19. Sepertiga Malam Terakhir

389 88 4
                                    

Bu Firda membuka matanya dan meregangkan badannya sejenak. Ia terduduk di ranjang, setengah sadar dan mendapati Ulfa, Bu Lek dan suster Lena yang tertidur di dekatnya. Keempatnya tidur dalam ruangan yang agak luas dengan beberapa ranjang di dalamnya- bersama santri perempuan lainnya.

Bu Firda tersenyum. Tidur beramai- ramai begini sedikit mengingatkannya saat masih menjadi santri di tempat ini selama beberapa tahun lalu.

Bu Firda meraih jam tangannya yang ia letakkan di meja. Jarum jam menunjukkan pukul 3.15 dinihari.

Waktu subuh masih sekitar 45 menit lagi. Terlalu tanggung untuk nya kembali tidur. Bu Firda beranjak turun dari ranjang. Ia mengikat rambutnya dan mengenakan kerudung, lalu berjalan keluar kamar.

Bu Firda berdiri diam di depan pintu selama beberapa saat, matanya menyapu sekitar. Betapa pemandangan dihadapannya ini sangat dikenalnya; bangunan- pepohonan- dan semuanya.

Ia menggosok lengan dan pipinya karena dingin. Kabut tipis menggelayut memenuhi areal pondok yang terletak di tengah kebun tebu itu.

Bu Firda melangkahkan kakinya, berjalan menyeberangi lapangan menuju surau yang lampunya dipadamkan sebagian. Ia berjalan hingga tiba di depan surau dan melihat ke arah dalam melalui jendela besar.

"Loh, kok sepi?" Bu Firda nampak mengernyitkan dahi. Selama ia mondok di sini, pada jam- jam segini biasanya selalu ada setidaknya 10-15 santri yang melaksanakan sholat sunnah tahajud, atau mengaji sambil menunggu waktu subuh.

Bu Firda mengangkat bahu dan berjalan menuju tempat wudhu. Ia menyingkap kerudungnya dan melipat lengan bajunya. Lalu memutar salah satu keran yang berjajar.

Air mengucur deras dari keran di hadapannya. bu Firda segera membasuh tangan untuk merasai airnya.

"Dinginnya," Bu Firda tersenyum. Sudah lama rasanya ia tak merasakan air wudhu yang sedingin dan sesegar ini. Setelah menangkup air dengan kedua tangannya, ia pun membasahi wajahnya. Rasa kantuk dan lelah seolah seketika menghilang tatkala air itu menyentuh kulit wajahnya yang bersih.

Lalu ia melanjutkan proses wudhunya, dan membasuh bagian- bagian lain tubuhnya.

Dari balik tembok- tepatnya dari tempat wudhu laki- laki, terdengar suara air keran yang juga mengalir. Bu Firda yang telah selesai berwudhu, nampak tengah merapikan kerudungnya sambil tersenyum. Berarti sudah ada santri lain yang telah terbangun.

Lalu ia berjalan kembali menuju ruangan utama surau dan mengambil mukenah yang tersedia di bagian belakang ruangan. Ia pun berdiri mengambil tempat agak di tengah, karena ruangan itu sangat sepi.

Ruangan surau ini masih seperti dulu, bersih dan harum oleh aroma pewangi yang menggantung di beberapa kipas angin.

Saat Bu Firda tengah mengenakan mukenahnya, ia baru menyadari ada seorang laki- laki yang sedang berdiri di depan -di dekat tempat imam.

Laki- laki itu mengenakan jubah gamis putih panjang. Rambut laki- laki itu bergelombang sebahu. Jenggotnya telihat lebat, sehingga nampak cocok dengan rambutnya.

Tapi laki- laki itu hanya berdiri diam di sana. Ia tidak terlihat sedang melaksanakan sholat atau melakukan gerakan apapun.

Bu Firda melihatnya dengan keheranan, lalu memutuskan untuk tak ambil pusing. Tujuan ia ke sini adalah sholat, bukan memperhatikan orang. Ia menundukkan kepala, menatap karpet surau yang berwarna hijau.

Setelah mengucap niat tahajud, ia mengangkat tangannya dan mengucap takbir.

Bu Firda membaca surat utama Al-Fatihah, kemudian dilanjut dengan bacaan surat pendek. Dari sudut mata ia masih bisa melihat sosok lelaki bergamis itu di depan.

Lalu Bu Firda melakukan rukuk, dilanjut gerakan lain hingga selesai rokaat pertama.

Ia pun melanjutkan proses rokaat kedua dengan membaca Al-Fatihah dan surat pendek. Lalu ia melakukan gerakan rukuk sambil membaca bacaannya sebanyak tiga kali.

Lanjut dengan i'tidal, Bu Firda kembali berdiri.

Seketika itu Bu Firda sedikit terkejut. Sebab ia tak lagi melihat sosok laki- laki di depan itu, seolah ia menghilang begitu saja.

Bu Firda menelan ludah. Ia tak sekhusyuk tadi karena pikirannya mulai ke mana- mana.

Namun ia tetap berusaha fokus, dan melanjutkan sholatnya hingga selesai rokaat kedua dan ketiga.

Lanjut rokaat keempat. Seusai membaca Al-Fatihah, Bu Firda melakukan gerakan rukuk.

Saat membaca bacaannya sebanyak tiga kali, ia merasa sedikit heran. Sebab dari sudut matanya, ia melihat satu barisan penuh shaf santri perempuan berbaris di belakangnya. Mereka juga sepertinya sedang rukuk mengikuti gerakannya.

Aneh, bukannya selama ini di pondok ini sholat tahajud dilakukan secara individu? Lagipula ia tak mendengar suara apapun saat para santriwati itu datang.

Bu Firda kembali berdiri sambil membaca bacaan i'tidal.

Dan seketika itu ia merasa mual.

Wangi apel yang sedari tadi memenuhi ruangan surau itu tiba- tiba saja bercampur dengan aroma yang sangat menyengat.

Aroma busuk seperti terasi.

Aroma menyengat ini membuat Bu Firda ingin segera mempercepat sholatnya dan meninggalkan ruangan itu. Ia benar- benar tak tahan dengan baunya.

Lalu Bu Firda melakukan gerakan sujud. Kali ini ia bisa melihat jelas barisan santriwati yang juga ikut sujud di belakangnya.

Dan ia sadar darimana bau busuk ini berasal.

Ia melihat di bagian kepala mukenah para santri yang bersujud itu, ada sisa ikatan kain yang menjuntai.

Seketika itu jantung Bu Firda serasa mau copot. Yang ada di belakangnya bukanlah para santriwati bermukenah.

Melainkan sederet penuh sosok berkain kafan, yang nampak usang dan kotor oleh tanah.

Bu Firda reflek hendak berlari, namun ia terjebak. Barisan mahluk itu berada di antara dirinya dan pintu utama surau. Pintu samping- samping nya masih terkunci.

Lantas apa yang harus ia lakukan?

Dengan penuh kepanikan, Bu Firda mencoba berpikir. Dan ia teringat dawuh Mbah Supri, ustad sepuh di pondok ini.

"Kalau kamu di ganggu barang goib saat sholat, jangan batalkan sholatmu. Jangan lari, jangan kabur. Itu artinya mereka menang sebab kamu telah membatalkan sholatmu.

Selama kamu terus dengan sholatmu, kamu yang menang.

Walaupun dalam hatimu kamu takut, ndak khusyuk, itu hanya akan mengurangi pahala sholatmu. Tapi kamu masih menang.

Kalaupun mereka melakukan sesuatu, lalu kamu mati; justru itu kemenangan yang hakiki. Kamu mati karena gangguan jin- dan dalam keadaan sholat.

Kamu mati syahid."

Bu Firda memejamkan matanya. Ia terus bersujud dengan badan gemetaran. Tetes- tetes air mata ketakutan membasahi karpet surau, namun Bu Firda terus memperpanjang bacaan sujud nya. Ia tak ingin sholatnya selesai.

-BRUG!!

Terdengar suara sesuatu yang berat -seperti suara orang melompat.

-BRUG!!

Suara itu terdengar lagi. Dan lagi.

Dan setiap kali terdengar semakin jelas, semakin dekat.

Bu Firda memang bersujud dengan memejamkan mata. Namun ia merasakan bau busuk itu semakin menyengat memenuhi kepalanya. Perutnya serasa bergerjolak, dorongan ingin muntah semakin kuat. Di tambah hawa tak mengenakkan yang serasa membalut tubuhnya.

Bu Firda tahu bahwa mahluk- mahluk itu berdiri mengelilinginya.

Begitu rapat.

Dan semua menatap lekat ke arahnya.

STIGMATA [complete]Where stories live. Discover now