Empat belas : Daycare

447 68 17
                                    

•••

"Kalian berdua mau ngapain tadi?"

Pertanyaan yang terlontarkan pada kami berdua tak kunjung mendapatkan jawabannya. Sebab yang aku dan kak Ali lakukan hanya bisa saling melempar tatapan satu sama lain.

"Gak dijawab?"

Sekuat tenaga aku berusaha mengirimkan sinyal kode agar kak Ali memberikan jawaban apapun asal masuk akal dan tak membuat Mbak Jenna semakin murka.

Iya. Mbak Jenna lah sosok yang tiba tiba muncul di tengah pintu masuk ruang televisi.

Aku tentu saja terkejut. Rasa debar yang tiba tiba menghantam jantungku kala kudengar suara asing yang menginterupsi kami. Bahkan aku sampai menutup mata pada posisi yang sama diawal, aku baru menyadarinya ketika kak Ali terpaksa menciptakan jarak diantara kami.

Ya, jujur aku sangat takut tadinya. Mengira sosok yang melihat kami adalah Mama. Memikirkan kira kira apa alasan yang bisa aku berikan untuk menjelaskan situasi hal tersebut.

"Itu Mbak..," aish, alasan apa yang pas untuk kugunakan sekarang ini.

"Aku cuma mau lihat bola matanya Prilly, Mbak. Cantik banget soalnya." Aku menoleh ke arah Kak Ali spontan setelah aku mendengar celetukannya, sambil dalam hati ingin meneriaki kalimat alasannya itu sangat amat gombal terdengarnya.

"Lain kali kalo cuma mau lihat, bisa agak berjarak, gak perlu sedeket itu, udah seperti orang mau ciuman aja" komentar Mbak Jenna sambil mengambil tempat duduk pada sofa disamping kami. Tatapannya tak lepas dari kami berdua, bahkan kini dari cara duduknya pun seakan ingin masih mengeluarkan kalimat yang entah bagaimana bunyinya. Aku sendiri tak tahu, mbak Jenna ini memang percaya dengan alasan kak Ali atau hanya mau pura pura percaya. "Mbak tahu, kalian udah mau mengakui perasaan masing masing. Bahkan kalian udah sepakat kan, buat keep in private hubungan kalian. Jadi mbak hanya nggak mau, rencana yang udah kalian susun, termasuk kapan mau kasih tau mbak Arubi, rusak hanya karena mbak Arubi tahu duluan sebelum waktunya."

Aku menghela nafas berat. Nasihat mbak Jenna memang benar.

"Mbak seneng lihat hubungan kalian yang sekarang, tapi mbak nggak akan ngedukung kalau kalian sampai bertindak melampaui batas."

"Mbak Jenna, aku.." panggilku spontan berniat menjelaskan namun aku sendiri tak tahu harus mengatakan apa.

Mbak Jenna memajukan posisi duduknya guna menggapai punggung tanganku.

"Mbak tahu juga kok, di usia menuju dewasa seperti kalian pasti ingin mencoba banyak hal baru. Belum lagi perasaan gembira setiap bersama pasangan. Maunya barengan terus. Itu hal yang wajar, tapi bukan wajar lagi kalau kalian sampai melampaui batas aman hubungan kalian," kata mbak Jenna sambil bergantian melihat kami berdua.

"Dan kamu Ali, mbak masih percaya sama kamu kalau kamu nggak akan melakukan hal hal yang bisa menyakiti Prilly dalam bentuk apapun. Kamu masih ingat janji kamu sendiri kan?"

Bersamaan dengan anggukan yang kami berdua berikan pada Jenna, suara klakson kendaraan Mama terdengar. Sepertinya waktunya tepat sekali.

"Yaudah, mbak pamit kalau begitu ya. Mbak Arubi udah didepan jangan lupa." Mbak jenna lalu berdiri dari tempat duduknya. Belum sampai ujung ruang televisi langkah mbak Jenna, beliau pun berbalik. "Ekspresi kalian agak dilepasin dikit bisa nggak? Tegang banget kelihatannya."

Sontak aku merasa sempat menahan nafas selama beberapa detik. Lihat saja bagaimana Mbak Jenna yang sempet terkekeh dan berlalu. "Hati hati pulangnya mbak Jen," cicitku yang dibalas dengan lambaian tangan oleh Mbak Jenna sebelum menghilang dari pandangan kami. Lalu yang aku lakukan adalah menyandarkan badan pada punggung sofa sambil memejamkan mata.

Head Over HeelsWhere stories live. Discover now