7. Penolakan Lagi

57 17 52
                                    



Hadinata tidak menyangka istrinya akan menelponnya saat ini, biasanya dialah yang terlebih dahulu mengirim pesan atau menelpon langsung. Hal ini tentu saja membuatnya merasa sungkan kepada Cahaya dan kakak-kakaknya. Apalagi dia duduk bersisian dengan Awan. Pasti Awan bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang menghubunginya.

Tak ada pilihan lain Hadi meminta ijin untuk menerima panggilan dari istrinya dan dijawab dengan anggukan oleh Awan.

Cahaya pun seolah tidak peduli, dia lebih memilih membuka layar ponselnya dan tidak ambil pusing dengan apa yang dilakukan ayahnya.

Lain halnya dengan Langit, kalau kakak dan adiknya diam saja ia justru mengeluarkan kata-kata sedikit menyindir. "Kalau cuma mau pamer keromantisan keluarga gak usah di sini, " sengit Langit.

"Lang!!" Awan coba mengingatkan. Namun hanya dibalas dengusan dari sang adik.

Cahaya melirik ke arah Hadi yang berjalan ke luar, bibirnya menyunggingkan senyum sinis.

Hadi kembali setelah cukup lama berbicara di luar rumah, tetapi terlihat layar ponselnya masih menyala dan masih dalam panggilan tadi, tapi kali ini berganti menjadi panggilan video.

Setelah sampai di tempat duduk Cahaya, Hadi tiba-tiba menyerahkan ponselnya ke anaknya itu sambil berkata. "Ay, Ibu eeemm maksudnya istri ayah pingin ngomong sama kamu."

Bukan hanya Cahaya yang kaget, Awan dan Langit pun sama kagetnya. Apa maksud Hadinata sebenarnya, apa dia sudah gila dengan meminta anak dan ibu tiri yang belum pernah bertemu untuk mengobrol.

Dengan wajah bingung Cahaya menerima ponsel itu, mengarahkan layar ke wajahnya. Demi Tuhan untuk apa dia berbicara dengan wanita ini, bahkan mengenal pun tidak lebih tepatnya dia yang tidak mau berkenalan dengan wanita itu.

Terlihat seorang wanita kira-kira berusia pertengahan 40 tahun tersenyum ke arahnya walau tampak kaku dan terpaksa.

"Assalamu'alaikum Cahaya," sapanya. "Saya turut berduka cita ya atas meninggalnya ibu kamu." lanjut wanita itu.

Memaksakan senyum Cahaya menjawab. "Wa'alikumussalam, terima kasih."

"Oiya kata ayahmu kemarin sakit, bagaimana sekarang apa sudah sembuh?" lanjut wanita yang menjadi istri ayahnya itu.

"Alhamdulillah sudah," jawabnya singkat.

"Syukurlah kalau udah sembuh jadi ayahmu bisa cepet balik kesini. Kalau terlalu lama di sana gimana sama kita di sini. Anaknya kan bukan cuma kamu aja yang harus diurus, dia juga harus berkerja mencari nafkah juga buat kami." Masih wanita tadi yang bersuara.

Semua yang ada di ruangan itu terkejut mendengar apa yang Astri katakan karena memang volume suara ponsel dalam mode maksimal jadi semua bisa ikut mendengar dengan jelas. Begitu juga dengan Hadi, bukan hanya kaget wajahnya pun terlihat pucat sekarang.

Walau di hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang menyesakkan, Cahaya masih bisa menyungingkan senyum sembari menanggapi perkataan wanita tadi.

"Terima kasih Tante atas perhatiannya. Dan tenang saja suami tante pasti akan segera pulang." Dengan suara tenang dia menjawab.

"Sepertinya tidak ada lagi yang mau dibicarakan dengan saya, kan? Saya kembalikan ponselnya ke suami Tante, ya." Tanpa mengucapkan salam dan menunggu persetujuan dari sang lawan bicara Cahaya langsung menyerahkan ponsel itu kepada ayahnya.

Hadi menerimanya dengan tangan yang mendadak terasa dingin dan agak gemetar. Segera dia menyudahi panggilan itu. Seketika pikirannya kalut. Masalah baru sepertinya harus dia hadapi.

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Where stories live. Discover now