#3

19 6 7
                                    

Bulir-bulir keringat mengalir turun. Sesekali aku mengusap wajahku yang banjir keringat itu selagi berjalan dari toko ke toko; beberapa kali aku harus membobol gemboknya terlebih dahulu baru bisa masuk ke dalam. Begitu masuk--ukh, debunya. Aminkan aku tidak langsung sakit karena alergi setelah ini.

Aku bersin beberapa kali lalu kugosok hidungku. Di dalam toko, aku berdiam diri sejenak meladeni hidungku yang mulai gatal, sekalian membiarkan pupil mata mengatur kembali banyaknya cahaya yang masuk.

"Harus ada penggerak," gumamku, membiarkan pandanganku berkeliling. "Yah, kurasa itu bisa."

Aku menurunkan sebuah sepeda lipat yang jadi pajangan. Kuteliti rupa sepeda yang sudah lama tidak kulihat itu beberapa lama, kemudian mencoba membukanya. "Agak usang, tetapi tidak apa-apa, lah. Kalau kurang, aku tinggal datang lagi. Harusnya di gudang masih ada lusinan sepeda yang serupa."

Detik berikutnya, sepeda itu kulipat lagi dan aku angkat kaki keluar toko. Sebuah tas besar yang kutemukan di sana kupakai untuk membawa sepeda lipat temuanku itu.

Selagi berjalan, aku mengedarkan pandanganku menyapu sekeliling; beberapa mobil usang terparkir di sisi jalanan yang kosong melompong. Selain itu, tidak ada lagi yang terlihat. Hewan saja tidak kelihatan barang seekor pun.

Tiba-tiba, gelak tawa terdengar. Suaranya kasar sekali; sungguh tidak enak didengar. Detik berikutnya, muncul seekor rusa yang dengan lagak tidak tahu apa-apanya berjalan masuk ke jarak pandangku.

"Huh?"

Oke, baiklah. Bukan tidak ada hewan, cuma pergi entah ke mana saja mereka semua. Kebetulan si rusa yang melarikan diri dari kebun binatang itu bosan, makanya ia "tertawa" dengan suara seraknya dan menyapa aku yang kebetulan lewat.

Belum cukup sampai di situ. Di kejauhan, tampak oleh mataku dua gumpal benda yang bergerak mendekat; satu besar dan satu kecil. Aku menyipitkan mataku.

Dua gumpalan yang asyik kejar-kejaran itu kian lama kian dekat. Sampai satu jarak di mana sosok mereka terlihat jelas, detik itu juga aku tergelak.

Identitas kedua gumpalan beda ukuran itu adalah seekor kucing dan seekor tikus.

Namun, bukan karena itu aku tertawa. Itu bukan kucing mengejar tikus, melainkan sebaliknya. Masa iya tikus mengejar kucing? Aduh, semesta pasti sedang galau sekali sampai mau melawak begini!

"Sampai kucing pun mau kau makan, ya, little mouse," ucapku, sementara senyum tak kunjung luntur dari wajahku. "Saking laparnya dirimu itu, tuh."

Aku tergelak pelan, tak kunjung bergerak dari sana. Ketika kusadari kedua hewan itu kian lama kian dekat, rasanya ada suatu perasaan aneh yang menyeruak dari dalam benak.

Tunggu sebentar ....

"Ya, Tuhan!" ucapku spontan, refleks menghindar ketika acara kejar-kejaran itu ujung-ujungnya malah ikut melibatkan aku. Si kucing bersembunyi di belakang kakiku, terus si tikus malah beralih mau menggigitku.

"Woy, lah! Stop!" teriakku. "Aku tahu kau lapar, tetapi jangan aku juga yang kau makan! Aku tidak enak! Astaga, sepatuku! Hei!"

Detik berikutnya, aku dan si kucing berjuang bersama melarikan diri dari tikus kelaparan. Terakhir entah bagaimana, aku berhasil menjauhkan diri dari tikus itu. Kucingnya? Maaf sekali, kutinggal di sana. Doakan saja hewan berbulu yang satu itu berhasil meloloskan nyawanya juga.

Aku menyeret kakiku pelan. Napasku masih terengah-engah, efek kejar-kejaran tadi.

Aku menengadahkan kepala. Langit cerah tak berawan dan matahari semakin terik. Seketika aku merasa haus, kakiku pegal, dan sepertinya mencari tempat untuk berteduh sebentar bukan ide yang buruk. Mataku menyapu sekeliling. Sebuah toko kelontong menarik perhatianku, lantas aku berjalan masuk ke dalamnya.

Earthan [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang