Third of the Moon

77 10 0
                                    

Monalis Saura menggamit ibunya. Ia yang mungil merangkul lengan sang ibu, bukan sebaliknya, karena ibunya yang lelah rautnya tak mau menggandeng lengannya. Hari ini usianya tujuh tahun tujuh bulan lima belas hari, gaunnya berenda-renda, merah jambu, karena pertama kali dalam hidupnya, ia punya seorang pria untuk disapa papa. Harapnya, sang papa baru mau menyapanya Monas sebagaimana kebiasaan ibunya.

Ibunya menikahi papa barunya kemarin, secara sipil dengan meneken akta nikah tanpa upacara apa-apa. Hanya mamah ibunya, papa ayah barunya, dan dua orang saksi pernikahan. Rumah baru mereka ada di rumah papa, kata ibunya. Monas, kamu tak boleh nakal, supaya papa baru dan adik barumu menyukaimu segera. Oh ya, kamu punya nenek baru juga. Nenekmu pintar membuat kue, lho. Itulah pertama dan terakhir kalinya ibunya terlihat berbunga-bunga. Monas mengira kebahagiaan akhirnya memihak pada mereka.

Rumah toko dua lantai itu tidak besar, namun tak sekecil rumah lama Monas. Banyak sekali kue yang dipanggang, ragi merebak-rebak heboh, karena dulu roti bagel dipanggang bersama Rose Cake, croissant, muffin brokoli, pancake manis, dan putri salju kacang mete. Dapur toko itu yang menyihir daya tariknya. Monas kecil terlena matanya, sampai-sampai lupa menyapa papa baru, nenek baru, dan adik barunya yang sedikit lebih muda. Mereka semua tersenyum padanya, tetapi ia lupa tersenyum sebagai balasannya.

Monas menemukan cinta sejatinya, tercampur kopi manis selegit tiramisu, juga aroma ragi polos sebelum tepung disihirnya menjadi bagel berkerak mengilap dan isiannya padat. Herannya, bagel-bagel di toko kue ini besaar sekali, sementara kata mamah bagel itu mirip donat dan seukuran telapak tangan orang dewasa. Rasanya dua telapak dewasa saja tak cukup menangkup bagel yang memesona warnanya. Kemudian ia diberitahu nenek barunya, toko kue ini dinamai Wulandari, cahaya rembulan terelok, nama dari putri nenek baru Monas, tak lain mendiang istri ayah barunya yang meninggal satu tahun silam.

Roti bagel di toko kue Wulandari sebesar rembulan cantik jelita. Pantas namanya Wulandari. Arti lainnya bulan purnama, fase bundar sempurna yang mewakili kemolekan langit malam hari, menjadikan bulan kesayangan seluruh insan di bumi.

Meski ibunya bekerja tanpa tersenyum di dapur toko, Monalis Saura kecil alias Monas mencintai bau toko kue, keajaiban oven dan aroma segar sesaat setelah panggangan kue matang. Semerbak menurut nenek barunya, dan dirinya mendapat kekhususan, pencicip sampel kue yang pertama kali selesai dipanggang, tak terbayangkan kelezatannya. Aromatik wangi gula yang gurih, terutama, masih merebakkan rindu mendayu di memori Monalis Saura dewasa.

Kamu kira Monas pasti bahagia hidup di toko kue. Tak salah juga tidak benar bila dipertanyakan pada Monas. Menyangkut bahagia pun demikian. Ia tak separah sang ibu yang mati rasa. Ia takjub pada toko itu, memang betul. Namun, bahagia? Baginya benda asing itu sama hangatnya dengan tatapan dingin ibunya, atau raut wajah kaku selama sepuluh tahun yang tak tersenyum. Selama ibunya ada, Monas takkan bahagia selamanya. Ibunya penentu kebahagiaannya, karena setahu si perempuan, surga berada di telapak kaki seorang ibu.

Ibunya tak bahagia, dan meski berat hati mereka meninggalkan toko kue, Monas remaja berharap ibunya tersenyum di tempat lainnya. Nyatanya senyum itu tak kunjung terlihat, dan Monas tak menyalahkan ibunya. Bukan perempuan itu tak tahu bersyukur atas hidupnya. Jika kamu perempuan ibu tunggal dan di pundakmu menggelayut beban luar biasa, mampukah kamu tersenyum setiap harinya?

Dihitung-hitung tujuh tahun telah berganti, tahun demi tahun yang baru, tetapi tanggungan ibunya tak lebih ringan, demi menopang hidup seorang perempuan yang bukan siapa-siapanya. Monas menyapanya oma, orang yang mengangkat anak ibunya, dan setahunya ibunya tak pernah diperlakukan baik oleh sang nenek angkat.

Mungkin omanya bukan ibu adopsi yang terjahat, namun sungguh tak adil bila beban si perempuan dipikul ibu Monas yang kurang berkemampuan. Oma punya dua anak kandung laki-laki, dan kedua-duanya tidak berguna di mata Monas. Yang sulung mengaku bangkrut dan berpenyakit, tak sanggup membiayai ibu kandungnya yang tak berdaya akibat stroke iskemik tujuh tahun sebelumnya. Persis satu bulan setelah mereka bercerai dengan toko Wulandari, sang oma tumbang tiba-tiba di suatu siang, sementara anak lelaki bungsunya di Singapura pura-pura tak tahu perihal penyakit ibunya.

Untuk beberapa bulan pertama, ibunya dan sang paman sulung berpatungan untuk perawatan sang oma. Lama kelamaan paman sulung lepas tangan, mengaku berpenyakit diabetes dan hipertensi berat, dan beban pikiran bisa memperparah penyakitnya. Akhirnya ibu Monas menanggung beban seorang diri, dengan keterampilan memasak sekadarnya, dan membuat kue-kue yang belum tentu ada pemesannya tiap saat. Ilmu yang dicurinya sewaktu jadi menantu dan istri pemilik toko kue lumayan membantu, setidaknya bila diecer murah dan dititipkan di pasar, biasanya kue-kue sebanyak itu ludes dalam dua hari saja.

Sebanyak apa pun ibunya mencetak kue, sederas apa pun rezeki mengalir ke tangannya, seluruhnya lenyap dalam sekejap, karena perawatan oma yang memakan biaya besar. Biaya terberat adalah menggaji seorang perawat khusus, yang punya keterampilan medis lumayan baik. Bisa menyuntik, memasang infus, memasang kateter, dan bisa meresepkan obat untuk penyakit sederhana, dan selama dirawat, oma terhindar dari luka baring atau ulcus decubitus, dan banyak yang kagum karena oma tidak berbau dan tubuhnya benar-benar bersih tanpa cela.

Semua orang memuji paman sulung yang berbakti, tanpa mengetahui darah dan air mata ibu Monas mengalir, selagi mati-matian menggarap kue dan memasak enak. Waktu 24 jam dalam sehari takkan cukup, karena setiap rupiah menjadi berarti bila kamu berkekurangan uang. Monas yang penyanyi amatir pernah berjaya sekejap, sang wedding singer dan penyanyi kafe yang laris manis awalnya. Lalu suaranya tak pernah kembali. Ia tak lagi bisa bernyanyi setelah kejadian terkutuk itu.

Ibunya sekali lagi menanggung beban sendirian. Monas pernah berinisiatif menghubungi paman bungsu di Singapura, kabarnya ekonominya lumayan baik kondisinya. Tanggapan paman bungsu tidak bagus, padahal Monas mengingatkan dengan nada keras, yang terbaring lumpuh di ranjang adalah ibu kandungnya sendiri. Akibatnya Monas dihardik ibunya karena turut campur.

"Kamu tidak bekerja, tak perlu banyak mulut. Mamah yang membiayai omamu, ya. Mamah yang kerja keras setiap harinya, jadi kamu diam saja dan bantu Mamahmu kalau mau!"

Semakin dibantu, ibunya semakin tidak senang. Ibunya bukan orang yang suka dibantu. Ia diminta membantu setelah tak lagi menyanyi, pastilah agar tak banyak campur urusan paman-pamannya. Pernah satu kali ia mau melabrak paman sulungnya, karena pamannya sekeluarga dipergokinya makan enak di restoran mewah. Betapa tidak adil, ibunya yang berlumur terigu dan lemak dapur, nyaris hanya beristirahat lima jam dalam sehari semalam, bahkan santapannya tak lebih baik dari makanan buruh kasar. Bisa-bisanya paman yang mengaku bangkrut itu makan enak dan bersenang-senang!

"Mungkin pamanmu ditraktir mantan koleganya atau teman baiknya. Kamu jangan gegabah dan membuat Mamah malu, ya." Ibunya menanggapi dingin.

Giok di antara putih salju. Pernah Monas menyukai film asal Taiwan yang diputar di televisi swasta, semasa remaja dulu. Tentang seorang ibu bernama Giok yang terpisah dari putri di luar nikahnya. Tak disadarinya, putri yang hilang itu bekerja sebagai pembantu cilik di rumah suaminya. Tentu suami yang dinikahi perempuan itu suami paksaan yang dijodohkan orangtuanya.

Dikisahkan dalam film, perempuan itu dingin bak salju tak tersentuh matahari. Cinta sejatinya adalah putra inang susu, teman masa kecil yang dikasihi bak nyawanya sendiri. Mereka saling mencintai, lebih jauh nekat lari bersama hingga si perempuan giok pun berbadan dua. Akhirnya pasangan terlarang itu ditangkap orangtua si perempuan dan bayi yang lahir diserahkan untuk diadopsi pasangan petani miskin.

Mula-mula, Monas merasa tokoh utama perempuan itu mirip ibunya. Namun, mendekati akhir cerita, terasa topeng dingin si perempuan dipakai cuma untuk mengelabui suaminya. Sebetulnya ia seorang keibuan dan penuh cinta kasih. Terutama ia mengasihi si pembantu cilik, tanpa mengetahui anak kecil menggemaskan itu putri kandungnya yang hilang. Di sini, Monas cemburu, karena ibunya tidak sama dengan perempuan giok. Cinta kasih ibunya samar-samar dirasanya, tak ubahnya bintang redup temaram yang suatu saat pupus keelokannya. Ia makin jauh dari kata bahagia.

Satu-satunya cinta yang pernah ia rasakan ada di toko kue Wulandari. Cinta tak selalu sinonim dengan berbahagia. Cinta yang dirasakan Monas membawa luka menganga. Sejak jatuh hati pada toko berbau harum, si perempuan tanpa senyum itu sudah takut, suatu saat cinta akan berkhianat padanya. Akhirnya, ia tak lagi melihat toko itu bertahun-tahun lamanya, akhir menyakitkan dari toko kesayangannya, bangkrut dan pupus, semakin membuatnya sulit menerima. Meskipun cinta menyakitkan, pasti ada alasannya mengapa manusia harus jatuh cinta.

Good Night Mama MoonWhere stories live. Discover now