DUA PULUH

2.8K 200 2
                                    

Happy Reading ❤

🐭🐭🐭

Akhir pekan telah tiba. Di mana waktunya orang-orang beristirahat setelah penat bekerja lima hari sebelumnya. Namun, hal berbeda terjadi pada sepasang pengantin yang tidak bisa dibilang baru lagi. Amanda yang sibuk dengan koasnya, kalau kata anak muda jaman sekarang sih, koas 24/7. Sedangkan Ahsan, sibuk dengan urusan pondoknya. Maklum, pondok liburnya hari jumat, bukan sabtu minggu.

"Keburu telat nih," ucap Ahsan saat dipaksa Amanda untuk sarapan terlebih dahulu.

"Perut kamu nggak boleh kosong loh Mas. Inget, ngurusin apapun kesibukanmu boleh, tapi jangan lupa ngurusin diri sendiri."

"Iya dekku, tumben sih bawel banget." Ahsan mengacak pucuk kepala istrinya. "Ini dibuat bekal aja gak papa kan?"

Amanda menatap datar suaminya, dia malas berdebat. "Baiklah. Tunggu sebentar bosque."

Amanda melangkahkan kakinya menuju dapur dan mengambil sebuah tempat bekal berwarna ungu lengkap dengan tasnya. Dengan telaten, Amanda memasukan makanan yang telah dimasaknya dengan sepenuh hati itu ke dalam tempat bekal.

Tanpa sepengetahuan suaminya, dia menyelipkan sebuah catatan kecil yang ditulisnya pada sticky notes dan ditempelkan di atas tutup tempat bekal. "Nah, taraa. Sudah jadi," ucapnya semringah. Bangga dengan maha karyanya pagi ini, bekal untuk suami tercinta. Meskipun sederhana, tetapi dibuat dengan bumbu cinta dan kasih sayang dalam setiap langkahnya.

"Udah semua kan?" tanya Ahsan.

Amanda memeriksa tas bawaannya, "Aman kok, nggak ada yang ketinggalan. Yuk berangkat."

Ahsan mengangguk mantap. Tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan Amanda. Takut Amanda diambil orang katanya.

Di perjalanan menuju tempat kerja mereka, mobil ini terasa ramai karena dua sejoli itu saling bergurau dan menjahili satu sama lain tanpa henti.

"Sekarang giliran aku. Mas tahu nggak..."

"Enggak."

"Yee belum." Amanda mencubit pelan lengan suaminya.

"Aww sakit dek," ucapnya menunjukkan raut muka kesakitan. Padahal cubitan Amanda tersebut tidak terasa baginya, mungkin karena lemaknya gus Ahsan terlalu tebal kali ya.

"Dengerin dulu makanya Maszeh."

"Siap Dekku." Ahsan terkekeh, telapak tangannya menuju pelipis seperti orang hormat bendera.

"Coba tebak, angin warnanya apa?" Ahsan berpikir sejenak.

"Nggak ada warnanya lah. Namanya juga angin."

"Net not, salah," pangkasnya cepat.

"Ya terus apa?" ucapnya agak ngegas.

"Kalau menyerah, coba lambaikan tangan." Ahsan menuruti ucapan istrinya, dia melambaikan sebelah tangannya karena tangan yang satunya untuk menyetir.

"Jawabanya ialah, warna merah."

"Loh kok bisa? Angin kan emang gak ada warnanya?"

"Coba lihat orang yang habis kerokan itu. Pasti di badannya ada warna merahkan kalau dia masuk angin," jawab Amanda tanpa dosa.

Ahsan hanya bisa tersenyum kecut dan mengelus dada. "Baiklah aku sudah lelah. Mari kita cukupkan permainan ini. Sekian, sama-sama."

"Yahh, kok udah selesai. Padahal kan aku masih punya stok tebak-tebakan banyak."

"Besok lagi ya, Sayang. Sekarang kamu harus koas yang bener dulu. Karena kita sudah sampai." Ahsan menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah sakit seperti biasanya.

Dijodohin dengan GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang