Do Woon, You Lucky Bastard PART 1

1.4K 161 20
                                    

Hallo aku kembali. Dan cerita ini terinspirasi dari sinetron yang dulu aku suka tonton
Bukan cinta fitri ya, tapi yang judulnya Dewi. Kalau kalian pernah nonton dan ingett dengan alurnya ya, selamat anda tua <(")

WARNING! ini angsa ya alias angst, walaupun kurasa ga angst angst bgt si tp yh sudahlah yh hehuhe

Selamat membaca, teman-teman :)
.

.

.

.

.

.

Jika ditanya tempat yang paling Ia benci, Hobin akan menjawab Rumah Duka. Setiap mengunjungi kerabatnya yang bernasib buruk, Hobin merasa sesak di dadanya menggebu-gebu. Tidak terkecuali dengan situasi sekarang yang sedang Ia hadapi.

Hobin meremat sweater hitamnya hingga ujung kuku jarinya memutih. Bibirnya pun sudah lecet karena terus Ia gigit. Rasanya sakit dan perih, namun air mata tidak kunjung keluar dari matanya.

Apakah aku saudara yang buruk?

Ia menatap lekat ke arah sebuah bingkai foto dengan pemuda bersurai coklat muda terpampang jelas diatasnya. Wajahnya sangat ceria, berbanding terbalik dengan wajah ayahnya yang sedang terduduk tidak berdaya seraya terus mengeluarkan air mata tanpa ada tanda akan berhenti.

Melirik ke arah ayahnya yang sedang terisak tidak terkendali, Hobin berjongkok di hadapan ayahnya. Ia meraih kedua tangan ayahnya sambil menggenggamnya erat. "Ayah, lepaskan Do Woon..."

Meskipun Hobin kini di hadapannya, kedua manik Ayahnya itu tetap kosong, seperti cahaya kehidupan telah direngut darinya. Napas Hobin menderu, sakit hati melihat sosok ayahnya yang seharusnya tegar menjadi rapuh seperti ini.

Setelah beberapa kali bujukan, Ayahnya akhirnya berhasil Ia buat pulang duluan. Sebagai ketua pelaksana pemakaman Do Woon, Hobin harus tetap disini sampai selesai. Jaga-jaga jika ada yang datang untuk berduka. Walaupun sepertinya daritadi tidak ada yang datang. Bahkan kerabat-kerabatnya pun tidak menunjukkan batang hidungnya.

Hobin kembali melirik ke arah bingkai foto itu. Sedikit memicingkan mata kali ini.

Lee Do Woon. Meski terlahir dengan warna surai yang berbeda, wajah mereka tidak begitu berbeda. Bahkan sangat mirip satu sama lain. Sedari dulu, Hobin tahu bahwa kembarannya yang satu ini sangat berbeda dengannya.

Walaupun hidup dalam satu rumah, Hobin dan Do Woon hampir tidak pernah berkomunikasi, hubungan mereka merenggang saat mereka di masuk ke kelas 5 SD, dimana Ayah mereka sudah mulai menanamkan benih-benih pemaksaan kepada Do Woon.

Ya, Do Woon harus hidup dalam bayang-bayang ayahnya. Ia selalu mendapat tekanan dari ayahnya yang menginginkan dirinya untuk hidup sukses. Ayahnya selalu mendorong visi misi masa mudanya yang gagal tercapai dahulu, hingga memaksa Do Woon untuk mengikuti berbagai les dan terus belajar di "kamar khusus" yang ayahnya siapkan untuk dirinya. Do Woon adalah "boneka" ayahnya.

Sedangkan Hobin? Tidak seperti Do Woon, Hobin dibiarkan hidup bebas, memilih SMP yang tidak mempunyai prestise besar, mengikuti ekskul yang menyenangkan dan waktu bersenang-senang dengan temannya yang tidak terbatas.

Jika Ia menceritakan kehidupan keluarganya kepada orang lain, Hobin yakin bahwa Ia akan dipandang sebagai kembaran yang beruntung dan Do Woon sebagai kembaran yang sial.

Namun, Hobin tidak berpikir demikian.

Do Woon yang selalu hidup dalam bayang-bayang ayahnya, otomatis akan diperhatikan oleh Ayahnya 24/7. Ya, mungkin Hobin punya kehidupan yang bebas dan menyenangkan. Tapi, apakah tatapan dingin yang bahkan tidak sampai 5 detik dari ayahnya itu dapat dianggap menyenangkan? Hobin bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ayahnya menyebut namanya.

The Untold Stories of Taehoon and HobinWhere stories live. Discover now