons.

Kembali kupacu kaki.

Tahun 2148. Sekitar enam tahun berlalu sejak alien menyerang bumi--atau itulah kata mereka. Kala itu usiaku enam belas; keseharianku yang penuh angan-angan mendadak berakhir begitu saja. Ketika apa yang mereka sebut-sebut sebagai kiamat itu terjadi, aku dilanda ketidaktahuan. Aku tidak tahu apa-apa. Kata mereka, ada alien di luar sana yang akan memburu manusia sampai tak bersisa seorang pun. Aku, sih, tidak pernah melihatnya. Berkali-kali aku menyelinap keluar bungker untuk berbagai alasan, tidak pernah sekali pun kutemui makhluk luar angkasa yang dimaksud. Yah, antara percaya atau tidak percaya.

Apa pun ceritanya, pokoknya kami semua berakhir di dalam bungker raksasa bawah tanah ini; walau bagiku, isinya kelihatan lebih mirip dengan kota bawah tanah alih-alih sebuah bungker. Pasalnya, banyak sekali rumah di dalamnya. Ratusan, barangkali? Aku tidak tahu.

Kini, sampailah aku di ujung bungker. Bukan, bukan lewat sini aku akan menyembulkan kepalaku ke permukaan. Lebih tepatnya, aku tinggal di sini, di sebuah rumah di salah satu ujung bungker. Aku berhenti sejenak, mengambil napas, kemudian membuangnya pelan-pelan.

"Aku pulang!" ucapku lantang. Beberapa detik kemudian, gelak tawa anak-anak membahana memenuhi ruangan; sekumpulan anak berlarian datang mendekat. Setelah itu, aku dikerubungi--depan belakang, kiri kanan. Sesekali ada jeritan girang dari salah satu dari mereka. Kutatap wajah mereka satu per satu. Mereka semua terlihat sehat.

Aku membiarkan kedua tanganku yang tidak membawa apa pun itu mengelus kepala mereka bergantian--kepala anak-anak yang tingginya hanya sekitar pahaku. Sesekali kupanggil nama mereka dan menyapa yang lainnya.

Dalam hati entah kenapa aku takut nanti mereka semua jadi cebol.

"Mana tasku?"

"Kakak akan keluar lagi?" tanya salah satu di antara mereka. Amy si anak tertua datang mendekat membawakan ranselku.

Sambil mengambil alih tas itu, aku mengangguk.

"Bawa aku, dong."

Begitu kalimat itu terucap, anak-anak lainnya sontak meminta hal serupa. Aku hanya bisa menggeleng pelan dan menolak dengan lembut. "Di luar berbahaya," kataku beralasan. Terlepas dari rumor yang beredar itu nyata atau tidak, aku tidak mau kalau semisal ada sesuatu yang terjadi pada mereka barang sedikit pun.

"Cepat pergi cepat pulang?"

"Ya, cepat pergi cepat pulang," jawabku membeo, tersenyum lebar pamer gigi kuning. "Kalau perlu sesuatu, mintakan pada Paman Ethan di rumah sebelah. Barangkali sebentar lagi orangnya pulang. Tadi kulihat dia masih berbagi ilmu di pusat pengajaran."

Aku membuka ransel tadi. Kuintip isinya, kemudian menutup ritsleting-nya kembali ketika kurasa tidak ada yang kurang. Kupastikan ransel itu kupikul dengan benar, sebelum aku pamit dan benar-benar berangkat ke permukaan.

"Aku pergi dahulu."

Detik berikutnya, aku meninggalkan rumah. Ketika sekilas terlintas di benakku betapa miripnya rumah itu dengan panti asuhan dan bahwa aku hampir tidak ada bedanya dengan suster yang bertanggung jawab di sana, aku tertawa kecil.

Lirik kanan, lirik kiri. Kedua kakiku jinjit selagi memelesat menyusuri pipa. Sambil berharap tidak ada yang melihatku, aku terus maju sampai beberapa puluh meter.

Ah, itu dia!

Aku mengulum senyum. Sesampainya di sana, aku memanjat tangga. Kubuka pintu bungker yang bertuliskan "emergency exit" itu, kemudian melongokkan kepala.

"Aduh," ucapku spontan, menyipitkan mata.

Astaga, aku lupa kalau di luar itu masih siang. Matahari silaunya minta ampun.

Aku merangkak keluar. Kututup pintu itu perlahan. Pintu itu sempat berderit tepat sebelum bunyi "ceklek" ringan terdengar, membuatku refleks mengerutkan wajah. Semoga tidak ada orang yang berjaga di sekitar sana, demikian aku berdoa dalam hati. Aku melirik jam tanganku. "Pukul sebelas tepat," bacaku, memaksakan diri menahan kelopak mata agar tetap terbuka.

Berdasarkan jadwal jaga bergilir, harusnya tidak ada orang di sekitar sana.

Begitu mataku bisa terbuka dengan benar, aku merogoh tas. Dari dalamnya kukeluarkan sebuah peta, kemudian aku berjongkok.

"Mari kita lihat."

Aku membentangkan peta itu. Beberapa kali aku mendapati diriku mengerutkan kening; peta yang sepertinya sebentar lagi akan hancur berkeping-keping itu sebagian besar sudah pudar warnanya. Namun, kesampingkan masalah warna pudarnya itu. Tulisannya juga mengajak pembacanya berantem.

Petanya sudah burik.

"Harusnya dari kemarin-kemarin aku berburu peta yang usianya lebih muda," gumamku mengeluh.

Beberapa saat kemudian, aku mengangkat kepalaku. "Kurasa hari ini aku akan pergi sedikit lebih jauh," gumamku.

Cuaca di luar cerah sekali. Cuma agak panas, sih. Aku menyesal tidak bawa topi. Kalau aku bawa, barangkali sekarang aku sudah bisa menutupi setidaknya wajahku dari teriknya matahari.

 Kalau aku bawa, barangkali sekarang aku sudah bisa menutupi setidaknya wajahku dari teriknya matahari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Earthan [Completed]Where stories live. Discover now