15. Dimulai

435 97 2
                                    

Suara orang mengaji di musholla yang menggema membangunkan ibu yang tertidur di tepi ranjang Ulfa. Jam di dinding menunjuk angka 4:15, di mana suasana di luar masih nampak petang.

Ibu mengerjapkan matanya, memijit kepalanya sejenak. Betapa kepalanya terasa pening dan berat karena ia terjaga semalaman menenangkan Ulfa yang mengigau.

Ulfa?

Ibu sedikit kaget karena mendapati ranjang Ulfa telah kosong. Ia hendak beranjak, namun gerakannya terhenti saat melihat Ulfa tengah berdiri di tengah kamar.

Ulfa berdiri menghadap kiblat, memakai mukenah beralaskan sajadah. Titik- titik air wudhu yang membasahi membuat wajah Ulfa terlihat segar. Perban di kepalanya sedikit basah.

Ibu tersenyum dan berjalan keluar kamar. Ia menuju dapur, di tempat cuci piring yang berada di pojok ruangan. Ibu menyalakan keran, lalu membasuh kedua tangannya.

Airnya terasa dingin dan sejuk.

Ibu membaca niat bersuci dalam hati sambil menangkup air di kedua tangannya, lalu membilas wajah. Seketika rasa kantuknya hilang. Lalu ia mengulangi gerakannya.

Ibu nampak fokus dengan wudhunya, sehingga ia tak menyadari pintu kamar mandi di seberang ruangan yang terbuka.

Ulfa muncul dari dalam kamar mandi dan berjalan menuju kamar.

-----

Ibu membuka mata dan mendorong tubuhnya bangkit duduk. Sejenak ibu menguap lebar, dan merentangkan tangannya kuat. Ibu capek sekali, dan ia merasa sedikit pusing.

Rupanya ibu berzikir sampai ketiduran di atas sajadah seusai solat subuh tadi. Ibu melirik ke jam di dinding kamarnya.

"ASTAGA!!" ibu segera beranjak dari duduknya saat melihat angka menunjuk 12.30. Jam 2 nanti ia harus berangkat ke pabrik untuk shift sore. "Berapa lama aku tertidur?"

Ibu segera keluar dari kamar, setengah berlari menuju keran di dapur untuk berwudu. Ia hendak melakukan solat duhur.

Saat hendak kembali ke kamar, ibu baru menyadari bahwa korden belum di buka. Keadaan rumah masih sesunyi tadi malam.

"Apa Ulfa belum bangun?" tanya ibu pada dirinya sendiri. Ibu menggelengkan kepala, lalu bergegas untuk menunaikan solat tengah hari.

Seusai solat, ibu nampak sibuk di dapur. Ia sedang menggoreng beberapa potong ayam. Perut ibu belum terisi sejak kemarin, dan ia merasa sangat lapar.

Seusai lauknya matang, ibu merebus air dalam teko. Ibu mampir ke kamar Ulfa sebentar, dan mengetuk pintu. Namun tak ada jawaban.

Lalu ibu kembali ke dapur, duduk di meja makan sambil menunggu air nya mendidih. Ibu menyandarkan pipinya di tangan, matanya terasa begitu berat. Beberapa kali ibu sempat terlelap walaupun sekilas saja.

-PIIIIIIIIIIIIII

Suara nyaring uap yang keluar dari teko di atas kompor memecah kesunyian dapur.

Suara itu mengagetkan ibu yang setengah mengantuk terduduk. Dengan langkah gontai ibu menuang air panas ke dalam gelas, di mana ia meletakkan sekantong teh celup sebelumnya.

Ibu memasukkan satu sendok kecil gula, lalu mengaduknya. Ia tahu putrinya tak terlalu suka minuman manis.

"Fuuh," ibu menghela nafas panjang, lalu meregangkan lehernya. Ia merasa sedikit lelah, terlebih sebentar lagi ia harus bersiap berangkat ke pabrik.

Entah apa yang sedang terjadi pada putrinya.

Sepanjang malam tadi juga Ulfa mengalami mimpi- mimpi buruk, yang membuatnya harus menemani putri semata wayangnya itu.

Ibu menata sepiring nasi dengan lauk ayam dan sambal, juga teh panas yang baru diseduhnya di atas nampan.

Dengan berhati- hati ibu membawa nampan itu keluar dari dapur. Ia berjalan menuju kamar Ulfa yang berada di samping ruang tamu.

"Ulfa?" ibu mengetuk pintu.

Tak ada jawaban dari Ulfa.

"Ul?" ibu kembali mengetuk pintu. "Nak, ini ibu bawakan makan sama teh. Kamu belum makan dari pagi."

Ibu masih berdiri diam di depan pintu kamar menunggu jawaban. Hampir satu menit ibu berdiri.

Lalu samar- samar ia mendengar suara Ulfa di dalam. Sepertinya putrinya itu tengah berbicara- namun ibu tak paham apa yang di ucapkannya. Sebab ucapannya terdengar tak jelas.

"Ibu masuk ya?" ibu meraih gagang pintu kamar lalu mendorongnya terbuka.

"Astagfirullah!!"

Seketika itu ibu menjatuhkan nampan berisi makanan dan teh panas yang dipegangnya. Piringnya pecah dan nasi berhamburan di lantai, bercampur dengan teh yang membasahi.

Ibu terduduk di lantai depan kamar. Matanya mendelik ketakutan, dengan nafas tercekat.

Bagaimana tidak?

Walaupun masih sore hari, kondisi dalam kamar itu nampak begitu gelap karena selambunya tertutup.

Ia melihat putrinya Ulfa tengah menempel di tembok dengan tangan terentang ke samping. Rambut panjangnya menjuntai bergoyang- goyang saat Ulfa berbicara.

Matanya berwarna putih, dengan urat- urat menghitam di seluruh wajah. Darah mengalir dari luka- luka yang ada di tubuhnya seperti rembesan air hujan di tembok.

Ulfa terentang membentuk sebuah tanda salib terbalik- dengan posisi kepala berada di bawah. Mulutnya terbuka, dan ia terus berbicara dalam bahasa yang sangat tidak dikenal oleh ibu.

Suara yang keluar pun bukan suara Ulfa. Suara itu terdengar serak, parau dan membuat merinding.

"et ne quis possit emere aut vendere nisi qui habet caracter nomen bestiae aut numerum nominis eius"

"Astagfirullah Nak! Ya Allah, anakku!!" ibu menangis lemas sambil berpegangan pada bingkai pintu.

Ulfa terus saja berbicara, seakan- akan ia tengah berkutbah kepada orang- orang yang tak terlihat.

"hic sapientia est qui habet intellectum conputet numerum bestiae numerus enim hominis est et numerus eius est sescenti sexaginta sex"

STIGMATA [complete]Tempat di mana cerita hidup. Terokai sekarang