3| a one who called first love

1K 363 177
                                    

🔉Now playing
Ashe - Moral of The Story

.
.
.

Terkadang, sesuatu lebih baik diutarakan ketimbang terlalu banyak dipendam-pendam. Bukankah, memendam atau menyatakan, akan sama saja terasa sakitnya?

[.]

Dulu, hal ternekat yang paling pernah Yunara lakukan selama hidup ialah mengakui perasaannya pada Mahaka-cinta pertamanya saat masih sekolah menengah pertama dulu.

Kalau dipikir-pikir, Yunara seperti membiarkan burung-burung gereja menertawakan kebodohannya saat mengakui bahwa ia diam-diam menyukai teman kecilnya itu tepat di bawah pohon akasia di samping bangunan sekolah. Mengatakannya tak tahu malu. Begitu saja.

"I think... i have a crush on you, Ka."

Yunara bahkan masih ingat bagaimana kedua matanya terpejam rapat ketika bibirnya menggumamkan kata memalukan itu. Yunara juga masih ingat bagaimana lelaki yang lebih tua setahun darinya itu tersenyum geli sembari memandang wajahnya. Lalu menyingkap poni yang mengganggu wajah cantik gadis itu hingga Mahaka bisa leluasa memandanginya.

Keheningan yang Mahaka ciptakan lantas membut Yunara menggigit bibir. "Kamu... marah ya?"

Memori bagaimana Mahaka yang tersenyum manis di hadapannya seakan menjelma isi kepala Yuna. Tidak peduli mau bagaimana akhir pertemanan mereka karena Yunara mematahkan sekat yang telah ada itu, Yunara hanya ingin terus memandangi Mahaka untuk waktu yang lama. Lebih lama dari biasanya.

"Kenapa aku harus marah sama kamu, Na?" Mahaka menggeleng, lalu tersenyum lagi. "Aku udah tahu. Juna yang kasih tahu."

Yunara ingat bagaimana ia merasa kesal sekesal-kesalnya pada Arjuna karena telah diam-diam membongkar rahasia paling jelek yang tidak pernah bisa ia sembunyikan dari kembarannya itu. Jeleknya, kembarannya itu malah mengadu. Namun alih-alih perasaan kesal itu, Yunara lebih jauh merasa malu.

Kepala itu lantas menunduk, menyembunyikan pipi merah nan merekah yang menjelma aglonema.

Mahaka tersenyum kecil, mendongakkan wajah itu kembali hingga kedua kelopak mata itu mengerjap beberapa kali.

"Seandainya kamu bisa nunggu sedikit lagi, Na."

"Hm?" Kedua mata Yunara terbuka bertanya-tanya.

"Kita masih terlalu muda untuk jatuh cinta. Kalau tunggu umur 17 tahun dulu gimana?"

Yunara memiringkan kepala. Mahaka tersenyum lagi.

"Ulang tahun kamu yang ke-17. Izinin aku yang lebih dulu ngungkapin kalimat itu. Jangan kamu. Itu tugasku." Mahaka mengusap rambutnya, kepala yang diusap itu kemudian mengangguk setuju.

Yunara hanya perlu menunggu sampai umurnya 17 tahun. Mungkin, mereka perlu sama-sama menggapai umur yang sedikit lebih pantas untuk memulai sebuah hubungan. Yunara juga menyadari bahwa mereka mungkin masih terlalu kecil untuk jatuh cinta. Maka Yuna tidak masalah untuk menunggu mau seberapa pun lamanya.

Lagipula, hanya beberapa tahun lagi sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Yunara hanya perlu menunggu sampai selama itu saja.

Setidaknya begitu yang ia pikirkan sampai pada akhirnya Yunara sadar bahwa mereka hanyalah remaja kecil yang tidak begitu yakin dengan sebuah janji. Tidak ada yang bisa menjamin Mahaka akan terus mengingat janji itu. Menunggu, sama sekali tidak semudah itu.

Karena kenyataannya, tepat setelah ulang tahun Yunara dan Arjuna yang ke-15, Mahaka tiba-tiba menghilang begitu saja. Melebur bersama janji-janji dan angan yang mereka toreh tanpa sebutir kabar sama sekali. Meninggalkan kado terburuk lain untuknya sebagai bentuk ucapan ulang tahun yang ia terima.

Enervate ✔️Where stories live. Discover now