Dua puluh : Tutorial move on

268 45 6
                                    

°°°

"Lo lagi nggak serius kan ini, Pril?"

Dari dalam lubuk hatiku terdalam, aku pun sebenarnya juga tak ingin serius mengambil jalan ini. Tapi bagaimanapun, harus aku tetap menjaga kewarasan di tengah terombang ambingnya perasaan kacauku yang tak kunjung mereda. Aku hanya takut, akan menghancurkan diri sendiri apabila aku tak segera mengambil langkah ini.

"Dokumen-dokumen gue udah pada siap, ya kali gue nggak serius."

"Nggak asik ah lo, Pril. Dulu aja waktu kkn, kalo nggak sama gue, lo nggak mau. Sekarang mau pergi sendirian, jauh pula tempatnya."

Aku memperhatikan ekspresi marah yang Kahiyang sekarang sedang tunjukkan tanpa malu. Bagaimanapun, Kahiyang adalah sahabat terdekatku. Tentu, aku akan merasa kehilangan sosoknya dengan keputusan yang akan aku ambil. Ya ini adalah salah satu risiko atas pilihanku.

"Nggak jauh jauh banget kali, Yang. Masih sesama wilayah jabodetabek ya."

Aku iseng mendaftarkan diri untuk dapat menjadi tenaga pengajar selama beberapa bulan sesuai kontrak yang akan ku tanda tangani. Tak ku sangka, aku menjadi salah satu mahasiswa terpilih yang dapat lolos dan berhak mengajar di salah satu sekolah swasta elit di daerah Bogor. Oleh karena itu, tentu saja aku akan berada di Bogor sementara.

Selain gaji yang ditawarkan sangat lumayan menurutku, ini adalah kesempatan baik yang tak boleh ku sia siakan. Siapa tahu, meskipun sekarang aku hanya sebagai tenaga pengajar kontrak beberapa bulan, siapa tahu jalan baik menantiku didepan sana.

"Move on ala lo harus gini banget ya?"

"Abis tips tutorial move on dari lo nggak manjur sih," candaku tak sepenuhnya serius.

"Buset, bukan tips dari gue yang salah ya, emang lo nya aja yang nggak niat move on."

Aku hanya bisa tertawa receh.

Sehari setelah kepergian kak Ali, Kahiyang menemuiku dirumah, dan tentu saja aku menceritakan bahwa hubungan kami benar benar berakhir. Hingga sepanjang hari di tanggal tersebut, Kahiyang sibuk dengan menghiburku. Bahkan sampai ia rela menginap dirumahku.

Ke esokan harinya, Kahiyang mulai memberikan banyak sekali wejangan, yang bahkan sampai sampai hampir tak ada yang aku ingat kecuali satu hal.

'Coba nikmatin aja dulu rasa sakit lo sepuasnya, lama kelamaan gue yakin lo bakal bosen sama rasa sakitnya. Sampai akhirnya lo bakalan sembuh dan nggak bakal lagi sedih lagi kalau denger namanya apalagi ketemu orangnya nanti.'

Setelah hari itu, aku benar mencoba satu sarannya yang berhasil ku ingat itu. Benar benar setiap harinya di akhir waktu menjelang istirahat, akan kugunakan untuk menangisinya. Memikirkan pengandaian jika saja kami masih bersama, dan memutar kembali ingatan bagaimana ia mengambil keputusan melepaskanku.

Hingga satu bulan berlalu, aku baru menyadari bahwa tiada hal beda yang kurasakan. Sebab rasa sayang dan cinta padanya masih jelas terasa nyata dan utuh. Dan hal yang aku sangat inginkan adalah kami dapat kembali merajut hubungan indah ini.

"Niat kok, ini makanya gue ambil kerjaan yang di Bogor itu," sahutku.

"Pril, orangnya kan udah lepas, please lah lo segerain ikhlas."

Aku tertawa receh mendengar ungkapan Kahiyang. Bagaimana bisa aku mengikhlaskan bayang bayangnya secepat ini, jika kembali ku ingat bahwa hampir separuh umurku kuhabiskan bersama kak Ali.

"Udah yuk, katanya mau kerumahnya Zidan. Udah nyampe mana ih gocarnya?"

Kami berempat sudah berencana main kerumah Zidan untuk sekedar berkumpul bersama setelah beberapa saat sibuk masing masing. Berhubung Zidan sekarang malas keluar rumah karena merasa harus menjaga sang Mama yang kemarin sudah diperbolehkan menjalani rawat jalan selepas keluar dari rumah sakit.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang